"Perhatian semuanya!" Arman mulai bersuara, semua mata fokus pada laki-laki paruh baya itu.
"Mungkin sebagian dari kalian sudah mendengar kabar ini, tentang perusahaan kita yang berpindah kepemilikan. Seperti yang dapat dilihat di hadapan kita saat ini, telah hadir pemilik baru dari perusahaan, Bapak Adriel Jhonatan." Arman mengarahkan tangannya ke arah Adriel.
Semua mata serentak bergerak ke arahnya. Hampir wanita yang hadir berbinar memandangnya, tidak terkecuali Maya. Sepupu yang selalu menganggap remeh Sandra itu tanpa sadar menggigit bibirnya.
"Ganteng banget," bisik Mimi pada Sandra sambil menyenggol lengan sahabatnya itu.
"Kami seluruh karyawan PT. Domestik Distribution mengucapkan selamat datang kepada Bapak. Kami berharap, kiranya Bapak berkenan pada kami untuk mengabdi di perusahaan ini," sambut Arman pada Adriel. Adriel hanya mengangguk pelan dengan tatapan dinginnya, menyisir semua orang yang berdiri di hadapannya. Sudah dapat dipastikan, Sandra tidak terlewatkan.
"Terima kasih untuk sambutannya. Cukup sampai di sini saja, saya tidak suka sesuatu yang berlebihan apalagi terkesan dibuat-buat." Mendengar ucapan Adriel, Arman mengurungkan niatnya untuk memberikan kata-kata mutiara berikutnya.
"Jika kalian ingin mengabdi untuk perusahaan ini, maka tunjukkanlah kinerja terbaik kalian! Jika tidak, jangan tunggu saya yang mengeluarkan kalian!" Semua karyawan tertunduk mendengarkannya, kecuali Sandra yang memberanikan diri mengangkat kepala. Namun, ketika mata mereka beradu, Sandra memilih untuk mengalah.
"Perusahaan ini sudah mengalami penurunan drastis. Saya harap kalian bisa bekerja lebih keras dari sebelumnya untuk bisa mendongkraknya kembali. Siapa yang sanggup berjuang keras, silakan bertahan, jika tidak lebih baik kalian mundur dari sekarang. Saya beri waktu 60 detik untuk siapa yang ingin keluar." Adriel kembali berhenti bicara, tidak ada satu pun yang berani mengangkat kepala atau pun keluar dari barisan yang tanpa komando telah mereka bentuk dengan sendirinya.
"Waktu habis. Jadi, saya anggap kalian siap untuk berjuang di perusahaan ini. Selamat bekerja, lanjutkan pekerjaan kalian." Adriel mulai melangkahkan kakinya diikuti oleh Arman dan petinggi perusahaan lainnya.
"Satu lagi, untuk mendongkrak omset perusahaan ini kembali, saya akan berkantor di sini?" Ucapan Adriel membuat mata Sandra membelalak. Rencana Adriel ini di luar sepengetahuannya, entah apa maksudnya dengn semua ini.
Usai acara perkenalan itu, Adriel langsung menuju ruangannya yang telah disediakan. Sementara para karyawan kembali pada pekerjaan masing-masing, termasuk Sandra. Arman mengikuti Adriel dari belakang. Baru kali ini mereka melihat Arman sejinak itu, biasanya dia bagaikan singa jantan yang siap menerkam karyawan yang tidak sesuai dengan harapannya.
"Kalian pasti punya pikiran yang sama denganku. Tapi, kita bisa lihat nanti siapa yang berhasil menaklukkannya." Maya mulai berkicau pada gadis-gadis yang ada di ruangan besar itu.
"Kamu, kan sudah punya pacar. Harusnya dia buat kami yang masih single ini," seloroh karyawan yang lain.
"Aku akan rela meninggalkan pacarku jika bisa mendapatkannya," ujar Maya mantap, seolah mimpinya itu akan segera menjadi kenyataan.
"Tapi, sepertinya dia pria dingin dan bos yang galak," timpal yang seorang lagi.
"Kucing mana, sih yang menolak kalau dikasih ikan?" Maya memainkan matanya.
