Sudah hampir setengah jam Pras berada di rumah. Pria itu bahkan sudah membersihkan diri dan mengganti pakaiannya. Namun, istrinya itu tidak kunjung tiba.
Qaishar pun tampak sedikit rewel dan tidak ingin meminum ASIP seperti biasanya. Bahkan, Qaishar tidak mau meminum obat yang sudah diresepkan dokter ketika mereka di rumah sakit. Balita itu selalu saja melepehnya dan langsung mengamuk ketika dipaksa. Pras menduga, hal itu karena luka jahitan yang kini membekas di dagunya, karenanya Qaishar jadi bertingkah demikian.
Akhirnya, demi mendiamkan sang putra tercinta, Pras membawa Qaishar ke garasi dan membiarkan balita itu bermain sepuasnya di dalam mobil yang diinginkannya.
Sementara, Qaishar bermain dengan berbagai tuas yang tersebar di kemudi, Pras mencoba menghubungi Sinar, dan juga Mario secara bergantian. Namun, yang aneh adalah, kedua orang tersebut kompak tidak mengangkat panggilan darinya.
Baru saja Pras meletakkan ponselnya pada door pocket, dan h
Pras menatap sendu pada sosok yang sudah dua hari terbaring lemah, di ranjang rumah sakit. Setelah berjuang diantara hidup dan mati, karena mengalami pendarahan postpartum primer pasca melahirkan, Sinar akhirnya mampu bertahan. Namun, wajah pucat itu, masih betah menutup mata, meskipun dokter mengatakan masa kritisnya telah terlewati. Dengan penuh rasa sesal yang begitu dalam, Pras selalu setia berada di samping Sinar setiap detiknya. Ini kedua kalinya, Pras melakukan hal yang sama, hingga membuat sang istri kembali melahirkan tidak sesuai dengan hari perkiraan lahir. Pras kembali menjadi penyebab Sinar terbaring, dengan kondisi yang lebih menyayat hati. “Makan dulu,” ucap seorang wanita yang menyentuh bahu Pras dan sedikit memberi remasan di sana. “Hm.” Hanya gumaman yang diberikan oleh Pras, tanpa berniat pindah sedikit pun dari tempat duduk yang berada di samping ranjang pasien. Kepala Pras mendongak untuk menatap sudut langit-langit, sembari membu
Sinar tidak dapat menahan tumpahan air mata, ketika mendengar penjelasan dokter mengenai keadaaan bayinya. Terisak karena pilu, sekaligus menahan rasa nyeri setelah operasi. “Boleh saya gendong?” pinta Sinar separuh memohon kepada sang dokter. Ibu mana yang tidak tersayat pilu, ketika melihat bayi mungilnya berada di dalam inkubator dengan alat bantu pernapasan yang terpasang di tubuhnya. Putri kecilnya itu lahir prematur, dengan kondisi berat badan lahir rendah. Ditambah, waktu kelahiran yang kurang dari 37 minggu, membuat paru-paru sang bayi belum berkembang secara sempurna. Untuk itulah, sang bayi benar-benar harus mendapatkan perawatan intesif di ruang NICU. Sang dokter yang menangani bayi mungil mereka pun mengangguk. Meminta suster untuk mengambil bayi tersebut dan menyerahkannya ke gendongan Sinar. “Hei, it’s oke,” Pras berjongkok di samping Sinar untuk menenangkan dan memberi kekuatan. “She’s strong and she’ll be fine.” Sinar mencebik
Hari itu, akhirnya putri tercinta Sinar sudah diperbolehkan pulang. Setelah sepuluh hari bergelut dengan semua perawatan, bayi mungil itu kini sudah bisa bernapas mandiri dan kondisinya sudah benar-benar stabil. Setelah ini, yang menjadi pekerjaan rumah bagi Sinar adalah, menaikkan berat badan sang anak, agar bisa terus berada pada standar grafik pertumbuhan yang sehat. Kondisi Sinar pun sudah pulih pasca operasi, meskipun masih dalam mode syarat dan ketentuan berlaku. Yakni, Sinar tidak boleh terlalu lelah dan melakukan hal yang terlalu berat. Asupan gizinya juga sudah tentu harus dijaga dengan baik. Untuk mengurus putri keduanya ini, Pras sudah melonggarkan aturan ketat yang dulu pernah dibuatnya. Karena tidak mungkin, kalau istrinya yang masih dalam tahap pemulihan itu, harus mengurus dua anak sekaligus. Oleh sebab itu, Pras menugaskan Lusi sepenuhnya, untuk menjaga Qaishar. Sedangkan untuk putrinya, Pras masih mencari baby sitter yang
