Senyum kecil Naira terbit dari bibir merahnya saat melihat isi galeri foto Gara. Yang penuh akan foto-fotonya dengan berbagai pose. Entah mengapa, pemuda itu pandai membuat hati Naira berbunga-bunga hanya dengan hal sesederhana itu.
"Kak Gara kebiasaan suka diam-diam motoin aku," Ucapnya dengan senyuman yang tak luntur dari bibirnya.
Namun, tiba-tiba senyuman itu luntur saat dia beberapa foto Kirana di ponsel Gara. Walaupun tak sebanyak foto-foto dirinya, namun tetap saja Naira merasa tak rela. Ibarat sudah melayang ke angkasa, lalu di jatuh kan ke dasar jurang yang dalam. Rasanya sangat sakit.
Gara memasuki kamar dengan membawa satu gelas minuman untuknya saja, melihat itu membuat Naira protes.
"Kok cuma satu sih, Kak? kan aku juga mau minum." Protes Naira.
Gara yang baru saja duduk di sofa dan meletakkan jus melonnya lalu Gara menatap Naira.
"Ya kan kamu tadi nggak minta, jadinya aku bikin satu doang," Sahut Gara sekenanya. kenapa sebegitu
Namun mendadak Naira menghentikan Juna, tanpa sengaja gadis itu melihat sebuah pemandangan yang menyesakkan hatinya. Gara kini tengah duduk berdua dengan Kirana. Mereka tampak sedang bercanda tawa di sebuah cafe. Ya Tuhan, sudah setengah mati Naira mencari pemuda itu. tapi apa yang terjadi, sungguh di luar perkiraannya. "Loh, itu bukannya...." ucap Juna terpotong, ia menoleh ke arah Naira yang kini tengah berdiri mematung disampingnya. Mata Naira berkaca-kaca saat melihat Gara dan Kirana. Katakan Naira cengeng, tapi dia benar-benar merasa di permainkan. Naira dari tadi terus memikirkan keadaan Gara, tapi apa yang laki-laki itu lakukan? "Kenapa Kak Gara nggak bilang yang sejujurnya sama aku," gumam Naira. Kata Gara. Naira adalah yang paling utama untuknya, tapi itu semua bohong. Nyatanya Gara hanya mengedepankan Kirana. Ucapan Gara hanyalah sebuah omong kosong belaka.
Mereka hanya mengangguk lemah. Gadis itulah yang meminta penyakit dirahasiakan pada Gara.'ini semua juga atas permintaan Naira. Dia tidak mau dicintai hanya karena rasa kasihan dan iba." Kini Maura mengatakan semuanya pada Gara.Mendengar ucapan Maura. Gara hanya terdiam, dia mendudukan dirinya di kursi panjang ruang tunggu rumah sakit, dia membuka perlahan lembar demi lembar buku harian milik Naira."Kak Gara. Sebaiknya Kakak makan dulu. aku tahu Kakak belum makan apa-apa sejak tadi." Kirana kini duduk di samping Gara dan mengelus tangannya."Ayo, Kak. biar aku temani," ajak Kirana. Namun Gara tidak bergeming dari tempat."Enggak, Ki. Aku mau di sini aja, aku mau nungguin Naira," Tolak Gara. pandangannya menunduk menatap tangan Kirana yang masih menyentuhnya."Tapi Kak."Gara tidak menyahut, ia malah melepaskan tangannya dari genggaman Kirana. Gadis itu
Gara terus tersenyum saat melihat Naira yang tidak henti-hentinya melengkungkan bibirnya. Gadis itu terus saja tersenyum.Naira benar-benar menikmati saat-saat seperti ini, gadis itu merasa takjub demgan keindahan kota saat di malam hari.Sekarang ini mereka sedang berada di taman hiburan dan saat ini mereka sedang menaiki biang Lala. Dan itu semua karena permintaan Naira. Setelah gadis itu puas mengerjai Gara, Naira kini ingin jalan-jalan. Tentu saja Gara mengiyakannya, karena mungkin dengan itu Naira bisa sedikit melupakan tentang rasa sakit yang dia rasakan tubuhnya.Tangan Gara merapikan rambut Naira yang berterbangan karena tertiup angin, membuat gadis itu menatapnya."Kenapa Kak Gara senyum-senyum kayak gitu?" Tanya Naira. Karena saat ini duduk berhadap-hadapan dengan Gara.Mendengar pertanyaan Naira. Gara pun tersenyum kecil, senyum Naira ternyata memang sungguh manis melebihi gula.
