Sandra kembali ke kota bersama Adriel dan kedua kakek, neneknya. Sementara, Damar dan Maria masih tinggal di rumah sakit untuk menunggui ibu Ani. Sebenarnya, banyak pertanyaan di benak Sandra untuk calon suaminya itu. Salah satunya, bagaimana mereka bisa mengenal ibu Ani. Namun, semua itu diurungkannya, takut terlalu dalam masuk ke kehidupan pribadi mereka. Mengingat posisinya hanya sebagai istri pura-pura.
Perjalanan yang ditempuhnya terasa sangat panjang karena keheningan yang mengisi ruang mobil. Hanya Melati yang sekali-sekali bertanya, itu pun dijawabnya dengan singkat. Setiap kali hendak menjawab pertanyaan Melati, Adriel selalu mengontrolnya dari kaca spion. Sandra paham itu adalah sebuah pengendalian agar dia tetap pada rencana kepura-puraan mereka.
Tidak ada kata mesra dari Adriel saat mereka berpisah di kos Sandra, layaknya seorang kekasih. Dia sengaja mengantar Sandra ke depan pagar agar terlihat romantis oleh kakek dan neneknya. Padahal, hanya ada diam di antara mereka.
***
Sandra kembali ke rutinitasnya. Seperti kata Adriel, dia hanya menunggu instruksi kapan pesta pernikahan itu akan diselenggarakan. Sebenarnya, dia tidak ingin teman-teman di kantornya mengetahui tentang pernikahan itu. Tapi, tak bisa dielakkan, Maya sepupunya itu, satu kantor dengannya. Sudah menjadi tujuannya untuk mengumbar pernikahan itu pada keluarga besarnya, apalagi Maya. Sandra memijit pelipisnya untuk memikirkan ide lain.
"Hoi, melamun aja. Kerjaan udah selesai, belum?" Mimi menepuk meja kerja Sandra, membuat lamunannya buyar.
"Ngagetin aja! Udah, dong." Sandra langsung cemberut menatap sahabatnya itu.
Sejak pertama bekerja di perusahaan itu, Mimilah yang menjadi tempatnya bertanya dan berkeluh kesah. Padahal, ada Maya yang lebih dulu masuk daripada Sandra. Jangankan membantu, Maya akan selalu tersenyum puas saat Sandra terkena masalah atau dimarahi atasan.
Seperti pagi tadi, saat Sandra baru sampai di kantor. Dia langsung disuruh menghadap bos besar. Pak Arman memarahinya akibat pekerjaan yang terbengkalai saat dia libur beberapa hari yang lalu. Ada surat kontrak dengan relasi belum diselesaikannya, hingga mereka kehilangan kerja sama yang dinanti-nantikan.
"Ini semua gara-gara kamu!" bentak Pak Arman sambil memukul meja. Sandra yang berdiri di hadapannya, sedikit terlonjak terkena sentakan semacam itu.
"Saya minta maaf, Pak. Tapi, saya sudah menyampaikan pesan pada Maya agar menyerahkan surat itu. Saya sudah menyelesaikannya sehari sebelum cuti." Sandra berusaha membela diri.
"Mana? Buktinya surat itu tidak ada dan kita kehilangan rekan kerja sama." Pak Arman mengibas-ngibaskan map yang ada di tangannya.
Sandra ingat betul, sehari sebelum pulang ke tempat orang tuanya, dia sudah menyerahkan surat itu pada Maya lengkap dengan pesan dan keterangannya. Maya dan dia memiliki posisi yang sama sebagai tenaga administrasi yang mengurus surat-surat seperti kontrak dengan klien dan perusahaan lain. Sandra benar-benar kesal atas apa yang sudah dilakukan Maya padanya, tapi apa daya dia tidak dapat membela diri. Maya paling bisa menjilat hingga dia terlihat benar.
***
Sejak keluar dari ruangan Pak Arman, Sandra hanya duduk termenung di hadapan komputernya. Dia teringat ucapan Pak Arman, bahwa perusahaan itu, terpaksa dijual agar tetap berdiri dan mempekerjakan karyawannya. Di balik rasa kesal, ada haru yang timbul karena perjuangan perusahaan untuk mereka.
