“Tapi jangan berharap lebih padaku. Aku memang menerima maafmu karena tugasku adalah memaafkan mereka yang meminta maaf. Namun, aku sama sekali tidak bisa mengubah pendirianku untuk kembali padamu seperti yang tempo hari kau minta padaku. Aku akan tetap melanjutkan apa yang ada di depanku tanpa menoleh lagi kebelakang. Juga, aku akan tetap melanjutkan pertunanganku dan tidak akan mengubah apapun bahkan jika kau terus meminta untuk mengakhirinya,” lanjut Farrin.
Bak petir di siang bolong, kalimat itu mengusik hati Kiandra yang sebelumnya terasa bahagia karena Farrin memaafkannya.
“Itu berarti kau belum memaafkanku.” Kiandra menunduk. Ia merasa kecewa atas penolakan Farrin dan membuatnya berkecil hati karena keputusan wanita itu. Bagi Kiandra, jika Farrin memaafkannya, bukankah itu berarti dia bisa kembali lagi seperti semula?
Naif.
Segalanya tak seringan itu untuk dipikirkan apalagi menyangkut hati. Seseorang bisa terluka hati
Setelah pertemuannya dengan Kiandra di café yang membuat banyak emosinya terkuras, kini Farrin tengah berada di butik langganan ibu dari Vian untuk fitting baju pengantinnya. Tentunya bersama sang calon ibu mertua dan Vian tentu saja. Namun yang Farrin bingungkan, Vian hanya lebih banyak diam dan terlihat sama sekali tidak antusias untuk mencoba pakaian yang akan mereka gunakan saat pernikahan nanti. Ia bahkan hanya bisa melihat Vian mencoba tuxedonya sekali lalu setelah itu berkaca sebentar dan melepasnya kembali. Apakah sebegitu tak inginnya Vian atas pernikahan mereka?Padahal, tak tahukah Farrin jika sebenarnya Vian bermuram karena ia mengingat kenyataan yang akan ia hadapi? Ia benci jika dirinya harus memakai baju yang akan ia gunakan untuk menghadiri pernikahan orang yang dia cintai dan tak bisa ia miliki. Ia juga tak ingin mengakui jika ia hanya akan menjadi pendamping orang yang menjadi pengantin sesungguhnya. Apa lagi saat melihat dengan jelas bahwa p
Sementara itu, New York, sepuluh hari sebelum pernikahan Farrin dan Vian.Avan memandang hamparan kota yang menyimpan ribuan aktivitas dari balik jendela kamar dengan tatapan menerawang. Di tangannya, terdapat gawai yang menampilkan foto seorang wanita berambut pirang dengan wajah tersenyum hingga kedua matanya hanya terlihat seperti sebuah garis melengkung.“Aku merindukanmu, Mon Amour,” ucap Avan sambil memandang foto Farrin. Ia memang memiliki julukan tersendiri untuk wanita kesayangannya itu. Farrin, satu-satunya wanita yang mampu menjungkir-balikkan hatinya hingga sedemikian rupa.Julukan yang ia berikan tentu bukan tanpa sebab. Avan memiliki sedikit jiwa romantis yang tidak diketahui banyak orang. Hanya beberapa, dan ia tak yakin jika mereka menyadari hal itu.Mon amour, yang berarti cintaku, adalah julukan Avan pada Farrin yang hanya bisa wanita itu dengar satu kali selama bertahun-tahun hubungan mereka. Kata yang tak sengaja rekan bisn
“Ri, apakah menurutmu keputusanku ini salah?” tanya Avan pada Rizu. Wajahnya menyendu kala ia mengingat kenangannya bersama Farrin. Semenjak kepergiannya satu setengah bulan yang lalu, tidak sedetik pun ia tak merindukan kekasihnya. Meski setiap hari ia mendapat kabar dan foto dari adik satu-satunya yang memiliki wajah yang sama dan tubuh sedikit berbeda itu.“Kau baru menyadarinya? Ya Tuhan! Ke mana saja otak yang selalu kau banggakan itu, Kono Baka (Si B*d*h)!” sarkas Rizu. Ia mencebik kesal dan memotong daging steak kesukaannya dengan perasaan jengkel. Atasannya ini, padahal ia selalu mengingatkan untuk tidak selalu bertingkah gegabah. Jika mendengar dari nadanya, bukankah sepertinya Avan menyesali apa yang telah ia lakukan? Hey, ke mana perginya rasa percaya diri yang selalu ia junjung tinggi selama ini?“Ya, ini semua gara-gara kau yang selalu menyebutku Baka! Baka! (B*d*h! B*d*h !) Lihat? Sekarang aku benar-benar bodoh seperti ucapan
