“Aku ada keperluan sebentar. Kalian gak masalah kan nunggu dulu?” Erika bertanya dengan ponsel menempel di telinga, sambil mengantri di kasir. “Iya, gak lama kok. Paling juga 10 menitan gitu.” Kini giliran Erika yang melakukan pembayaran. “Ehm, Mbak. Ini dalaman lelaki loh,” seru si kasir sedikit malu-malu. “Itu untuk suami saya,” jawab Erika dengan senyum lebar, sama sekali tidak canggung harus membeli barang pribadi pria. Si kasir langsung memproses transaksi Erika tanpa banyak tanya lagi. Erika pun juga tidak banyak bicara lagi dan hanya membeayar saja. Para sahabatnya sudah menunggu dan dia harus bergegas. Ya. Erika memang membeli dalaman untuk Kaisar. Dia tahu ukuran pria itu dan tahu kalau bosnya tidak mungkin menggunakan celana dalam yang sama dengan kemarin. Sayangnya hanya ada classic brief di minimarket dekat penthousenya. “Non, itu ada temannya...” “Iya, Bik saya sudah tahu,” Erika memotong kalimat pengurus rumahnya. Perempuan itu melangkah dengan percaya diri men
“Dasar gila,” Kaisar bergumam seorang diri di kantornya. Setelah pergi berganti pakaian di rumahnya, Kaisar segera pergi ke kantor. Untungnya Flora masih tertidur jadi dia tidak perlu mengarang alasan apa pun. “Kenapa juga aku bisa pergi ke rumah perempuan itu?” Geram Kaisar mengacak rambutnya. Namun sekeras apa pun Kaisar berpikir, dia sama sekali tidak menemukan alasan apa pun. Begitu dia selesai dengan Flora dan meminta perempuan itu untuk tidur, Kaisar segera pergi dari rumah. Dan tanpa disadari dia sudah ada di kawasan penthouse milik Erika. Setelah diingat-ingat, itu lah yang terjadi kemarin. “Tapi kenapa harus ke sana?” gumam Kaisar benar-benar kesal. “Apa yang kau bicarakan?” Kaisar mendonggak ketika mendengar suara yang tidak asing itu. Dia berdecih pelan ketika melihat dua sahabatnya yang lain memasuki ruangannya. “Apa yang kalian lakukan di sini?” tanya Kaisar ketus sekali. “Jangan tanya aku. Tanya dia,” teman Kaisar yang terlihat seperti orang asing itu, menunju
Sinar mentari yang menerpa jendela kamarnya, membuat mata Erika mengerjap pelan. Sinarnya begitu menyilaukan karena rupanya dia lupa menutup tirai jendelanya.“Astaga, aku tertidur dengan keadaan begini?” Erika bergumam ketika menyadari keadaannya. Perempuan cantik itu tertidur tanpa busana, dengan mainan dewasanya berserakan di atas ranjang. Tidak banyak sebenarnya, tapi ada lebih dari satu. Rupanya bermain sendiri cukup melelahkan juga, apalagi dengan Chris yang menjadi penonton. Tanpa menunda, Erika segera bangkit dan membereskan kekacauan itu. Dia merasa harus bergegas karena masih harus bersiap ke kantor. “Halo.” Erika segera mengangkat ponselnya yang tiba-tiba berdering. “Apa kau sudah bangun?” tanya suara pria di seberang telepon. “Baru saja bangun. Ada apa ya? Tumben kau mencariku sepagi ini, Bim.” “Eh? Baru bangun? Tapi ini sudah hampir jam tujuh loh, Ka. Bukannya kau bisa terlambat kalau bangun jam segini ya?” “What?” Erika memekik kaget dan mengumpat setelah melihat
“Selamat siang teman-teman,” Erika menyapa begitu masuk ke ruangan divisi keuangan. Semua orang mendonggak untuk menemukan Erika datang bersama seorang pria. Dan ya itu adalah Radja Bima Jayantaka. Erika berjalan mendekati supervisor yang berada di sudut ruangan. Dia memberitahu tentang kehadiran Bima di sini, tentu setelah memberitahu manajer keuangan sebelumnya. “Perkenalkan ini namanya Pak Bima, kedepannya dia akan bantu-bantu di bagian keuangan,” Erika yang memperkenalkan Bima. “Salam kenal dan mohon kerja samanya,” sambung Bima agak canggung. Pada akhirnya Bima malah dilempar ke bagian keuangan sebagai staff. Walau latar belakang pendidikan Bima adalah manajemen bisnis, tapi dia tak punya pengalaman dan nilainya jelek. Mana mau Kaisar mengambil resiko menempatkan adiknya di posisi atas. Dan dengan posisi sekarang Bima tentu tak akan punya sekretaris, jadi Erika aman di tempatnya. “Haruskah aku di tempatkan di sini?” gumam Bima pada Erika sebelum perempuan itu melangkah