"Ya, melamun lagi." Mimi kembali menyadarkan Sandra yang balik ke lamunannya.
"Eh, kamu tahu sesuatu tentang perusahaan ini, gak?" Biasanya, Mimi cukup update soal berita seputar perusahaan ataupun orang-orang di dalamnya.
"Memang kamu belum tahu?" Mimi mendekatkan kursinya agar berbicara lebih dekat dengan Sandra.
Sandra menggeleng. "Apa?" Bola matanya yang sipit membesar.
"Kita akan ganti bos." Mimi memelankan suaranya. Mata mereka memeriksa rekan lain yang sedang sibuk dengan pekerjaan masing-masing.
"Apa benar perusahaan kita dijual pada orang lain?" Sandra ikut memelankan suaranya agar tidak ketahuan mereka sedang bergosip.
Mimi mengangguk pelan. "Kamu tahu dari siapa?"
"Pak Arman, waktu aku dimarahi tadi di ruangannya." Sandra melengkungkan mulutnya ke bawah.
"Seperti apa bos kita yang baru itu, ya?" Mimi menopang dagunya dengan siku bertumpu di meja kerja Sandra. Sandra mengangkat kedua bahunya.
Mereka sudah bertahun-tahun bekerja di perusahaan itu, rasa nyaman sudah mengakar di hati mereka. Sandra ingat betul saat Maya membangga-banggakan dirinya dan perusahaan tempat mereka bekerja saat itu. Sandra yang masih keluar masuk perusahaan selalu diremehkan setiap kali berkunjung ke tempat neneknya. Itulah alasannya masuk ke perusahaan yang bergerak di bidang distrubutor barang-barang retail itu. Rasa bangga menghunjani saat berhasil menyamai posisi Maya. Sejak saat itu, Maya sudah tidak penah lagi bercerita tentang pekerjaannya di hadapan semua keluarga besar.
"Hei, jangan gosip aja. Kerja, kerja!" Salah seorang rekan kerja menegur mereka yang asik berbisik-bisik di meja Sandra.
"Udah selesai, kok," timpal Mimi sambil memancungkan bibirnya.
"Duduk yang rapi, bos baru mau datang." Dia langsung berlalu menuju ke mejanya.
Sandra dan Mimi saling berpandangan, padahal mereka baru saja membicarakannya. Pak Arman baru saja memberitahu, Sandra berpikir tidak mungkin akan secepat itu. Mereka masih sibuk saling pandang dengan pikiran masing-masing, tiba-tiba pak Arman keluar dari ruangannya. Bersamaan dengan itu, beberapa orang datang dan salah satu di antaranya adalah Adriel.
Hampir saja Sandra lupa untuk mengontrol dirinya. Dia segera menutup mulutnya yang menganga, melihat kedatangan Adriel. Mimi segera menggeser kursinya ke tempat semula. Suara kursi itu menarik perhatian tamu yang datang karena ruangan yang mendadak hening. Sandra melirik Mimi dengan sudut matanya. Namun, Adriel sama sekali tidak melihat ke arahnya.