Gara kini menggandeng tangan Naira dengan erat, seakan tak menginginkan gadis itu pergi dari sisinya. Padahal, mereka sudah sampai di halaman rumah. "Kak, lepas ih," bisik Naira pelan. Matanya masih terfokus melihat sang mama yang kini berdiri di depan pintu rumah dan terlihat begitu khawatir pada putrinya itu. "Gak ah, takut kamu kabur." Gara tetap menggenggam tangan gadis itu. Malah kini dia semakin mengeratkan gandengannya genggamannya pada Naira. Kalau sudah seperti itu, Naira hanya bisa pasrah membiarkan Gara berbuat apa yang dia inginkan. "Nai, kamu dari mana aja? Mama khawatir lho nyariin kamu. Mana ponsel kamu nggak aktif lagi, bikin Mama makin khawatir tau gak?!" "Maaf, Ma. Tadi Naira cuma jalan-jalan bentar kok. Lagian jalan-jalannya sama kak Gara." Naira menjawab sambil tersenyum manis pada sang mama. Dan senyuman itu mampu membuat mama Naira yang tadinya kesal menjadi luluh dengan waktu yang sangat singkat. "Maaf, Ma. Tadi Gara yan
Naira duduk di tepi kasur di dalam kamarnya. Dia memandang keluar jendela yang menampakkan rintik hujan di luar sana. Ini masih pagi tapi hujan sudah mencumbu bumi. Kadang Naira merasa iri dengan bumi, hujan terlalu mencintai bumi. Hingga rela jatuh berkali-kali demi menyentuh sang bumi.Seperti Naira, yang rela jatuh berkali-kali demi Gara. Pria yang bahkan Naira tidak tahu sebenarnya hatinya untuk siapa. Dari awal, seharusnya Naira sadar. Dia salah mengambil langkah, seandainya saja ia menerima Gara dari awal mungkin pria itu tidak akan pernah jatuh cinta dengan sahabatnya sendiri.Ah, Naira tak ingin mengingat itu.Naira tak bisa berhenti mencintai Gara. Seperti Juna yang tak bisa berhenti mencintai Naira.Laksh Jahat. Tapi Naira menyukai nya. Begitu pula Baura, dia bodoh dan Juna tetap mencintainya. Naira terlalu bahagia mencintai Gara sampai ia sendiri lupa membahagiakan orang yang mencintainya.
Semilir angin berhembus ringan, tampak dua insan yang sedang terduduk disebuah bangku taman.Gara tak sengaja bertemu dengan Kirana saat ia baru saja pulang dari rumah Naira. Dan ya jadilah keduanya duduk bersama di taman itu. Namun, mereka hanya terdiam, dengan lamunannya masing-masing."Kak Gara."Mendengar panggilan Kirana. Pria itu pun menoleh ke arah Kirana."Ya.""Hubungan Kakak sama Naira gimana?" Tanya Kirana. Dengan suara pelan.Ia mulai sadar diri. Sadar akan posisinya di hati pria itu. Naira adalah prioritas utama untuk Gara. Pria itu selalu menatap penuh cinta saat memandang Naira. Pria itu juga rela melakukan apapun demi kebahagiaan Naira. Apa keistimewaan seorang Naira jika dibandingkan dengannya? Entahlah Kirana pun tidak mengetahuinya."Kenapa tiba-tiba tanya kayak gitu?" Tanya Gara. Merasa heran karena tidak biasanya Kirana membahas semacam ini.
"Mama, kangen." Naira langsung berhambur ke pelukan Jihan sesaat setelah wanita paruh baya itu membuka pintu rumahnya. Jihan sudah menganggap Naira seperti anak kandungnya, dan wanita itu berharap kelak Naira bisa menjadi menantunya."Udah pulang, Nak? Kesini sama siapa?" Tanya Jihan. Tangannya membuka pintu agak lebar dan mengajak Naira untuk masuk."Sendirian, Ma.""Memang udah beneran sehat, Sayang? Kok udah berani keluyuran sendirian?" Tanya Jihan. Sembari mengelus puncuk kepala Naira."Udah, Ma. Oh ya Kak Gara mana, Ma? Kok gak kelihatan batang hidungnya sih, atau masih tidur ya?" Tanya Naira beruntun. Membuat Jihan gelagapan karena pertanyaan Naira."Ada kok sayang. masih di atas, mungkin masih tidur." Jihan menjawab yang membuat Naira mengangguk paham."Ya udah, Ma. Naira bangunin si kebo dulu ya. Kebiasaan nih kak Gara suka banget bangun siang." Naira pun la
"Kamu suka ya sama, Juna?" Bukannya menjawab pertanyaan Naira. Gara malah balik bertanya dengan muka datarnya. Dia berusaha menahan emosinya yang siap meletus bak gunung Merapi."Ya enggak lah. Emangnya kenapa, Kak?""Kamu bohong sama aku?"Naira menggeleng. "Beneran kamu. gak suka sama Juna. Sumpah!" Lanjut Gara. masih dengan ekspresi datarnya."Iya beneran, Kak Gara.""Nai. Siniin deh telapak tangan kamu."Naira menatap Gara dengan bingung. Untuk apa pria itu meminta telapak tangannya?"Buat apaan, Kak?" Tanya Naira."Udah siniin aja. Nggak akan aku gigit kok."Naira pun menyodorkan telapak tangannya pada Gara seperti menulis sesuatu di atas telapak tangannya. Entahlah apa yang sedang Gara tuliskan. Naira juga tak tahu pasti."Kenapa kamu? Kok malah senyum-senyum kayak gitu. Ada yang lucu ya?" Tanya Gara