Pump heel setinggi tujuh senti itu, memasuki lobi hotel dengan tergesa. Tatapannya tajam, tidak lepas memandang punggung dua orang berbeda kelamin, yang kini berlalu menuju lift. Berhenti di depan meja resepsionis sembari mengeluarkan ponsel dari saku blazernya. Membuka benda canggih itu dengan terburu, lalu menyodorkannya pada wanita yang berdiri cantik di balik meja.
“Orang ini, check in di kamar dan lantai berapa?” tanyanya tanpa berbasa basi, tapi, kali ini sudah terkesan santai.
Sang resepsionis dengan name tag bertuliskan Sunny itu, melihat sekilas pada ponsel yang disodorkan kepadanya. “Maaf Ibu, kami tidak bisa memberikan—”
“Oke!” putusnya yang paham dengan hal tersebut. Menarik kembali ponselnya lalu menelepon seseorang. “Aku lagi Palace High, ada kasus dan resepsionismu gak bisa diajak kerja sama. Kirim manajermu ke sini, aku tunggu sepuluh menit.”
Wanita itu langsung mengakhiri pembicaraan d
Menunggu sekitar sepuluh menit di depan kamar yang bertuliskan angka 1069, barulah jemari lentik itu mengetuk pintunya. “Room service!” ujarnya dengan telunjuk tangan kiri menutup peep hole yang berada di depannya. Cukup lama ia menunggu, hingga melihat handle pintu akhirnya bergerak ke bawah. “Selamat sore, Pak Endy Hasan,” sapanya dengan teramat sopan dan formal. Seperti ketika mereka berjumpa di pengadilan ketika sidang di gelar. Tidak ada senyum, hanya wajah datar tanpa ekpresi, yang ditujukan pada pria yang membuka pintu hanya sebesar tubuhnya saja. Endy menghela kasar karena kesenangannya telah tersela. Endy pun yakin, kalau wanita di depannya kini sengaja menutup peep hole yang terpasang di pintu. Agar, ia tidak bisa melihat siapa pun yang berada di baliknya. “Ah, ada Ibu Sur—” “MAI!” putusnya dengan cepat untuk meralat ucapan Endy. Ia teramat kesal jika ada yang memanggilnya dengan sebutan ‘Ibu Suri’. Hal itu terkait dengan arti dari kata ters
Mai memasuki lift masih dengan langkah yang terhuyung, sembari menenteng kedua pump heelnya di tangan kiri. Setelah menekan tombol yang langsung mengarah ke basement, punggung Mai langsung merosot lega. Terduduk dan kembali menikmati gumpalan udara bebas, yang akhirnya bisa ia hirup dengan tenang.Aksinya kali ini benar-benar nekat. Padahal, Mai hanya tidak sengaja melihat Endy keluar dari sebuah pusat perbelanjaan. Namun, saat ia melihat Endy menggandeng seorang wanita, di situlah Mai mulai bertindak dengan mengambil beberapa foto dan mengikuti sendiri pria tersebut hingga ke hotel.Tidak pernah menyangka, kalau nyawanya hampir saja menjadi taruhan. Namun, dengan semua bukti yang ia dapat kali ini, Mai tentunya bisa membawanya ke pengadilan dan memenangkan satu kasus lagi.“Mbak Mai?” tegur seorang pria yang saat ini berdiri di luar lift yang pintunya ternyata sudah terbuka.Mai pun mengangkat wajah kuyunya. Menatap seorang pria yang selalu s
Baru saja Mai melangkahkan kakinya masuk ke ruang keluarga, satu tangan besar sudah langsung menyambut dan merangkulnya dengan gemas. Tidak perlu menoleh, dari baunya saja, Mai sudah tahu siapa yang saat ini berada di sebelahnya.Mai pun seketika berdecak. Menyingkirkan tangan besar itu, lalu mundur satu langkah. “Gendong ke kamar, aku capek!”“Ingat umur Mai! Kamu tuh bukan anak kecil lagi. Masih aja minta gendong,” dumel Qai, tapi tetap saja ia berjongkok di depan sang adik yang memang terlihat tampak lelah. “Mending, berhenti aja jadi pengacara. Di rumah aja kayak enda ngawasi saham perusahaan dari jauh.”Mai mencebik dengan tajam di belakang sang kakak. Tanpa segan, ia langsung menjatuhkan tubuhnya dipunggung Qai dan mengalungkan tangannya dengan erat pada leher pria itu. Memilih diam dan tidak ingin menanggapi ucapan Qai yang menurutnya tidak penting itu.Baru lima langkah Qai membawa tubuh Mai di punggungnya, Sina
Sinar menatap kesal pada Pras yang baru saja masuk ke dalam kamar. Setelah makan malam, suminya itu sibuk berada di ruang kerjanya bersama Mai. Sedangkan Qai, sudah pasti berada di depan teve tengah bermain game, dengan mengajak salah satu pelayan pria yang ada di rumah. Sebelum bergelung satu selimut dengan sang istri, Pras beranjak ke kamar mandi terlebih dahulu. Setelah itu, Pras mengganti baju dengan piyama tidurnya. Sinar menyingkap selimut dan menepuk sisi kosong yang berada di sebelahnya, ketika melihat Pras baru keluar dari walk in closet. “Jangan tidur dulu, aku mau ngomong, penting!” seru Sinar yang duduk bersandar pada headboard. “Hm, mau ngomong apa?” tanya Pras setelah duduk di samping Sinar dan membalut kakinya dengan selimut yang sama. “Suruh Mai berhenti jadi pengacara,” titah Sinar menatap tajam pada Pras. “Terus, kamu itu gak bisa manjain Mai terus-terusan seperti itu, Mas. Qai kamu biar-biarin, lah Mai, apa-apa diurusin.”