"Perhatian semuanya!" Arman mulai bersuara, semua mata fokus pada laki-laki paruh baya itu."Mungkin sebagian dari kalian sudah mendengar kabar ini, tentang perusahaan kita yang berpindah kepemilikan. Seperti yang dapat dilihat di hadapan kita saat ini, telah hadir pemilik baru dari perusahaan, Bapak Adriel Jhonatan." Arman mengarahkan tangannya ke arah Adriel.Semua mata serentak bergerak ke arahnya. Hampir wanita yang hadir berbinar memandangnya, tidak terkecuali Maya. Sepupu yang selalu menganggap remeh Sandra itu tanpa sadar menggigit bibirnya."Ganteng banget," bisik Mimi pada Sandra sambil menyenggol lengan sahabatnya itu."Kami seluruh karyawan PT. Domestik Distribution mengucapkan selamat datang kepada Bapak. Kami berharap, kiranya Bapak berkenan pada kami untuk mengabdi di perusahaan ini," sambut Arman pada Adriel. Adriel hanya mengangguk pelan dengan tatapan dinginnya, menyisir semua orang yang berdiri di hadapannya. Sudah dapat dipastikan, Sandra t
Maya menyenggol lengan Sandra sebelum mempercepat langkahnya. Arman yang biasanya garang tidak dapat berkata apa-apa, bahkan untuk membela karyawan kesayangannya, Maya. Tak bisa dipungkiri, Sandra sedikit merasa di atas angin, meski ada kecemasan di hatinya. Bagaimana nasib pekerjaannya setelah ini.Sandra bergegas mengerjakan tugas dari Adriel. Sesuai dengan perintah tambahan dari Arman tadi setelah mereka keluar, Sandra harus segera menyerahkannya ke ruangan Adriel. Dengan sedikit keraguan, gadis itu mengetuk pintu ruangan Adriel kembali dengan surat yang sudah di tangannya."Masuk!" Suara baritonnya terdengar dari dalam.Sandra langsung membuka pintu dan masuk ke dalam ruangannya. Suasana di dalam lebih tegang dibandingkan tadi saat ada Arman. Menghadapi Adriel seorang diri yang menjadi bosnya, membuat jantung Sandra berdegub kencang."Saya mau menyerahkan surat itu," ujar Sandra sambil berjalan mendekati meja Adriel.Adriel mengambil kertas yang dil
Mereka sampai di sebuah butik khusus pakaian pengantin. Dapat dilihat dari gaun dan setelan jas yang dipajang di balik kaca. Kalau bukan menjaga harga diri di hadapan Adriel, Sandra sudah berdecak kagum melihat gaun-gaun super mewah dan cantik itu. Itu adalah mimpinya setiap kali dia dihina atas kesendiriannya, setiap kali Maya pamer tentang rencana pernikahannya. Sandra ingin sekali bisa berdiri di hadapan mereka dengan menggunakan gaun itu."Masuk," suruh Adriel karena Sandra yang terpana melihat gaun yang di pajang di etalase paling depan. Sandra segera sadar dan mengikuti Adriel ke dalam."Hai, sepertinya aku akan mendengar kabar baik, nih," sapa seorang wanita dengn akrabnya pada Adriel."Aku mau cari pakaian pengantin," balas Adriel, tetap saja dingin, meski wanita di hadapannya sudah tersenyum selebar mungkin."Nah, benar dugaanku, kan? Tapi, kok sendiri aja?" Wanita itu melihat di sekitar Adriel, seolah tidak melihat Sandra yang berdiri canggung d
"Aku akan tetap menikah dengannya." Adriel menjawab dengan pandangan lurus pada Sandra. Ada sesuatu yang membesar di ruang dada gadis itu akibat pernyataan Adriel. Sesuatu yang memang diharapkannya."Kamu sedang bercanda, kan Sayang." Pandangan Sandra beralih pada Alena ketika wanita itu menyebut Adriel demikian."Aku serius." Adriel sama sekali tidak menoleh pada wanita itu."Sayang, aku tahu kamu kecewa sekali padaku malam itu. Sekarang aku menyesal, aku berubah pikiran. Aku mohon, kamu harus mengubah keputusan konyol ini." Alena memelas pada Adriel. Dibiarkannya air matanya membanjiri pipi agar terlihat oleh Adriel."Ganti pakaianmu! Kita pergi dari sini." Adriel sama sekali tidak menggubris Alena.Sandra bergegas kembali ke kamar ganti, kali ini tidak ditemani oleh siapapun. Lolita lebih memilih untuk menenangkan sahabatnya yang terus memohon pada Adriel. Alena terlihat seperti pengemis cinta.Selesai mengenakan kembali pakaiannya, Sandra sege