Kaisar menatap keluar jendela mobilnya. Dia tak sengaja melihat Erika yang duduk di dekat jendela sebuah restoran, bersama dengan adiknya sendiri. Hanya sebentar memang, tapi dia merasa aneh. “Apa sih yang kau lihat?” tanya Viktor mengikuti arah pandang sahabatnya itu, bahkan mencondongkan badan ke arah Kaisar. “Menjauhlah, brengsek.” Kaisar mendorong kepala sahabatnya dengan cukup keras. “Aduh, Babe. Jangan kasar gitu dong,” balas Viktor jelas sedang bercanda. “Najis.” Kaisar kembali menoleh ke arah jendela, tapat sebelum mobil yang mereka tumpangi melaju setelah terjebak macet. Dua orang lelaki tampan itu duduk di kursi penumpang belakang. Kebetulan, tadi Kaisar memang sedang ada urusan dengan salah satu sahabatnya, Viktor. Pria blasteran sahabat Kaisar itu, kebetulan sedang menangani beberapa berkas hukum perusahaan. Viktor baru ditunjuk sebagai pengacara resmi perusahaan, setelah Kaisar menjabat. “Cantik ya,” tiba-tiba saja Viktor bersuara. “Apanya yang cantik?” tanya Ka
“Hmm...” Erika bergumam sambil menatap pantulan dirinya di cermin. Erika menatap setiap senti tubuh telanjangnya di cermin besar dengan pinggiran bergelombang. Dia sedang mencoba mencari tahu apa yang jelek dari tubuhnya. “Rasanya tidak ada yang cacat deh,” gumam Erika berputar untuk yang kesekian kalinya. “Apa ukuran ini gak memuaskan?” Erika kembali bergumam sambil menangkup kedua dadanya. Setelah semenit memperhatikan, akhirnya Erika menggeleng. Asetnya yang satu itu sudah sempurna, bahkan tanpa operasi. Dan dia sudah dapat banyak pujian untuk itu. Jadi tentu bukan itu. Erika menunduk melirik ke bagian tersensitifnya. Rasanya juga bukan itu karena dia rajin merawat seluruh tubuhnya, termasuk bagian yang itu. Dan lagi pula kalau ada yang salah dengan bagian sensitifnya yang di bawah, Kaisar tidak mungkin minta tambah jatah. “Lalu apa?” pekik Erika frustasi. Tidak bisa dipungkiri. Setelah tidak sengaja mendengar percakapan bosnya dan si pengacara, Erika jadi inscure. Dia tiba-t
“Bisa tolong berhentilah tertawa?” Bima mendesis marah. “Sorry, tapi kau lucu sekali sih.” Erika mengusap sudut matanya yang berarir dan memegangi perutnya yang kram karena kebanyakan tertawa. “Ini sama sekali tidak lucu Erika. Kau sudah melakukan ini dua kali,” Bima kembali memprotes. Erika dengan sekuat tenaga berusaha untuk berhenti tertawa. Biar bagaimana mereka sekarang sedang berada di tempat umum dan orang-orang sudah mulai memperhatikannya. Setelah mengerjai Bima tadi, Erika memang mengajak pria itu pergi ke café terdekat dengan rumahnya. Dia ingin meminta maaf karena sudah dua kali mengerjai pria itu. “Sorry. Soalnya wajahmu menggemaskan banget kalau malu-malu begitu,” balas Erika tanpa ragu. “Sama sekali gak lucu, Erika. Dan lagian hal seperti itu bukan untuk bercandaan,” Bima masih terlihat kesal. “Untung bercandanya ke aku. Kalau ke lelaki lain, mereka pasti sudah mengambil kesempatan.” Erika tidak membalas. Dia membiarkan pria di depannya itu berbicara sampai pua
Erika mengerjap pelan. Dia yang masih mengantuk, terpaksa harus bangun. Ini memang hari libur, tapi entah kenapa dia selalu terbangun sebelum sekitar jam 5 subuh. “Ugh. Aku masih lelah,” Erika mengerang pelan. Tubuh rampingnya kali ini benar-benar terasa remuk. Lebih parah dari pada masih dengan Chris dulu, padahal pria itu punya hasrat yang cukup tinggi. Oh, bukan. Erika bukan kelelahan karena bercinta dengan 4 pria sekaligus, tapi karena satu orang saja. Kaisar Arya Jayantaka. “Katanya mau mengakhiri semuanya, tapi pada kenyataannya malah ngajak,” ledek Erika pada Kaisar yang masih tertidur. Ya. Semalam pada akhirnya Erika hanya berakhir berdua dengan Kaisar. Pria itu dengan kasar mengusir semua orang pulang dan memaksa Erika melayaninya. Entah ada masalah apa, tapi sepertinya mood Kaisar sedang jelek. Setidaknya itu yang Erika rasakan semalam suntuk saat dipaksa kerja rodi. Tidak usah bertanya kerja rodi apa. Yang jelas itu membuat semua tubuh Erika terasa pegal, terutama b