Mai melukis senyum tipis sembari menutup pintu kamarnya. Saat ini, Mai tengah membaca sebuah chat dari pengacara lawan yang menangani kasus perceraian Endy Hasan. Sang pengacara mengatakan, bahwa dirinya akan mundur dari kasus karena perbuatan kliennya pada Mai kemarin sore. Ya, Pras sendirilah yang menelepon Lubis kemarin malam. Menceritakan perihal kejadian yang dialami putrinya di Palace Hotel. Jika Lubis masih terus saja membela kliennya, Pras bisa pastikan kalau wartawannya di Metro Ibukota, akan terus memberitakan sang pengacara dengan mengulik hal kelam yang pernah dilakukannya terus menerus. Mai mempercepat langkahnya ketika melihat Pras dan Sinar sudah duduk berdampingan mengitari meja makan, tapi dengan sisi yang berbeda. Satu tangannya langsung mengalung pada leher Pras, dan mengecup singkat pipi sang ayah. “Pak Lubis barusan chat, dia mundur dari kasus,” kata Mai lalu menarik kursi di samping Pras dan berhadapan dengan Sinar.
Mai mengerucutkan bibir tipisnya, memandang datar tanpa minat pada pasangan kencan butanya malam ini. Entah bagaimana dengan Qai. Kakaknya itu terlihat santai, dan berpakaian sangat kasual, ketika berangkat dengan arah tujuan yang berbeda dengannya.Sang bunda memang sudah mengatur, agar Mai dan Qai berkencan di tempat yang terpisah jauh. Hal itu untuk mengantisipasi, adanya ‘kerjasama’ diantara keduanya. Bisa saja kan, pasangan kencan yang seharusnya bertemu dengan Mai, malah dipertemukan dengan pasangan Qai. Kalau sudah begitu, retaklah sudah seluruh rencana Sinar.Malam ini, teman kencan yang dipilihkan untuk Mai sebenarnya lumayan tampan. Hanya saja, tidak ada chemistry serta percikan api yang menggelora di hati. Tidak seperti saat dirinya melihat Byakta, meskipun dari jarak jauh sekali pun. Mereka memang baru saja duduk sekitar sepuluh menit, tapi, Mai sudah mulai merasa bosan dan ingin mengakhiri pertemuannya kali ini.Bicara tentang Byakta, ta
Satu hal lagi yang membuat kekesalan Mai lengkap malam ini, yakni sang bunda ternyata meminta supir pribadi Mai untuk meninggalkannya. Alhasil, Mai kembali terperangkap dengan Rajendra selama perjalanan pulang ke rumah.Mai bisa naik taksi sebenarnya, tapi, sebuah chat yang bernada ancaman dari sang bunda, membuat Mai mau tidak mau menuruti perintahnya.“Kamu ada hubungan dengan Byakta?” tanya Rajendra ketika roda empatnya menjauh dari restoran tempat mereka mengadakan blind date. “Mantan pacar ata—”“Gak ada hubungan apa-apa,” putus Mai tidak ingin membicarakan tentang Byakta yang ternyata sudah memiliki kekasih.“Tapi, aku lihatnya gak begitu, kalian seperti—”“Bangunin aku kalau sudah sampai.” Mai kembali menyela ucapan Rajendra sembari menurunkan sandaran joknya. Ia benar-benar sudah tidak berminat dengan semua hal tentang Byakta.Rajendra semakin dibuat penasaran de
Pagi harinya, Mai keluar dari kamar dengam menggunakan bathrobe. Melenggang santai keluar rumah, menuju kolam renang yang berada diantara bangunan depan dan belakang. Sudah terlihat Qai yang lebih dulu menenggelamkan tubuhnya di dalam sana, dan Mai pun berdiri sejenak untuk mengamati. "Gimana semalem?" tanya Mai yang melihat Qai sudah berhenti dari kegiatannya, tapi masih betah berendam di kolam. Qai yang baru menyadari keberadaan Mai, akhirnya berenang ke sisi kolam, tempat adiknya itu berada. "Cakep, sih. Pintar juga, kok anaknya," seloroh Qai menjawab pertanyaan sang adik. "Tapi?" sambar Mai yang sudah mengerti dengan watak sang kakak. Wajah Qai yang tidak antusias itu, sudah menandakan kalau kencannya semalam tidak terkesan istimewa. Atau, mungkin cenderung biasa. "Tapi, gak asyik aja anaknya,” decak Qai seraya melipat kedua tangannya di sisi kolam. Mendongak untuk menatap Mai yang masih bersedekap. “Kamu juga sama pasti, kan?” kekeh Qai yan