Wajah Pras kontan berubah panik seketika, saat melihat sang istri yang duduk dan mengaduh kesakitan. Langsung berlutut di hadapan Sinar dan reflek meraba perut yang membuncit itu dengan khawatir. Jantungnya sudah berdetak tidak karuan, melihat Sinar yang meringis menahan nyeri.
“Yang mana yang sakit, Nar?” tanya Pras dengan wajah pias penuh penyesalan. Tangan Pras dengan tanggap langsung berada di punggung serta perut sang istri. “Perutmu sakit? kita ke rumah sakit seka—”
Ucapan panik Pras itu terpotong seketika, saat Sinar memukul tangan yang tidak henti mengusap perut besarnya itu. “Pergi! Gak usah deket-deket! Awas aja sampe anakku kenapa-kenapa!”
Pras bungkam, batinnya sudah sangat gusar memikirkan ucapan Sinar tentang anak mereka. Mencoba menenangkan diri, tapi tidak kunjung bisa. Sungguh, Pras tidak sengaja menarik tangannya, karena ingin pergi dan enggan berdebat dengan sang istri. Tidak pernah menduga sedikit pun
Selang infus yang juga berisi antibiotik sudah tertancap di lengan Sinar. Hal itu dilakukan agar tidak terjadi infeksi pada bayi di dalam kandungannya. Tindakan medis tersebut dilakukan oleh dokter pengganti, karena Dokter Novi masih melakukan operasi di rumah sakit lain.Kondisi janin sementara, masih bisa dikatakan sehat dan baik-baik saja. Pergerakannya juga masih aktif di dalam sana. Untuk hal yang satu itu, Pras dan Sinar akhirnya bisa bernapas dengan sangat lega.“Apa masih bisa lahir normal, Dok?” tanya Sinar pada sang dokter pengganti yang bernama Desi. “Kan HPLnya masih tiga mingguan lagi.”Desi yang sudah membaca rekam medis Sinar sebelumnya, memberika senyum ramahnya. “Kalau sudah 37 minggu, sebenarnya janin sudah matang dan siap dilahirkan,” terang Desi. “Karena air ketubannya masih merembes dan baru bukaan satu, jadi kita tunggu aja dulu ya. Kontraksinya juga tolong dipantau rentangnya.”“
July dan Jonas sudah berada di dalam ruangan bersama Sinar yang tidak berhenti merintih jika kontraksinya tiba-tiba datang mendera.Sementara Pras, hari ini seolah merasa jadi pria yang paling tidak berguna, karena tidak bisa melakukan apapun untuk menghentikan rasa sakit yang di derita sang istri. Pria itu sudah berkali-kali menawarkan agar Sinar melakukan operasi caesar saja, karena tidak tega mendengar sang istri yang kerap merintih kesakitan.“Bunda, sakiiit …” kali ini giliran July yang menjadi sasaran rengekan Sinar.“Sabar, ini baru bukaan lima, nanti kalau sudah keluar pasti lega,” ujar July yang memang selalu ceplas ceplos kepada Sinar, sembari sibuk mengusap punggung juga pinggul putrinya itu dengan lembut.“Caesar ajalah, Nar,” ujar Pras kembali ingin meyakinkan dengan wajah kusutnya. Sedari tadi yang dilakukan Pras hanyalah menjambak rambutnya sendiri, karena frustasi melihat Sinar merintih di depan m
Pras ikut menahan napas, ketika melihat Sinar mengejan dengan sekuat tenaga. Satu tangannya dengan setia berada di genggaman Sinar. Pasrah, ketika mendadak kuku sang istri sudah menancap erat saat kontraksi itu datang kembali. Berkali-kali Pras mengusap titik peluh yang mengucur di seluruh wajah sang istri. Berkali-kali pula nyawanya seolah melayang ketika melihat perjuangan Sinar yang benar-benar menguras tenaga. Setelah dinyatakan pembukaannya telah sempurna. Sinar segera di bawa ke ruang bersalin dan bersiap untuk melahirkan sang bayi yang telah ditunggu-tunggu kelahirannya. “Dok …,” panggil Sinar dengan tersengal sembari menggeleng. “Gak kuat …” rengeknya masih terus mengatur napas. “Operasi, Dok!” sambar Pras dengan cepat, karena sudah benar-benar tidak tega dengan kondisi istrinya saat ini. Dokter Novi tersenyum penuh kelembutan. Dengan wajah sabarnya, wanita paruh baya itu berujar kepada Pras, “Kepalanya sudah kelihatan, loh, Pak. Tingg
Senyum yang ada di wajah Raja dan Aida tidak surut sedetik pun, ketika menjenguk cucu keduanya itu. Terutama Aida yang akhirnya bisa benar-benar bernapas lega. Anak tertuanya akhirnya menikah, dan sudah dikaruniai keturunan yang sangat tampan. Lepaslah sudah satu beban dari pundaknya. Kini, tinggal menunggu Bira, yang masih berkeliaran tidak tentu arah dalam memilih pasangan hidupnya. Namun, karena usia Bira belum menginjak kepala tiga, Aida masih bisa santai sejenak menikmati hidup. Membiarkan anak bontotnya itu bersenang-senang, dan Aida baru akan bertindak, kalau Bira sampai tidak berhubungan serius dengan wanita ketika menginjak kepala tiga. “Ini, sih, Pras junior,” ucap Raja ketika pertama kali melihat wajah cucunya itu. “Plek banget sama Pras waktu bayi, iya, gak, Mi?” tanya Raja meminta persetujuan sang istri. “Banget!” seru Aida menatap sekilas pada sang suami, kemudian kembali mengalihkan perhatiannya pada sang cucu yang tertidur lelap di gendonganny