Ada yang ikut tersenyum mendukungnya, ada juga yang meledeknya di balik senyuman yang dibuat-buat. Salah satunya adalah Sandra dan Mimi. Sandra tahu persis bagaimana berambisinya Maya untuk mendapatkan sesuatu. Apalagi, ada Sandra di kantor, dia akan selalu menunjukkan diri lebih hebat dalam segi apapun dari Sandra.
"Gayanya, macam yang paling cantik aja," bisik Mimi lagi pada Sandra.
"Kayak gak tahu dia aja," balas Sandra sambil kembali ke duduknya.
"Tapi, sumpah loh, dia ganteng banget. Wanita yang bisa mendapatkannya benar-benar beruntung. Dan yang pasti kecantikannya jauh di atas kita yang ada di ruangan ini." Mimi menertawakan diri sendiri.
"Mana tahu dia sudah punya calon istri atau bahkan istri dan anak di rumah. Apa kalian masih mengaguminya seperti ini juga?" tanya Sandra berusaha mematahkan semangat sahabatnya itu sebelum hatinya dipatahkan.
"Kalau untuk pria seganteng dan sekaya dia, jadi istri ke sekian pun aku rela." Mimi tersenyum sambil menerawang ke langit-langit.
"Ish! Kayak gak ada laki-laki aja."
"Laki-laki banyak, San. Tapi, yang seperti dia ini langka." Mimi menyolek pipi sahabatnya itu.
"Heran aku." Sandra bermaksud mengakhiri percakapannya, tapi Mimi masih saja mendekatinya.
"Aku yang heran sama kamu. Masa gak tertarik sedikit pun, pantas aja sampai saat ini kamu masih jomblo. Orang seganteng itu, loh Sandra sayang." Mimi tanpa sadar membesarkan suaranya, membuat Maya menoleh ke arah mereka.
"Kamu gak lihat wajahnya, matanya tubuhnya, apalagi bibirnya itu. Bermimpi bisa merasakannya saja, suda membuatku senang." Mimi semakin menggila dengan kekagumannya pada Adriel.
Sandra jadi teringat pada kejadian malam itu. Ketika wajah mereka tak berjarak dan Sandra bisa merasakan basah bibir laki-laki yang kini menjadi bosnya itu. Kejadian perdana yang dialami Sandra itu, masih sering terlintas di ingatannya.
"Sandra, kamu dipanggil Pak Arman." Tiba-tiba seorang teman mereka memberi tahu Sandra.
"Oh ya, terima kasih. Aku akan segera ke ruangannya." Sandra segera bangkit dari duduknya. Wajahnya berubah lemas, memikirkan kelanjutan kemarahan Pak Arman.
"Di ruangan Pak Adriel," beri tahunya lagi.
"Oo." Sandra menghentikan langkahnya, berusaha membangkitkan daya pikirnya untuk mengenali rencana Adriel.
"Permisi," ucap Sandra sembari mengetuk pintu ruangan Adriel.
"Masuk!" Sandra dapat mengenali itu suara Adriel.
Di dalam ruangan itu, ada Arman dan Adriel. Mata keduanya tertuju pada Sandra yang baru saja muncul dari balik pintu. Perasaan Sandra mendadak tidak enak, teringat permasalahannya dengan Arman tadi pagi.
"Ini dia yang bernama Sandra, Pak. Dia salah seorang staf admin yang bertugas mengurus surat-surat kontrak dengan klien." Arman menjelaskan tanpa menyuruh Sandra duduk di sofa yang sedang mereka duduki.
"Selamat siang, Pak. Perkenalkan saya, Sandra." Sandra membungkukkan badannya sedikit, bersikap profesional antara bawahan dan atasan dengan pura-pura tidak mengenal Adriel sebelumnya.
"Kamu yang menyebabkan kerja sama itu batal?" tembak Adriel langsung tanpa basa-basi.
"Maaf, Pak. Izinkan saya menjelaskannya." Sandra menoleh Arman yang tengah melirik padanya. Tatapannya seolah memperingati Sandra agar tidak menimbulkan masalah.
"Silakan," ujar Adriel, membuat Arman menarik napas panjang.