Adriel mengutus orang untuk menjemput Darma dan Maria. Dia berencana akan memperkenalkan diri ke keluarga besar Maria di kediaman Sartika. Pernikahannya dengan Sandra akan berlangsung tiga hari lagi.Nanti malam kita ke rumah nenekmu.Begitu pesan yang ditulis Adriel untuk Sandra. Sandra juga sudah mengetahui perihal kedua orang tua dan adik perempuannya datang ke kota. Sore sepulang kantor, dia bergegas untuk sampai lebih awal agar bisa membereskan kamar kos yang sudah berantakan. Sudah bisa dibayangkan bagaimana omelan mamanya jika melihat penampakan seperti itu.Baru saja Sandra menarik napas lega setelah selesai membersihkan kamarnya, sebuah mobil hitam berhenti di depan kosannya. Seorang laki-laki yang diketahuinya orangnya Adriel keluar dari mobil untuk membukakan pintu di sebelah kemudi, lanjut pintu di belakang. Papa dan mama beserta adiknya keluar dari mobil.Ada rasa senang bisa melihat mereka kembali. Sandra memang jarang pulang ke rumah oran
Penata rias sudah selesai dengan tugasnya. Gaun pengantin yang lebih mewah telah melekat di tubuh Sandra. Dia tengah melihat dirinya di depan cemin besar. Apa yang pernah diimpikannya tercapai. Mengenakan gaun mahal dan tampil cantik di pelaminan di hadapan saudara-saudara ibunya.Sejak putus dengan kekasihnya di kampung, Sandra tidak perrnah lagi punya kekasih. Entah mengapa sulit sekali baginya menemukan laki-laki yang cocok, meski dia sendiri ingin memilikinya. Keadaan itu, ditambah lagi cacian para sepupunya yang mengantarkannya pada pernikahan ini. Meski dia menyadari, tidak akan ditemukannya kebahagiaan dalam kepura-puraan."Nyonya Sandra diminta untuk keluar." Suara seseorang membuyarkan lamunannya. Sandra berbalik badan dan tersenyum tipis pada pelayan itu.Sandra keluar dari kamar rias menemui Adriel dan yang lainnya. Dengan sedikit berpayah, dia menarik gaun yang cukup berat itu. Permata dan berlian yang bertaburan di atasnya menambah kemewahan dan keangg
Pesta telah usai, Sandra dan orang tuanya menginap di hotel tempat acara digelar. Mereka sudah berada di kamar masing-masing. Sementara Adriel masih berada dalam pesta, mengurus tamu-tamu yang tersisa. Terakhir sebelum meninggalkan aula, Sandra masih melihat Alena di sana.Sandra terduduk di pinggir ranjang, matanya menerawang ke langit-langit kamar, memikirkan apa yang baru saja dialaminya. Keputusan besar yang mempengaruhi hidupnya ke depan. Sandra memicingkan mata, meyakinkan diri bahwa semua ini benar untuj saat ini. Semua akan baik-baik saja.Tak ingin berlama-lama dengan gaun pengantin, yang sebenarnya sangat disukainya itu, Sandra langsung membukanya. Dia segera menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Wajahnya sudah terasa sangat berat, menampung bedak yang berlapis-lapis. Sandra sengaja mengguyur tubuhnya agar mendapatkan kesegaran kembali."Aw!" Seseorang masuk ke dalam kamar mandi saat Sandra sedang asik membilas diri dari sabun.Sebelum membela
Tidak ada malam pengantin, tidak ada sapaan mesra di pagi pertama. Sandra terbangun karena suara alarm dari ponselnya. Setelah kejadian semalam, Adriel kembali ke kamar untuk membuat kesepakatan baru dengan Sandra. Mereka sepakat untuk menyembunyikan status pernikahan di kantor tempat Sandra bekerja. Malam itu juga, mereka menghubungi Maya untuk tidak membocorkan pernikahan itu dengan alasan agar Sandra dapat bekerja dengan nyaman.Tidak ada yang dapat dilakukan oleh Maya, selain berusaha menyenangkan hati bos. Dan hal yang paling mengesalkan buatnya adalah Sandra yang menjadi pendamping sang bos besar. Mau tidak mau, Sandra harus menurut.Sandra setuju dengan keputusan itu agar reputasinya sebagai seorang gadis tetap terjaga. Dia begitu yakin, pernikahan mereka akan segera berakhir dalam waktu yang tidak lama, setelah tujuan keduanya tercapai.Sandra bergegas mandi dan berpakaian agar tidak terlambat ke kantor. Dia tidak akan berangkat bersama Adriel. Seperti