Semilir angin berhembus ringan, tampak dua insan yang sedang terduduk disebuah bangku taman.
Gara tak sengaja bertemu dengan Kirana saat ia baru saja pulang dari rumah Naira. Dan ya jadilah keduanya duduk bersama di taman itu. Namun, mereka hanya terdiam, dengan lamunannya masing-masing."Kak Gara."
Mendengar panggilan Kirana. Pria itu pun menoleh ke arah Kirana.
"Ya."
"Hubungan Kakak sama Naira gimana?" Tanya Kirana. Dengan suara pelan.
Ia mulai sadar diri. Sadar akan posisinya di hati pria itu. Naira adalah prioritas utama untuk Gara. Pria itu selalu menatap penuh cinta saat memandang Naira. Pria itu juga rela melakukan apapun demi kebahagiaan Naira. Apa keistimewaan seorang Naira jika dibandingkan dengannya? Entahlah Kirana pun tidak mengetahuinya.
"Kenapa tiba-tiba tanya kayak gitu?" Tanya Gara. Merasa heran karena tidak biasanya Kirana membahas semacam ini.
<"Mama, kangen." Naira langsung berhambur ke pelukan Jihan sesaat setelah wanita paruh baya itu membuka pintu rumahnya. Jihan sudah menganggap Naira seperti anak kandungnya, dan wanita itu berharap kelak Naira bisa menjadi menantunya."Udah pulang, Nak? Kesini sama siapa?" Tanya Jihan. Tangannya membuka pintu agak lebar dan mengajak Naira untuk masuk."Sendirian, Ma.""Memang udah beneran sehat, Sayang? Kok udah berani keluyuran sendirian?" Tanya Jihan. Sembari mengelus puncuk kepala Naira."Udah, Ma. Oh ya Kak Gara mana, Ma? Kok gak kelihatan batang hidungnya sih, atau masih tidur ya?" Tanya Naira beruntun. Membuat Jihan gelagapan karena pertanyaan Naira."Ada kok sayang. masih di atas, mungkin masih tidur." Jihan menjawab yang membuat Naira mengangguk paham."Ya udah, Ma. Naira bangunin si kebo dulu ya. Kebiasaan nih kak Gara suka banget bangun siang." Naira pun la
"Kamu suka ya sama, Juna?" Bukannya menjawab pertanyaan Naira. Gara malah balik bertanya dengan muka datarnya. Dia berusaha menahan emosinya yang siap meletus bak gunung Merapi."Ya enggak lah. Emangnya kenapa, Kak?""Kamu bohong sama aku?"Naira menggeleng. "Beneran kamu. gak suka sama Juna. Sumpah!" Lanjut Gara. masih dengan ekspresi datarnya."Iya beneran, Kak Gara.""Nai. Siniin deh telapak tangan kamu."Naira menatap Gara dengan bingung. Untuk apa pria itu meminta telapak tangannya?"Buat apaan, Kak?" Tanya Naira."Udah siniin aja. Nggak akan aku gigit kok."Naira pun menyodorkan telapak tangannya pada Gara seperti menulis sesuatu di atas telapak tangannya. Entahlah apa yang sedang Gara tuliskan. Naira juga tak tahu pasti."Kenapa kamu? Kok malah senyum-senyum kayak gitu. Ada yang lucu ya?" Tanya Gara
Setelah berbagai bujukan dilakukan agar Naira mau menerima lamaran Gara, dan menikah dengan Gara secepatnya. Akhirnya Naira pun setuju karena dia sedikit merasa takut kalau Gara akan berpindah haluan dan Naira mau menikah. Berekat Nindya yang terus mengompori gadis itu tentang Gara yang mungkin saja akan berpindah kelainan hati kalau sampai Naira menolak menikah dengan Gara.Dan hari ini adalah hari pernikahan Naira bersama Gara. Karena mereka mempercepat pernikahan kedua remaja itu. Dengan alasan takut mereka berdua berubah pikiran."Aduh Neng yang rileks dong. Yang tenang ya sayang. Kalau gak tenang kapan selesai ngeriasnya soalnya keringetan terus ini. Capek eike dendongin you luntur mulu." Ucap seorang rias perias yang melambai itu."Hehe maaf Om. Aku kan deg degan Om nggak ngerasaain sih gimana rasanya. Rasanya jantung aku tuh mau copot Om." Naira berkata dengan wajah yang memang terlihat tegang."What! You panggil eike Om?!""Terus aku
"Nai.""Iya sayang, kenapa?" Tanya Naira dengan bingung."Aku baru sadar.""Sadar?""Ternyata gunung kembar kamu gede." Lalu Gara pun tertawa dan langsung berlari ke kamar mandi."Kak Gara...!" Teriak Naira.Beruntungnya kamar itu kedap suara jadi meski berteriak pun tidak akan terdengar sampai keluar. Naira sangat kesal karena masih mendengar gelak tawa Gara dari kamar mandi."Ketawa aja terus, Kak!" Naira merasa sangat geram pada Gara. Pria yang menjadi suaminya beberapa jam yang lalu. Naira yang merasa lelah pun segera mengganti pakaiannya dengan baju tidurnya dan dia segera berbaring di kasurnya. Dia berusaha agar Gara tak tidur disebelahnya.Keesokan paginya."Sayang, kamu dimana?" Gara yang kini telah tersadar sepenuhnya, namun tidak menemukan Naira disampingnya.Hening tak ada sahutan dari Naira. Gara pun segera turun dari ranjang dan segera berjalan keluar mencari Istrinya. Gara sudah mencari k