"Kebetulan saya libur pada hari penyerahan surat-surat itu. Namun, sehari sebelumnya saya sudah menyiapkan dan menyerahkannya pada rekan saya. Tiba-tiba saya dapat informasi bahwa surat-surat itu belum dibuat dan diserahkan." Arman kembali melirik Sandra. Biasanya, laki-laki itu selalu menganakemaskan Maya dibandingkan Sandra.
"Siapa rekanmu itu?" Sandra bingung bagaimana menjawab Adriel. Arman sudah memberi isyarat agar dia tidak mengatakannya.
"Saya rasa ini tidak perlu dipermasalahkan, Pak. Biar saya yang mengurus Sandra, saya yang akan memberi sangsi atas kelalaiannya," timpal Arman sebelum Sandra menutuskan untuk jujur.
"Kamu tidak berhak!" Adriel membentak Arman, membuat laki-laki itu terperanjat.
"Saya tidak suka ada karyawan yang tidak jujur. Saya ingin membuktikan kejujurannya. Kamu harus tanggung resikonya jika kamu ternyata berbohong." Adriel menatap lurus pada Sandra.
"Saya tidak akan tega mengorbankan orang lain hanya untuk menutupi kesalahan saya sendiri, Pak," tegas Sandra.
"Baik, sekarang katakan!" desak Adriel.
"Rekan yang seprofesi dengan saya, Pak." Arman menatap marah pada Sandra yang mengatakannya.
"Panggil dia," suruh Adriel.
Dengan ragu, Sandra keluar untuk memanggil Maya. Kalau bukan karena Adriel yang tampan, dia tidak akan mau menuruti Sandra. Maya dan Sandra masuk ke dalam ruangan Adriel bersamaan.
"Apa benar Sandra telah memberimu surat kontrak itu sehari sebelum dia cuti?" tanya Adriel tanpa basa-basi ataupun perkenalan dari Maya. Sebelumnya Sandra telah menceritakan perihal sepupunya itu karena termasuk dalam tujuan rencana mereka.
"Sa-saya tidak ...."
"Saya paling benci dengan pembohong, apalagi sampai mengorbankan orang lain. Ingat, saya bisa melakukan apapun untuk membuktikannya, sekarang yang saya minta hanya kejujuran." Adriel memotong Maya yang kesulitan berbicara.
"Saya lupa, Pak." Maya melirik Sandra dengan marah.
"Lupa apa?" Suara Adriel meninggi.
"Lupa kalau surat itu sudah diberikan pada saya."
"Pak Arman, silakan urus sangsi untuk dia. Sekarang kalian bisa keluar." Adriel mengakhiri sidang kecil itu. Sandra akhirnya bisa bernapas lega.
"Dan kamu, masih simpan file-nya?" Sandra mengangguk, menjawab pertanyaan itu.
"Print, ganti namanya dengan nama saya! Saya tunggu kamu di ruangan saya ini."
Usai mengatakanya, mereka bertiga segera keluar. Tampak jelas rona kemarahan terpancar dari wajah Maya. Kekagumannya pada Adriel berkurang, sementara kebenciannya pada Sandra semakin meningkat.
