Brum … Brum … Brum …
Suara motor begitu nyaring. Siapa yang menggunakannya? Yeah. Siapa lagi kalau bukan Kiana. Ia memakai helm tanpa pelindung lainnya. Bersiap untuk menaklukkan jalanan. Motor itu akhirnya melaju sangat kencang. Kiana bersama Orva sedang menikmati kebebasan. "Ah, Nona. Mereka hampir berhasil mengejar kita," ucap Orva. Suaranya terdengar sedikit gugup."Percayakan saja padaku. Kau hanya perlu berpegangan dengan erat," kata Kiana. Jalanan cukup ramai karena sudah menjelang pagi. Ada beberapa motor dan mobil yang mengejar Kiana. Kiana tidak peduli berapa banyak yang mengejar. Bahkan, suara teriakan terus saja berdengung di telinga."Orva, kalau kau tidak lompat sekarang juga, kau bisa mati!" teriak Kiana. Kecepatan motor sangat tinggi. Kiana tidak bisa menggunakanBruagh! Renza terlempar setelah orang yang sengaja menjulurkan kakinya, menarik kerah kemeja dan mendorong Renza. Tidak hanya itu, Renza yang terjatuh di atas meja membuat murid lain terkejut. Akan tetapi, tidak ada satupun murid yang berniat memisahkan mereka berdua."Aku kira kau sedikit kuat. Ternyata kau selemah ini," ejeknya. Renza geram. Namun, ia teringat tentang janjinya. Seorang kaki-laki tidak akan mengingkari janji yang sudah terucap dari mulutnya. Renza hanya diam meski ia diperlakukan tidak adil. Ia menahan semua gejolak emosi yang terbangkit hanya karena ditatap menyedihkan oleh orang yang bahkan bisa ia bunuh dalam sekejap."Kau lemah seperti ini, tidak seru juga kalau beradu otot denganmu. Bagaimana kalau kau menjadi babuku?" ucapnya."Ma--maaf," kata Renza. Ia hanya menunduk untuk menghindari tatapan mat
“Ah! Sial! Otakku tidak bisa lagi berpikir,” teriak Eren. Ia menutup wajahnya menggunakan buku tebal yang baru saja selesai ia baca dan memahami isinya. Oscar tersenyum. Ia mendekat sembari membawa setumpuk buku lagi. Sedangkan di sana ada Eren dan Zavier yang sedang kelelahan setelah membaca dan belajar satu bulan penuh tanpa ada waktu untuk istirahat.“Nona, masih ada enam buku lagi yang haru Nona hafalkan sebelum jam makan siang selesai,” ucap Oscar.“Sayang!” Eren memeluk Zavier yang memiliki kondisi sama dengannya. Zavier bahkan seperti patung yang tidak memiliki kehidupan. “Ayo kita kabur kencan,” bisik Eren.“Aku rasa, sebentar lagi aku mati,” gumam Zavier. “Aku tidak sanggup bernapas
"Kak!" Zaila yang sedang menatap buku-buku di rak akhirnya menoleh. "Rai! Ada apa?" tanya Zaila."Apa kau baik-baik saja menunggunya selama ini?" tanya Rai. Saat ini, SMA HG yang dulu semakin tentram dan normal. Semakin normal, Rai semakin waspada. Apalagi, ia harus terus berada di SMA tersebut sampai mendapatkan perintah resmi dari keluarganya."Memangnya, kenapa aku harus tidak baik-baik saja?" tanya Zaila. Senyumnya menyimpan sejuta rindu yang tidak bisa ia ungkapkan hanya dengan ukiran kata. Zaila masih tetap pada posisinya sebagai penjaga perpustakaan. Selama ini, mereka berdua juga berlatih keras di malam hari dan pada siang hari, beraktifitas seperti biasa supaya pergerakannya tidak diketahui oleh orang lain. Kejahatan tentang pembunuhan Meysha, hanya setengah peristiwa yang terkuak. Sedangkan sel
Zaila menggunakan pakaian yang sedikit asing bagi Rai. Rai sendiri menggunakan pakaian serba hitam dari atas sampai bawah."Kak, baju apa yang kau pakai?" tanya Rai."Katanya, kau seetuju dengan apa yang akan aku putuskan? Aku sudah memilih untuk jalan yang akan aku ambil," jawab Zaila."Apa hubungannya dengan pakaian yang kau kenakan?" Rai mengerutkan keningnya."Kau akan tahu nanti." Rai sudah tahu jauh sebelum Zaila mencurigai Leon yang tiba-tiba saja menghilang tanpa jejak. Namun, Jordan menemui Zaila berulang kali memberikan Zaila sebuah penawaran. Mungkin saja, kali ini Zaila menerima penawaran tersebut karena ia sudah mendapatkan perintah resmi untuk bergerak."Rai, kau datang sebagai tamu, sedangkan aku…""Tidak perlu kau jelaskan. Kak, aku memahami posisimu."** &nbs