Pras bersedekap tegak. Kedua kakinya terbuka sejajar dengan bahu. Menatap putri yang terlihat lebih mungil, jika dibandingkan dengan Qaishar dahulu kala. Jelas saja semua jauh berbeda, putranya dilahirkan ketika usianya sudah cukup bulan dan normal. Sedangkan putrinya, terlahir ketika usianya belum cukup bulan dan prematur. Namun, bukan di situ letak masalahnya. Namu, lidahnya terkadang merasa kelu, ketika harus memanggil nama putrinya. “Kenapa dilihatin aja?” tanya Sinar setelah keluar dari kamar mandi dan sudah terlihat sangat segar. Meskipun kondisi hatinya masih merasa kesal karena masalah nama putrinya. “Pindahin ke box bayi.” “Nar …” “Hm!” “Aku manggil Binar, bukan Sinar.” Suara berat itu berujar datar, tanpa menolehkan kepalanya pada sang istri sama sekali. Tatapannya tetap tertuju pada sang putri yang masih terlelap puas seusai mandi sore. Sinar yang masih kesal itu, langsung mendatangi Pras. Berhenti di depan sang suami dan me
Ketenangan dua insan yang tengah terlelap itu, kini terusik karena suara gedoran pintu yang sangat berisik dan tidak kunjung henti. Belum lagi, teriakan dari suara-suara kecil itu, terdengar saling bersautan dan terus memanggil-mangil dari luar sana. “Mas, lepasin!” hardik Sinar, seraya memukul lengan Pras yang semakin memeluk erat tubuh polosnya. Hawa sejuk dari pendingin ruangan, semakin membuat Pras enggan menjauh dari tubuh sang istri, meski suara nan berisik itu semakin memekakkan telinga. “Ayah ...” “Endaa …” Suara-suara menggemaskan itu, semakin semangat memanggil keduanya dari balik pintu. “Maas!” Pras berdecak kecil, lalu melepaskan tangannya. Meraih remote yang berada di nakas untuk menyalakan seluruh penerangan di kamar mereka. Sinar bergegas bangkit dan memungut lingerie yang tergeletak di lantai. Mengambil kaos dan celana pendek Pras, dan melemparkannya pada pria itu. “Buruan pake,” titah Sinar yang masih m
Holaa ... Bab ini gak pake koin ya, alias free. Yang nungguin season 2, Insya Allah dipost mulai senin. Itu pun kalau masih ada yang nungguin. Hweehee ... Moga masih ada yaa, Amin .... Saia curcol dikit boleh donk ya. Tantangannya tuh kalau bikin sequel gini, khawatirnya gak se-greget yang pertama. Tapi, moga-moga aja bisa greget juga yah. Paling gak, saia harap bisalah ya, nyamain cerita sebelumnya, meskipun plotnya dibikin dadakan. Satu lagi, buat pembaca baru yang masih tanya dan bingung. My Dearest Cahaya benar-benar gak ada hubungannya dengan My Arrogan Lawyer. MDC itu, sequel dari cerita di sebelah yang nama tokohnya sama yaitu Sinar sama Pras. Jadi, mo'on maap kalau sempat membuat bingung. Untuk semua atensinya, saia ucapkan thankiiizz muuucchh ... Kisseeddd ...
Sinar berdecak kecil dengan wajah memberengut, ketika membelitkan dasi di leher Pras. Sebentar lagi suaminya itu akan berangkat ke kantor. Namun, sisa-sisa perdebatan keluarga semalam, masih saja menggantung di sanubari. “Sudahlah, Nar. Gak usah dipikirkan.” Setelah bertahun-tahun mereka menikah, tidak perubahan yang signifikan pada diri Pras. Ia masih saja memanggil Sinar dengan namanya saja jika sedang berdua, dan akan memanggil sayang, jika tengah ada maunya. “Gimana gak dipikirin,” decaknya sekali lagi. “Aku dulu, umur segitu udah mau punya anak dua, eh, udah punya anak dua apa belum ya?” tanya Sinar pada diri sendiri, sembari mengingat kembali dan menghitung-hitung usianya, ketika melahirkan anak kedua. “Itu karena jodohmu cepat, makanya umur segitu sudah punya anak dua,” papar Pras lalu menepuk kepala Sinar satu kali. “Harusnya Qai yang kamu buru buat nikah dan bawa calonnya ke sini, bukan adeknya.” Sinar menurunkan kerah baju sang suami, setela
Pump heel setinggi tujuh senti itu, memasuki lobi hotel dengan tergesa. Tatapannya tajam, tidak lepas memandang punggung dua orang berbeda kelamin, yang kini berlalu menuju lift. Berhenti di depan meja resepsionis sembari mengeluarkan ponsel dari saku blazernya. Membuka benda canggih itu dengan terburu, lalu menyodorkannya pada wanita yang berdiri cantik di balik meja.“Orang ini, check in di kamar dan lantai berapa?” tanyanya tanpa berbasa basi, tapi, kali ini sudah terkesan santai.Sang resepsionis dengan name tag bertuliskan Sunny itu, melihat sekilas pada ponsel yang disodorkan kepadanya. “Maaf Ibu, kami tidak bisa memberikan—”“Oke!” putusnya yang paham dengan hal tersebut. Menarik kembali ponselnya lalu menelepon seseorang. “Aku lagi Palace High, ada kasus dan resepsionismu gak bisa diajak kerja sama. Kirim manajermu ke sini, aku tunggu sepuluh menit.”Wanita itu langsung mengakhiri pembicaraan d