"Terima kasih Nick, kau sungguh pengertian." Sherly menutup panggilan telepon yang tersambung dengan Nick sebelumnya. Ia menjelaskan secara singkat keadaan dirinya pada pria itu sekaligus meminta izin untuk cuti sementara selama waktu yang dibutuhkan.
"Bagaimana ia? Tak akan ada masalah dengan pekerjaanmu bukan?" Dean mengaduk jus dingin di depannya. Ia dan Sherly sedang makan siang yang lokasinya tak jauh dari rumah sakit.
"Tak apa, Nick mengerti. Aku rasa satu-satunya hal yang mungkin belum dapat ia terima adalah saat mengetahui tingkah anehku ketika aku mabuk kemarin." Sherly tersenyum geli.
"Yeah, bisa aku pastikan itu. Jika saja aku tak datang tepat waktu, entah apa yang mungkin sudah kau lakukan padanya Sayang. Kau mungkin saja akan menyerangnya seperti kau dulu menyerangku," gumam Dean.
"Oh, please! Aku tak akan mungkin melakukan hal-hal seperti itu pada Nick!" protes Sherly.
"Dan pada pria lainnya! Ingat juga itu." Dean sedikit melotot
Sherly mencium pipi Dean sesaat sebelum ia meraih tasnya di atas meja makan. Ia pagi ini akan menemui pamannya yang telah keluar dari rumah sakit dan sedang menuju perjalanan untuk pindah sementara bersamanya. Sherly akan melihat lokasi dan keadaan rumah yang sementara akan disewa pamannya itu. Ia hanya ingin memastikan semua kondisi rumah sesuai dengan kebutuhan mereka. Selama pemeriksaan dan proses penyelidikan berlangsung, pamannya memang ingin berada dekat dengan Sherly untuk menghindari kemungkinan Marie akan muncul dan mencoba untuk mencelakai mereka lagi. Sebelum Sherly melihat rumah sewa yang dimaksud, ia akan mampir sebentar untuk sekadar merapikan dan mengemasi beberapa barang yang dibutuhkannya dari apartemennya. Apartemen yang masih berantakan karena penyerangan itu belum sempat ia urus. Banyak perabotnya yang telah rusak dan tak dapat digunakan lagi. Rencananya Sherly memang akan memilih dan membereskan semuanya sebelum saatnya ia pindah dari apa
"Kau sudah tahu tentang ini?" Dean menuntut penjelasan pada Adriana saat gadis itu menghampirinya di depan sebuah kamar pasien. Dean sebelumnya memang menelepon Adriana sebelum ia membawa Vivian ke rumah sakit terdekat. Ia meminta gadis itu datang untuk mengurus sepupunya. "Bagaimana keadaannya?" tanya Adriana "Ia pingsan, tapi tak apa, dokter mengatakan ia hanya kelelahan. Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa ia di sini?" Adriana menghela napas sejenak, "Ia kemarin datang menemuiku. Ia bertanya tentangmu, dan aku sudah melarangnya untuk menemuimu. Aku berencana akan memberitahumu saat kau ke kantor nanti, tapi ternyata ... aku tak tahu jika ia sudah lebih dulu menemuimu." Dean mengusap wajahnya dengan frustasi. "Aku tak ingin terlibat dengannya kau tahu? Kau bisa mengambil alih dari sini. Ada sesuatu yang harus aku lakukan." "Kau mau ke mana? Ke kantor?" "Tidak. Aku harus melakukan sesuatu yang penting terlebih dulu." De
Sherly tahu pamannya sengaja meninggalkannya berdua dengan Dean setelah makan siang mereka selesai. Ia yakin pamannya memberikan kesempatan pada Dean untuk berbicara dengannya. Pamannya jelas menyukai Dean, terlihat dari penerimaannya pada pria itu. Jika Dean bukan orang yang tepat di matanya, pamannya itu tak akan mungkin mau repot-repot untuk duduk dan berbincang dengannya. "Sayang ... " Dean meraih jemari Sherly dengan lembut ketika mereka duduk berdampingan di atas sofa yang nyaman. "Aku tak tahan dengan diammu. Tolong jangan menyiksaku lagi." Dean menatap Sherly dengan tatapan memohon. "Aku benar-benar tak tahu mengapa ia tiba-tiba muncul di hadapanku, sungguh." "Tolong, maafkan aku." Dean kali ini mengecup jemari Sherly perlahan. Sherly menghembuskan napasnya kemudian. "Aku tahu itu bukan salahmu Dean." Ia akhirnya luluh dan menatap mata Dean yang penuh pengharapan. "Aku kesal mengetahui fakta bahwa rumah yang selama ini kau tinggali ada