Renza tidak lagi memikirkan siapa dealer tersebut. Ia cukup dengan sebuah sapaan yang menurutnya hanyalah lelucon. Renza terkekang saat ia harus berpura-pura, tapi ia bebas melakukan apa saja ketika di luar SMA HG. Perbandingan yang cukup memuaskan baginya."Hai, Nona!" sapa Renza. Ia masuk ke dalam mobil yang sudah menunggunya. Ekspresi Raina yang ketika itu sangat manis, kini berubah masam. Renza mengernyitkan keningnya. Apa ada yang terjadi dengan Raina saat ia sedang bicara dengan seorang dealer? Pikir Renza."Apa ada yang sedang Nona Raina pikirkan?" tanya Renza."Heuh!" Raine menyumbingkan bibirnya. "Aku pikir kau berbeda, tapi rupanya sama saja," ucap Raina."Hm? Apa maksud, Nona?" Renza menatap polos. Ia tidak bisa menebak apa yang sedang Raina pikirkan tentangnya."Berapa pria gila itu membayarmu?" tanya Raina. Ia yang acuh, kemudian menoleh. "Padahal aku tertarik padamu, tapi kau bekerja kotor dem
Renza tidak bisa mengatakan TIDAK. Tangan Renza meraih kepala Raina. Bibirnya menempel di atas bibir Raina. Saling berpagutan beberapa saat dengan sentuhan lembut yang enggan untuk dilepaskan. Mereka berdua mengikuti gairah yang menggebu. Tidak ada hubungan khusus, tidak ada perasaan yang mengikat. Tugas Renza berakhir pada ranjang yang sama, ranjang yang bergetar dan ranjang yang terasa sangat hangat. Raina juga tidak memiliki kuasa untuk menahan diri ketika Renza menarik nafsunya.“Ciumanmu cukup buruk,” ujar Raina. Wajah Renza memerah. Mau bagaimanapun, Renza tidak memiliki pengalaman apapun dengan seorang wanita. Ia hanya memikirkan bagaimana caranya melindungi kel
Renza melakukan apa saja yang Raina perintahkan. Menuruti semua yang Raina inginkan. Misi untung menarik Raina dari arena judi, berganti menjadi misi untuk memuaskan birahi. Mereka berdua memejamkan mata. Menikmati setiap sentuhan-sentuhan lembutnya. Bibir mereka saling berpadu. Memberikan cinta dan juga memperpanas suasana. Tenggorkan rasanya kering. Ciuman saja tidak cukup untuk melegakan dahaga. Raina melepaskan ikatan tangan Renza. Mereka berdua sangat intim tanpa mematikan lampu. Di bawah sinar rembulan, terang benerang, menampakkan tubuh yang menggelincang bebas. Raina merangkul Renza. Ia masih tetap pada posisinya, duduk di atas pangkuan Renza. Renza tidak melepaskan pagutan bibir
Dealer yang bicara dengan Renza, masuk ke dalam sebuah ruangan. Di sana ada beberapa dealer handal lainnya. Ruangan tersebut cukup gelap. Tidak ada yang tahu diantara mereka ada wanita atau tidak. Semua bersuara dan berdandan seperti seorang pria."Seseorang sedang menargetkanmu. Wajahnya tidak asing, tapi aku tidak ingat karena hanya melihatnya dari belakang," ujar Han."Hm … Bukan urusanmu," jawabnya."Mr. R, kenapa harus bicara sangat acuh?" tanya Han."Aku benci kau menyebutku seperti itu." Han tersenyum pahit. Ia merangkul pundak dealer yang ia sebut dengan nama Mr. R. Di antara mereka semua, hanya Han yang tahu sosok seperti apa dia."Aku heran, banyak dealer yang lebih hebat darimu tapi kenapa kau yang banyak sekali diincar para tamu?" tanya Han."Berisik! Bisakah kau berhenti mengunyah di samping terlingaku?""Kau tidak mau makan dengank