Naira hanya terdiam dan menundukkan wajahnya."Gak salah lagi. Lo ikut gue sekarang!" Bella pun menarik paksa lengan Naira."Lepasin aku Kak. Lep-lepasin." Naira terus meronta namun Bella tidak perduli dengan semua itu."Lo pasti habis di tangan gue. Dasar cewek murahan!""Ampun Kak! Apa salah aku sama Kakak?" Tanya Naira dengan terisak karena cengkraman di tangannya yang begitu kuat."Hahaha. Lo masih tanya apa salah lo? Kenapa sih Gara lebih suka deket sama lo. Dan lo! Kenapa lo deketin Juna juga? Lo itu murahan banget ya jadi cewek. Sana sini mau!" Bentak Bella sambil menatap Naira dengan jengah."Aku nggak ada hubungan apa-apa sama Kak Juna. Di-""Alah udah deh nggak usah munafik lo. Lo mau bikin mereka musuhan. Ini semua gara-gara lo! Dan lo harus terima pembalasan dari gue."Bella adalah senior Naira yang seangkatan dengan Gara. Dia
"Ram. Naira sama sekali nggak bergerak." Gara berkata dengan nada penuh kekhawatiran."Yang bener lo?" Tanya Rama. Pria itu pun ikut khawatir."Gue serius! Ram. cepetan bawa mobilnya, gue gak mau terjadi sesuatu sama Istri gue."Setelah mendengar ucapan Gara. Rama pun langsung tancap gas agar dia cepat sampai di rumah sakit untuk menyelamatkan Naira.Sesampainya di parkiran rumah sakit. Gara pun langsung keluar dari mobil dengan membopong tubuh Naira. Gara pun memasuki rumah sakit."Dok, tolong istri saya!" Gara berteriak ditengah kepanikannya karena Naira tidak bergerak sedikit pun. Mendengar teriakkan Gara, tatapan dokter pun terfokus dengan baju seragam yang masih melekat di tubuh Naira. Dokter itu masih tidak percaya dengan apa yang dia dengar barusan.Istri katanya."Kalian beneran suami istri?" Tanya Dokter itu dengan ragu."Bukan saatnya mengoreksi kebenaran tentang kami, Dokter! Sekarang waktu anda tolong istri sa
"Lukanya tidak terlalu parah. Hanya saja dia harus dirawat sampai keadaannya benar-benar pulih karena dia masih dalam pengaruh obat jadi dia masih belum siuman. Sekarang istri anda akan di pindahkan ke ruang rawat." Setelah menjelaskan semuanya pada Gara. Dokter itu pun pamit untuk menangani pasiennya yang lain.Gara pun bisa bernafas lega setelah mendapatkan penjelasan dari dokter kalau istrinya baik-baik saja. Rama pun pamit untuk kembali ke sekolah untuk mengambil tasnya dan tas milik Gara juga Naira.Setelah Rama pergi. Gara pun masuk ke ruang rawat tempat Naira dirawat. Gara duduk disamping brankar Naira. Tangannya terulur untuk merapikan rambut Naira yang sedikit berantakan. Lalu dia menggenggam tangan Naira dengan erat."Aku nggak bisa hidup tanpa kamu, sayang." Gara mulai terisak lagi karena tidak bisa menahan kesedihannya. Kepalanya tertunduk lelah. Dengan tangan yang masih dia genggam."Hahaha...." Gara mendongakkan kepalanya saat mendenga
"Dih kok ketus banget sih sama suaminya.""Habis Kak Gara bikin aku darah tinggi. Ya bersihin lah sayang. Kenapa Kak Gara jadi jorok banget kayak gini. Padahal baru ditinggal dua hari doang lho. Gimana kalau aku tinggal seminggu pasti udah hancur nih rumah." Naira kembali mengomel lagi."Iya maaf istriku yang cantik. Biar aku yang bersihin deh. Kamu duduk aja di sofa.""Ya memang harusnya kayak gitu. Kan Kakak yang bikin kotor. Udah bersihin sana! aku mau ke dapur."Dan dengan berat hati Gara pun membersihkan semuanya. Dari mulai menyapu, mengepel, sampai mencuci."Nai. Ini pot bunganya ditaruh mana, sayang?" Tanya Gara. Dengan sedikit berteriak karena jarak ruang tamu dan dapur yang lumayan jauh."Di meja deket ruang tamu aja, Kak." Naira pun menyahut dengan berteriak dari arah dapur."Sayang. Ini lapnya buat apa?" Tanya Gara lagi."Itu b