"Bagaimana penampilan paman, Sayang?" tanya Alfred. Sudah kesekian kalinya Alfred mempertanyakan penampilannya pada Sherly yang sedang mengamatinya bercermin. Alfred begitu bersemangat saat beberapa hari yang lalu Sherly menceritakan tentang orangtua, serta rencana Dean yang ingin membawanya untuk mengunjungi ibunya pada akhir pekan. Sudah dapat ditebak, pamannya begitu senang dan tentunya sangat terkejut saat tahu siapa sebenarnya ibu dari Dean. Pamannya yang begitu bersemangat kemudian sedikit 'memaksa' untuk ikut menemui Joanna. "Paman, please jangan terlalu berlebihan. Bisakah kau membiarkan kami berdua saja yang menemui ibunya Dean untuk pertama kalinya? Setelah itu, untuk pertemuan berikutnya, aku akan mengizinkanmu ikut." "Hei, kau tahu seorang aktris jarang memiliki waktu luang atau libur. Semakin terkenal dirinya, semakin padat juga jadwalnya. Apa kau tak tahu, serial dramanya sedang memasuki sekuel terbaru, jadi sangat jarang baginya dapat meluangka
Wanita paruh baya yang belasan tahun tampak lebih muda dan cantik itu berhambur memeluk Dean dengan haru. Tampak binar kebahagiaan didalam kedua matanya yang berlinang air mata. "Kau akhirnya kembali," ucapnya dengan isak haru. Sherly mengapit lengan pamannya untuk menekan rasa harunya saat ia melihat sepasang ibu dan anak di hadapannya itu saling melepas rindu. Joanna melepaskan pelukannya dan kembali mengamati Dean yang menjulang di hadapannya. Ia mengusap wajah Dean dan mengamatinya dengan penuh syukur. "Maafkan aku, Nak, aku telah menjadi orangtua yang buruk buatmu," isaknya "Tidak, jangan berkata seperti itu. Aku yang sudah memperlakukanmu dengan tak adil. Maafkan aku, Mom, aku menyesal. Aku seharusnya tidak menghalangi kebahagiaanmu dengan bertindak egois." "Tidak, Sayang, kau tak bersalah. Aku senang akhirnya kau mau menemuiku. Apa kau tahu betapa leganya aku dapat melihatmu lagi?" Dean mengusap air mata dikedua pipi Joa
Acara pertemuan dengan Joanna dan makan siang yang ringan berjalan sangat lancar. Baik Alfred maupun Sherly begitu menikmati jamuan dari Joanna. Dean dan Joanna sendiri pun tampak begitu bahagia dengan pertemuan mereka setelah sekian lama. Obrolan yang ringan dan santai berlanjut di ruang tengah yang memiliki nuansa hangat dan nyaman. Sofa-sofa besar yang tampak empuk dan lembut berjejer rapi mengisi ruangan luas berlantai kayu dan beralaskan karpet halus itu, tampak begitu serasi dengan hiasan dinding dan bingkai-bingkai foto yang mengisi setiap sudut ruangan. Seluruh ruangan hampir terisi oleh foto-foto kenangan dan foto kebersamaan Dean dengan kedua orangtuanya. Sherly seolah dapat membayangkan masa kecil hingga remaja Dean hanya dengan mengamati foto-foto tersebut. "Ada yang mungkin menarik perhatianmu?" tanya Dean sembari menghampiri Sherly yang masih sibuk mengamati satu demi satu foto-foto yang terpajang rapi diseluruh ruangan. "Aku hanya ingin
Dean meninggalkan Sherly sendiri di rumah sewaan miliknya sementara ia dan Alfred bergegas menuju kantor polisi untuk bertemu dengan Marie dan mendapat keterangan darinya. Sherly merasa sedikit tak tenang saat Dean dan pamannya meninggalkannya sendiri. Walau ia tahu mereka akan segera kembali setelah mendapat keterangan dari Marie sehingga pamannya dapat terlepas dari segala tuduhan yang ditujukan padanya selama ini. Bel pintu rumah berbunyi beberapa jam setelah Dean dan pamannya meninggalkannya sendiri. Sherly yang tak memiliki prasangka apa pun segera menghampiri pintu depan rumahnya untuk menyambut tamu yang berkunjung. Betapa terkejutnya dirinya saat ia mendapati Vivian tengah berdiri di depan pintu rumahnya dengan tenang. "Boleh aku masuk?" Vivian yang segera melepas kacamata hitamnya langsung menerobos masuk dengan santai dan melewati Sherly begitu saja. Sherly sedikit mengerutkan alisnya. Tak ingin terlalu lama terpaku dengan keterkejut
"Kau tak apa, Sayang?" Dean membimbing Sherly menuju sofa untuk membiarkannya menenangkan diri setelah bertemu dengan Vivian tadi. "Aku tak apa," jawab Sherly singkat. "Jangan khawatirkan apapun tetang apa yang Vivian katakan tadi ya, Sayang." Dean mengusap pipi Sherly dengan lembut. "Aku tak akan mungkin menelantarkan anakku sendiri jika memang bayi yang pernah dikandungnya adalah darah dagingku. Dan aku juga tak akan mungkin melepaskan tanggung jawabku jika memang itu benar, Sayang." Sherly mengangguk perlahan. "Aku mengerti, jangan khawatir tadi aku hanya sedikit terkejut. Aku hanya tak mengerti mengapa Vivian sampai bersikap seperti itu padaku." "Terima kasih, Sayang. Sudah, kau tak perlu memikirkannya lagi, kau tampak lelah dan sedikit pucat. Apa kau baik-baik saja?" tanya Dean sedikit khawatir. "Memang aku merasa sedikit pusing, tapi tak apa. Aku mungkin hanya perlu menenangkan diriku saja. Lalu, bagaimana dengan Marie? Apa kalian sudah