Maya menyenggol lengan Sandra sebelum mempercepat langkahnya. Arman yang biasanya garang tidak dapat berkata apa-apa, bahkan untuk membela karyawan kesayangannya, Maya. Tak bisa dipungkiri, Sandra sedikit merasa di atas angin, meski ada kecemasan di hatinya. Bagaimana nasib pekerjaannya setelah ini.Sandra bergegas mengerjakan tugas dari Adriel. Sesuai dengan perintah tambahan dari Arman tadi setelah mereka keluar, Sandra harus segera menyerahkannya ke ruangan Adriel. Dengan sedikit keraguan, gadis itu mengetuk pintu ruangan Adriel kembali dengan surat yang sudah di tangannya."Masuk!" Suara baritonnya terdengar dari dalam.Sandra langsung membuka pintu dan masuk ke dalam ruangannya. Suasana di dalam lebih tegang dibandingkan tadi saat ada Arman. Menghadapi Adriel seorang diri yang menjadi bosnya, membuat jantung Sandra berdegub kencang."Saya mau menyerahkan surat itu," ujar Sandra sambil berjalan mendekati meja Adriel.Adriel mengambil kertas yang dil
Mereka sampai di sebuah butik khusus pakaian pengantin. Dapat dilihat dari gaun dan setelan jas yang dipajang di balik kaca. Kalau bukan menjaga harga diri di hadapan Adriel, Sandra sudah berdecak kagum melihat gaun-gaun super mewah dan cantik itu. Itu adalah mimpinya setiap kali dia dihina atas kesendiriannya, setiap kali Maya pamer tentang rencana pernikahannya. Sandra ingin sekali bisa berdiri di hadapan mereka dengan menggunakan gaun itu."Masuk," suruh Adriel karena Sandra yang terpana melihat gaun yang di pajang di etalase paling depan. Sandra segera sadar dan mengikuti Adriel ke dalam."Hai, sepertinya aku akan mendengar kabar baik, nih," sapa seorang wanita dengn akrabnya pada Adriel."Aku mau cari pakaian pengantin," balas Adriel, tetap saja dingin, meski wanita di hadapannya sudah tersenyum selebar mungkin."Nah, benar dugaanku, kan? Tapi, kok sendiri aja?" Wanita itu melihat di sekitar Adriel, seolah tidak melihat Sandra yang berdiri canggung d
"Aku akan tetap menikah dengannya." Adriel menjawab dengan pandangan lurus pada Sandra. Ada sesuatu yang membesar di ruang dada gadis itu akibat pernyataan Adriel. Sesuatu yang memang diharapkannya."Kamu sedang bercanda, kan Sayang." Pandangan Sandra beralih pada Alena ketika wanita itu menyebut Adriel demikian."Aku serius." Adriel sama sekali tidak menoleh pada wanita itu."Sayang, aku tahu kamu kecewa sekali padaku malam itu. Sekarang aku menyesal, aku berubah pikiran. Aku mohon, kamu harus mengubah keputusan konyol ini." Alena memelas pada Adriel. Dibiarkannya air matanya membanjiri pipi agar terlihat oleh Adriel."Ganti pakaianmu! Kita pergi dari sini." Adriel sama sekali tidak menggubris Alena.Sandra bergegas kembali ke kamar ganti, kali ini tidak ditemani oleh siapapun. Lolita lebih memilih untuk menenangkan sahabatnya yang terus memohon pada Adriel. Alena terlihat seperti pengemis cinta.Selesai mengenakan kembali pakaiannya, Sandra sege
Adriel mengutus orang untuk menjemput Darma dan Maria. Dia berencana akan memperkenalkan diri ke keluarga besar Maria di kediaman Sartika. Pernikahannya dengan Sandra akan berlangsung tiga hari lagi.Nanti malam kita ke rumah nenekmu.Begitu pesan yang ditulis Adriel untuk Sandra. Sandra juga sudah mengetahui perihal kedua orang tua dan adik perempuannya datang ke kota. Sore sepulang kantor, dia bergegas untuk sampai lebih awal agar bisa membereskan kamar kos yang sudah berantakan. Sudah bisa dibayangkan bagaimana omelan mamanya jika melihat penampakan seperti itu.Baru saja Sandra menarik napas lega setelah selesai membersihkan kamarnya, sebuah mobil hitam berhenti di depan kosannya. Seorang laki-laki yang diketahuinya orangnya Adriel keluar dari mobil untuk membukakan pintu di sebelah kemudi, lanjut pintu di belakang. Papa dan mama beserta adiknya keluar dari mobil.Ada rasa senang bisa melihat mereka kembali. Sandra memang jarang pulang ke rumah oran