Setelah tiga hari berada di rumah sakit, Sinar akhirnya kembali ke rumah yang sangat ia rindukan. Itu pun, Pras sempat memaksa agar Sinar tidak perlu pulang dulu hingga benar-benar pulih. Namun, Sinar menolaknya dengan rengekan tanpa henti, hingga Pras mengalah dan menuruti sang istri untuk pulang ke rumah. Tidak hanya itu sebenarnya. Ketika sampai di rumah pun, Pras telah menyiapkan Sinar sebuah kursi roda, agar Sinar tidak terlalu banyak bergerak selama masa pemulihan. Pras benar-benar tidak tega, ketika melihat istrinya itu berjalan dengan sangat perlahan dan hati-hati ketika melangkah. “Kamu tuh, lebay, Mas,” decak Sinar yang menolak untuk memakai kursi rodanya. “Aku tuh masih bisa jalan. Lagian kata dokter, aku tuh harus gerak seperti biasa, meskipun harus hati-hati dulu sementara.” “Justru itu, sementara ini, kamu bisa pake kursi roda dulu,” saran Pras. “Kan enak, kamu tinggal gerakin tuasnya terus bisa jalan dengan cepat.” “Ih, yaa enggaklaaaah
Pagi itu, adalah pagi pertama Qaishar berada di rumah. Ada seorang suster yang akan datang untuk memandikan bayi tampan itu setiap pagi dan sore harinya. Pras pun menyaksikan Qaishar yang dimandikan oleh suster tersebut dengan seksama. Sedangkan Sinar, wanita itu tengah mengisi amunisi agar ASI yang diberikan pada putranya semakin lancar dan tidak sampai kurang. Sementara itu, Aida sibuk dengan kamera mirrorless keluaran terbaru, yang digunakan untuk mengabadikan moment tersebut, dengan sebuah video. “Qai, rewel gak semalam?” tanya Aida pada Pras, ketika sang suster sudah mengangkat Qaishar dari bak mandi. “Gak rewel, cuma bangun-bangun minta ASI sampai …” Pras menghitung sejenak, berapa kali dirinya terbangun karena putranya itu menangis karena lapar. “Lima kali,” ungkapnya dengan yakin. “Kamu ikut bantuin Sinar, atau lanjut tidur?” selidik Aida dengan memicingkan mata. “Cuma bisa bantu ngangkat sama mindahin Qai,” jawab Pras tanpa melepaskan
Sinar menerima suapan demi suapan yang diberikan Pras dengan hati kesal. Menahan sakit hati karena masih terngiang dengan bentakan suaminya tersebut. Selama itu, Sinar hanya mendiamkan Pras dan tidak memberikan seulas senyum pun pada pria itu.“Bukannya aku sudah bilang, aku gak ngebentak kamu,” Pras dengan alibinya, meyakinkan diri karena memang tidak merasa membentak Sinar sama sekali.“Terserah! Tapi aku sakit hati dengar omongan kamu tadi,” balas Sinar mengalihkan tatapannya dari wajah Pras.“Tapi, aku benar, Nar.” Pras tetap bertahan dengan argumennya. “Gimana kalau ada Ato lewat? Atau yang lain, pak Juna misalnya? Dan mereka lihat kamu lagi begini?” satu telapak tangan Pras terbuka, untuk menunjuk Qaishar yang masih saja sibuk menyesap ASInya dengan sangat lahap.“Ya, kamu bisa ngomong baik-baik, Mas,” sangkal Sinar. “Gak pake bentak-bentak.”Meskipun sedari tadi mereka b
Usia Qaishar sudah memasuki hari ke sembilan. Lantas hari itu, adalah hari pertama Pras harus meninggalkan putra kesayangannya untuk bekerja.Rutinitas Sinar pun, mau tidak mau harus kembali seperti semula. Menyiapkan semua keperluan untuk Pras di pagi harinya. Meskipun, geraknya masih belum bisa selincah dan secepat dahulu kala. Rasa trauma serta nyeri akibat jahitan pada jalan lahirnya, masih menghantui hari-harinya jika hendak melakukan suatu hal.Sementara Sinar sibuk menyiapkan pakaian Pras yang warnanya sangat-sangat monoton, yakni hanya ada kemeja dengan satu warna yaitu putih. Sinar tidak perlu bingung lagi, jika harus memadu padankan jas dengan kemeja beserta dasinya yang hendak dipakai oleh Pras.Sementara itu, Pras sendiri tengah merebahkan diri bersama putra, yang sementara ini masih memiliki hobi tertidur itu. Tunggu saja dua atau tiga bulan lagi, maka bayi tersebut mungkin sudah bisa berguling-guling dan berteriak sekehendak hatinya.“