Helaan nafas untuk ke sekian kalinya terdengar lirih di kedua telinga. Berkas pemindahan tugas pun telah tercecer di atas meja selepas perbincangan panjang kami. Belum lagi beberapa buah tisu di keranjang sampah turut melengkapi sajian malam. Tidak cukup sampai disitu, berbagai dokumen Rania tumpah ruah di atas meja. Dirga memejamkan mata seraya mengusap wajahnya kasar membiarkan kepalanya dingin terlebih dahulu. Sedangkan aku hanya diam memandangi berbagai berkas di atas meja. Rania tidak berani berkutik memilih bergelayut di lengan ku. Nova kurang ajar itu malah membeberkan perkara kondisi kehamilan yang ku jalani."Rania. Kamu kembalilah ke kamarmu dulu. Ayah mau berbicara dengan Bunda,"ucap Dirga membuatku menatap nanar Rania."Bunda tidak bersalah, Ayah,"ucap Rania perlahan beranjak seraya menutup pintu. Belum saja aku membuka suara, Dirga memberikan kelima jarinya menahan ku. Dia tidak sedang ingin mendengar penjelasan dari ku sedikitpun. Pria itu mengambil berkas pemeriksaan
Suasana begitu riuh ketika berhenti di depan rumah dinas Dirga membuatku menoleh heran. Pria itu tidak banyak berkomentar segera menarik tangan ku mengajak turun. Sontak riuh terompet hingga confetti yang berhamburan begitu melangkah masuk membuatku tersenyum lebar."Selamat datang kembali, Bu Dirga. Saya turut berduka cita untuk kondisi yang menimpa Ibu. Semoga Allah memberikan ketabahan dan keikhlasan,"ucap Bu Chandra memelukku hangat."Maaf sudah banyak merepotkanmu, Mbak,"ucapku tidak enak hati."Akh, tidak usah merendah begitu. Biasanya Bu Dirga juga sudah menyiapkan anggota. Saya cuman mengawasi saja. Ya ampun Rania sudah besar,"ucapnya menatap gadis di belakang ku.Di antara banyaknya orang, aku menemukan Azhara berada di barisan paling belakang membuatku segera beranjak mendekat. Aturan di militer membuat segala hal diurutkan berdasarkan tingkat jabatan. Padahal aku sudah sering mengatakan untuk meniadakan hal tersebut untuk kehidupan sehari-hari. Sejatinya pangkat ini hanyala
Bising jalanan kota seolah bukan hal baru yang terdengar di telinga. Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam tidak menyurutkan keramaian. Dari pinggir kota, sebuah industri masih begitu segar berdiri sepanjang hari. "Mbak Gita apa tidak lagi yang perlu saya kerjakan?"tanya gadis berambut pirang mengemas barangnya.Pertanyaan itu sontak membuat gadis berjilbab di ruangan terpisah kaca mendongak. Kacamata anti radiasinya menambah kesan lelah di wajahnya. "Tidak, terima kasih, Celine,"ucap Gita kembali menatap layar komputer di depannya."Oalah. Saya kira mau menghabiskan pekerjaan sendirian sampai Mbak Gita lembur lagi,"ucap Celine berhenti di depan mejanya."Rencananya begitu. Tapi besok saya ada kunjungan ke Surabaya dan belum bersiap. Duluan saja,"ucap Gita membuatnya mengangguk sebelum berlalu meninggalkan ruangan.Papan nama Dyah Anggita Anindyaswari di depan mejanya sudah menjelaskan siapa dirinya. Seorang manager muda divisi laboratorium pabrik urea terbesar di Indonesia
Bunyi roda koper yang berpacu dengan lantai dingin bandara terasa seirama dengan derap langkah sneakers yang ku pakai. Seharusnya semalam aku tidur lebih cepat. Jadi tidak perlu terlambat seperti ini."Maaf atas keterlambatan saya, Pak. Saya pastikan tidak akan mengulangi lagi,"ucapku menyusul langkah general manager dan para komisaris besar perusahaan."Anda hanya terlambat tiga detik, Nona Gita. Tidak masalah menunggu perempuan sedikit lebih lama,"ucap pemilik saham terbesar perusahaan.Wajah menawan dan saham yang dimiliki sepadan dengan jumlah istrinya. Pria itu memiliki karakter tak kalah buruk dari playboy jalanan yang kerap meresahkan kaum hawa. Bedanya dengan harta yang dia miliki cukup untuk menarik perempuan. Entah selamanya maupun hanya semalam. I hope you understand what I mean."Bagi saya disiplin adalah segalanya. Tentu itu sangat mengganggu,"ucapku melangkah lebih cepat menjauhi pria aneh itu. Berdekatan dengannya hanya membawa aura negatif. Entah berapa banyak asiste