Penata rias sudah selesai dengan tugasnya. Gaun pengantin yang lebih mewah telah melekat di tubuh Sandra. Dia tengah melihat dirinya di depan cemin besar. Apa yang pernah diimpikannya tercapai. Mengenakan gaun mahal dan tampil cantik di pelaminan di hadapan saudara-saudara ibunya.Sejak putus dengan kekasihnya di kampung, Sandra tidak perrnah lagi punya kekasih. Entah mengapa sulit sekali baginya menemukan laki-laki yang cocok, meski dia sendiri ingin memilikinya. Keadaan itu, ditambah lagi cacian para sepupunya yang mengantarkannya pada pernikahan ini. Meski dia menyadari, tidak akan ditemukannya kebahagiaan dalam kepura-puraan."Nyonya Sandra diminta untuk keluar." Suara seseorang membuyarkan lamunannya. Sandra berbalik badan dan tersenyum tipis pada pelayan itu.Sandra keluar dari kamar rias menemui Adriel dan yang lainnya. Dengan sedikit berpayah, dia menarik gaun yang cukup berat itu. Permata dan berlian yang bertaburan di atasnya menambah kemewahan dan keangg
Pesta telah usai, Sandra dan orang tuanya menginap di hotel tempat acara digelar. Mereka sudah berada di kamar masing-masing. Sementara Adriel masih berada dalam pesta, mengurus tamu-tamu yang tersisa. Terakhir sebelum meninggalkan aula, Sandra masih melihat Alena di sana.Sandra terduduk di pinggir ranjang, matanya menerawang ke langit-langit kamar, memikirkan apa yang baru saja dialaminya. Keputusan besar yang mempengaruhi hidupnya ke depan. Sandra memicingkan mata, meyakinkan diri bahwa semua ini benar untuj saat ini. Semua akan baik-baik saja.Tak ingin berlama-lama dengan gaun pengantin, yang sebenarnya sangat disukainya itu, Sandra langsung membukanya. Dia segera menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Wajahnya sudah terasa sangat berat, menampung bedak yang berlapis-lapis. Sandra sengaja mengguyur tubuhnya agar mendapatkan kesegaran kembali."Aw!" Seseorang masuk ke dalam kamar mandi saat Sandra sedang asik membilas diri dari sabun.Sebelum membela
Tidak ada malam pengantin, tidak ada sapaan mesra di pagi pertama. Sandra terbangun karena suara alarm dari ponselnya. Setelah kejadian semalam, Adriel kembali ke kamar untuk membuat kesepakatan baru dengan Sandra. Mereka sepakat untuk menyembunyikan status pernikahan di kantor tempat Sandra bekerja. Malam itu juga, mereka menghubungi Maya untuk tidak membocorkan pernikahan itu dengan alasan agar Sandra dapat bekerja dengan nyaman.Tidak ada yang dapat dilakukan oleh Maya, selain berusaha menyenangkan hati bos. Dan hal yang paling mengesalkan buatnya adalah Sandra yang menjadi pendamping sang bos besar. Mau tidak mau, Sandra harus menurut.Sandra setuju dengan keputusan itu agar reputasinya sebagai seorang gadis tetap terjaga. Dia begitu yakin, pernikahan mereka akan segera berakhir dalam waktu yang tidak lama, setelah tujuan keduanya tercapai.Sandra bergegas mandi dan berpakaian agar tidak terlambat ke kantor. Dia tidak akan berangkat bersama Adriel. Seperti
Mereka sampai di sebuah rumah berpagar putih dengan warna cat dinding bagian luar yang senada. Mobil Adriel berhenti tepat di depannya, tapi mereka tidak langsung keluar. Adriel memperhatikan ke dalam pekarangan yang mudah dilihat untuk beberapa saat. Sementara Sandra ikut menoleh dengan ekspresi kebingungannya."Ini rumah siapa?" tanya Sandra memecah keheningan."Kita akan bertemu Bu Ani di sini." Mata Adriel masih terarah ke rumah itu."Maksudmu, Bu Ani tinggal di sini?" tanya Sandra dengan ekspresi kurang yakin."Ya.""Kamu tahu dari mana, bahkan kamu tidak mengenalinya.""Kamu tidak perlu tahu bagaimana caraku mengetahuinya. Ayo keluar!" Adriel langsung membuka pintu mobil dan keluar, diikuti oleh Sandra."Kamu yakin ini rumahnya?" Sandra sudah berdiri di sampingnya. Mereka sibuk memeriksa rumah yang seperti tidak ada penghuni itu."Kamu pikir, anak buahku berani memberikan informasi salah padaku?" Adriel menatap Sandra dengan kesa