Jantung Farrin berdebar dengan keras sedari tadi malam. Ia gugup dan sama sekali belum bisa mengatasinya. Sahabatnya belum menikah, jadi ia tak bisa meminta ia untuk menemani dan mengurangi rasa gugupnya. Ibunya sibuk mempersiapkan segala hal, dan sang kakak juga berkata sibuk karena ingin menjemput teman lama jadi ia tak bisa meminta bantuan siapa pun untuk menghilangkan kegugupan menjelang pernikahan yang diadakan beberapa menit lagi.Ya, hari ini adalah hari pernikahan mereka setelah dua bulan lamanya bertunangan. Ia tak tahu jika menikah bisa membuatnya sebegini gugup tak terkendali.Tak ada pesta mewah atau resepsi yang nanti akan digelar setelah acara pemberkatan. Hanya acara pemberkatan inilah acara satu-satunya acara yang akan dilaksanakan. Pemberkatan dilakukan di dalam gereja, dan setelah itu acara pernikahan diadakan di taman samping gereja. Acara sederhana dan hanya mengundang beberapa teman dekat dan keluarga. Juga, tak ada relasi bisnis maupun teman
Bugh!“Avan!”Beberapa pasang mata Nampak terkejut dengan aksi pemukulan yang menyebabkan korban hingga terjerembap begitu saja disusul pekikan oleh Farrin. Tak ada yang berani bersuara dan bergerak melerai. Hanya Farrin yang langsung menghampiri mereka dan langsung menolong Vian, si korban pemukulan Avan.Semua yang hadir di sana mengerti, betapa Avan menahan emosi di acara pernikahan yang telah usai itu. Seharusnya, ia yang menjadi mempelai pria dan pengantin baru malam ini. Ia juga harus merelakan acaranya dimiliki orang lain. Mempelai wanita yang seharusnya bisa ia pandang senyum manisnya dengan pipi yang merona seperti biasa ia goda, harus menjadi mempelai orang lain dan berubah status menjadi adik ipar.Setelah Farrin yang menolaknya mentah-mentah di hadapan pastur, Avan tak banyak bicara. Ia seolah bungkam dan siap mengeluarkan emosinya di waktu nanti. Ia juga tak mengeluarkan emosi saat menyuruh Vian berganti pakaian dengan miliknya. M
“Dear, aku mohon kembalilah padaku! Selagi masih ada waktu untuk mendaftarkan pernikahan kita ke catatan sipil. Aku janji tak akan pernah mengulang kesalahanku lagi,” pinta Avan. Ia telah menjelaskan maksudnya menyuruh Vian menjadi tunangan pura-pura dan mengapa ia melakukan hal itu selama ini. Tentu dengan tidak mengatakan ia yang percaya jika Farrin akan tetap memilihnya. Hell, ia masih ingat jika Farrin membenci orang dengan tingkat kepercayaan diri tinggi.“Sudahlah, Avan! Semua sudah terjadi. Kami telah sah sekarang. Aku mohon tolong jangan ganggu kami. Kau telah menjadi kakak iparku. Jadi, tolong hargai adikmu dengan pergi sebelum Vian menyelesaikan mandinya.”“Tapi bukan seperti ini yang ku inginkan, Farrin! Tidakkah kau mengerti hal itu?” Avan yang frustasi hanya bisa berjalan tak jelas di kamar Vian dan Farrin yang kini terduduk di ranjang merasa pusing melihatnya.“Lalu apa yang kau inginkan?” Farrin mema
“Sudah kukatakan sejak awal bahwa Farrin memiliki kekeraskepalaan Margaret, dan kau tak mengindahkan hal itu. Kau malah mengorbankan adikmu, Van.”Sebuah suara mengagetkan Avan yang kini tengah merenung di kamar ibunya. Ia tak ingin tidur di kamarnya malam ini karena risih akan hiasan yang ada di sana. Biarlah! Besok saja para pelayan yang akan membersihkan hiasan itu dari sana.“Tenangkan saja hatiku, Mama. Jangan menyalahkan dulu. Aku kesini ingin menenangkan hatiku dari kejadian hari ini. Bukankah Mama adalah orang yang paling mengerti hatiku? Tolong, Ma. Sudah cukup aku yang disalahkan Farrin tadi, Mama jangan menambahinya. Aku sudah menyadari jika aku sangat bersalah.”“Aku mengagumi kecerdasanmu di perusahaan, Putraku. Namun, aku merutuki kebodohanmu tentang mengerti akan hati orang lain, termasuk pasanganmu. Kau memang lebih tua dari Vian, tetapi kau tidak lebih dewasa dalam urusan hati dan kontrol emosional. ”&
“Aku tahu kau sudah menyelesaikan acara mandimu dan menguping pembicaraanku dengan Avan. Mengapa tidak keluar juga?”Tak berapa lama, sosok itu muncul dari kamar mandi yang berada di dalam kamarnya dengan pakaian yang telah berganti menjadi piyama. Apa yang Farrin ucapkan memang benar adanya, Vian telah menyelesaikan urusan mandinya dan menguping pembicaraan mereka. Bukan maksud Vian seperti itu, hanya saja untuk berendam rasanya sangat tidak menyenangkan dan hanya mengupinglah cara satu-satunya yang bisa ia pikirkan. Terdengar tak sopan, ya. Akan tetapi, apa ada hal lain selain itu? Ia tak memiliki pilihan lain.“Aku tak tahu jika kau begitu peka akan sesuatu yang ada di sekitarmu,” ujar Vian. Jika itu orang lain, entah ia bisa mendengar ucapan itu atau tidak mengingat kamar mandinya yang semi-kedap suara. Sangat sedikit suara yang bisa ditangkap dari sana dan ia tak yakin Farrin bisa mengalihkan konsentrasinya ke suara di dalam k