Author POVPesawat Boeing-737 yang baru saja tiba mendarat dengan mulus di atas landasan pacu Bandara Juanda. Seorang pria berjalan santai dengan menarik kopernya diiringi seorang perempuan dan satu pria berambut cepak yang terus waspada dalam segala kondisi."Sertu Sinta. Serka Aditya,"panggil pria berambut pendek memalingkan wajah sejenak membaca situasi."Siap,"ucapnya begitu tegas mengundang perhatian sekitar."Kita sedang dalam tujuan kenduri. Bukan sedang perjalanan dinas. Tidak perlu formal begitu. Setelah ini, kalian langsung menemui orangtua saja. Jangan sampai terlambat. Oh iya, saya tadi mau bertanya. Apa sudah ada informasi mengenai Riana? Saya sudah memberitahu Rindy memintanya mengantar ke Bandara,"ucap pria itu memasukkan kedua tangannya ke dalam saku. "Baik, Pak. Tadi saya sudah menghubungi Mbak Rindy. Tapi belum ada informasi lagi. Saya sudah mengatakan memakai baju hitam pakai sneakers. Mungkin belum sampai Pak,"ucap Sinta menimpali.Pria itu menghela nafas pelan me
GITA POVMembawanya ke tempat ini benar seperti yang ku duga. Apa dia mulai gila memanggil sembarang orang sebagai ayahnya? Beruntung Celine dengan cepat bisa membawa Riana menjauh dari lokasi. Saat ini aku hanya bisa diam di depan Altezza yang menatapku penuh tanya."Apa kamu sudah gila? Ini acara besar bagi pengantin, Gita. Kenapa kamu harus mengejarnya?"tanya Altezza memijat pelipisnya.Suasana mungkin sudah beralih kondusif, namun beberapa wajah pembesar perusahaan ternyata ada disini sudah cukup membuatnya malu. "Aku tau salah, Altezza. Sungguh, anak kecil merepotkan,"ucapku hanya pasrah jika saja ada ultimatum masuk melalui emailnya.Bahkan aku sekarang juga sudah kehilangan nafsu makan. Sekalipun di ajak Altezza, kali ini aku benar-benar tidak nafsu makan. Saat ini yang ku butuhkan hanya ruangan sepi untuk menenangkan diri. "Permisi, Mbak. Saya boleh duduk di sini?"tanya seorang pria tampaknya salah satu pembawa pedang tadi di susul temannya yang lain."Aku bukan pemilik kurs
Bunyi lift saat tiba di lantai yang ku tuju memenuhi telinga ku. Aku merasa tidak pulang terlalu malam. Namun tidak biasanya terasa sunyi di sekitar hotel. Altezza juga sudah menghilang entah kemana. Tangan ku menggeser pelan kartu kamar hotel sebelum bergegas merebahkan tubuh ke atas ranjang. Namun semua rencana itu berakhir menjadi wacana saat melihat gadis kecil sedang tertidur pulas begitu rapi. Ayahnya mendidik gadis ini dengan keras sampai tidur pun teratur. Sayangnya dia masih terlalu lembut mengenai perasaannya.Padahal, itu lah yang sebenarnya mampu mengubah total karakter dan kebiasaan dari orang tersebut. Mataku tidak butuh waktu lama untuk kembali terpejam pulas. "Bunda, kapan pulang? Riana rindu Bunda,"ucap gadis itu memelukku hangat dengan mata terpejam.Akh, aku sudah mau tidur malah menjadi penasaran maksudnya. Tidak, Gita sekarang saat yang tepat untuk tidur. Lagipula gadis itu akan kembali ke pangkuan Ayahnya besok pagi, batinku enggan berpikir keras.Tapi mana mun
"Nona, nama Anda indah".UhukTelinga ku tidak sedang salah dengar kan. Sontak membuatku menoleh ke belakang tampak begitu saling memalingkan wajah. Apa pria di sebelah ku yang mengatakan itu?"Saya? Anda saja tidak mengenal saya,"ucapku cuek."Dyah Anggita Anindyaswari. Nama Dyah menunjukkan bangsawan Sunda pada masa Dyah Pitaloka,"ucap Dirga membuatku melenguh heran."Mengenal saya saja tidak. Anda sudah menerka asal saya. Apapun suku nya bukan menjadi pedoman pemberian nama. Lagian kalau saya Dyah Pitaloka pasti saya membalas dendam ke Majapahit bukannya bela pati,"ucapku membuatnya menghela nafas panjang. "Saya hanya berkomentar. Jika Anda tidak suka lupakan saja,"ucap Dirga pelan."Ada-ada saja. Kalau gitu, Mbak yang disana namanya Sinta artinya dia orang Jawa? Karena namanya tokoh Rama dan Sinta dalam Ramayana. Kemudian Mas disana namanya Aditya apa dia orang bercorak India dengan nama Adityawarman. Atau Mas yang disana namanya Adrian. Apa dia orang Barat? Kemudian Mas yang na