“Hola, sleeping beauty?”
Mai terdiam sejenak. Masih menyesuaikan diri dengan situasi yang ada di depannya. Memikirkan, hal terakhir yang terjadi sebelum ia terlelap dan masih dalam keadaan duduk seperti sekarang.
“Eugh …” gumam Mai lalu bangkit menegakkan tubuhnya yang terasa kaku. Kedua tangannya pun terangkat untuk memijat bahu serta leher bagian belakangnya. Meregangkan punggungnya yang saat ini terasa tidak nyaman karena baru saja tidur dengan membungkuk.
Qai?
Mai menoleh ke sana kemari untuk mencari sang kakak yang seingatnya, tengah duduk di sebelahnya sebelum Mai terlelap. Namun, mengapa saat ini hanya ada Raj yang menggantikan tempat Qai?
“Mas Qai? Ke mana?” tanya Mai dengan malas dan suara berat khas bangun tidur. Manik Mai masih berpendar di dalam gedung, yang sepertinya sudah tidak terlalu ramai seperti ketika ia mulai tertidur.
Raj yang baru kali ini melihat wajah Mai dengan surai ikal yang tergerai bebas, hanya bisa terdia
“Mai …”“Hm.” Tanpa menoleh sedikit pun, Mai terus saja menggerakkan ibu jarinya pada benda pipih yang sedari tadi ada di tangan. Bukan tanpa alasan dan bukan bermaksud tidak sopan, tapi, ada hal mendesak yang memang harus ia ketik dan kirimkan saat itu juga.“Bayaran pengacara dengan jam terbang seperti kamu itu, mahal gak, sih?” Raj menumpu siku kanannya pada sisi bingkai jendela, yang tertutup di samping kanan. Sedangkan tangan kirinya, ia pakai untuk mengendalikan kemudi dengan satu tangan. Menatap lurus dan tetap berkonsentrasi dengan kepadatan di depan sana.“Tergantung ...” Mai mengembalikan ponsel ke dalam tasnya, lalu menoleh sebentar pada Raj. “Tergantung klien dan rumitnya kasus juga sebenarnya. Tapi, semua bisa dibicarakan dulu kok, dan, kalau aku gak terlalu matok harus sekian. Lihat kemampuan klien juga.”“Bisa dapat berapa sebulan?” Raj kembali mengajukan pertany
Area rooftop Palace High kini sudah didesain ala Eropa dengan tema modern garden. Berbagai bunga dengan dominasi warna putih, dipilih sebagai dekorasi yang menghiasi setiap area. Benar-benar terlihat mewah dan begitu elegan.Qai yang duduk diapit oleh kedua orang tuanya terlihat sedikit tegang. Sang bunda sampai harus berkali-kali membisikkan sesuatu untuk menenangkan putra kesayangannya tersebut.Mai yang duduk tepat di belakang Qai, sedari tadi merapatkan kursinya dan melipat kedua tangan pada sandaran kursi yang diduduki sang kakak.“Baru tunangan aja, udah heboh gini acaranya,” cibir Mai yang berbicara tepat di belakang telinga Qai. “Kamu udah ketemu mbak Chandie belum? Dia duduk di belakang sama anaknya, tapi gak tahu ke mana suaminya.”“Mai …” tegur Sinar dengan melirik tajam. “Suaminya mbak Chandie lagi di Surabaya sama om Lee.”Mai menutup mulutnya. Lalu berpindah ke sisi yang berlawana
Saat ini, Mai seperti seorang terdakwa yang tengah disudutkan dan tidak memiliki pembelaan sama sekali. Ia benar-benar terjebak dan tidak siap dengan semua hal yang menimpanya kali ini. Ternyata, Raj benar-benar gila. Bukankah Mai sudah menolak pria itu? Hubungan mereka pun sudah berada dalam taraf pertemanan.Namun, mengapa jadi seperti ini?“Raj.” Mai menahan napasnya sejenak, lalu membuang perlahan untuk melepas rasa yang ia sendiri tidak mampu mejelaskannya. “Maaf, tapi dari awal aku sud …”Kalimat itu terjeda, ketika Mai melihat wajah Raj sudah terantuk pasrah. Pria itu pasti sudah tahu, kalau Mai akan memuntahkan kalimat penolakan pada dirinya.“Sekali lagi, maaf.” Mai hanya ingin bersikap tegas. Tidak ingin berpura-pura menerima cincin tersebut untuk menyenangkan orang banyak. Tidak … sedari dulu, Mai bukanlah tipe people pleaser, yang membahagiakan orang lain padahal diri sendiri menderita. Namun,
Setelah acara pertunangan Qai dan Sila selesai, Sinar yang merasa tidak enak hati di sisa acara dengan keluarga Raj, buru-buru pergi ke kamar yang sudah dipesan sebelumnya. Malam ini, kedua keluarga yang mengadakan acara sudah disediakan kamar family suit untuk beristirahat, agar tidak terlalu lelah jika harus pulang kembali ke rumah.Di dalam sana, sudah ada Mai yang duduk santai di atas sofa, sembari menatap keluar jendela.“Mai,” panggil Sinar berjalan tergesa menghampiri sang putri yang belum mengganti pakaiannya. “Kamu itu, ck!” Sinar tidak memiliki kata-kata lagi untuk memarahi putrinya yang hanya menatap datar.Mai berdiri. Sedikit menelengkan kepala dan menangkap sosok sang ayah yang baru memasuki kamar. “Tasku, Nda,” pinta Mai, tidak ingin membahas apapun dengan Sinar.Sinar menyerahkan tas Mai yang sedari tadi ia bawa dengan kesal.“Aku mau pulang, tidur di rumah,” kata Mai sambil meng
Mai berwajah masam, ketika mengetahui kedua orang tuanya akan liburan dalam jangka waktu yang tidak bisa ditentukan. Bukankah tadinya, Pras mengatakan kalau mereka hanya akan berada selama seminggu di Raja Ampat? Namun, setelah pulang dari hotel kala itu, Pras menyampaikan, kalau setelah dari Raja Ampat, mereka akan pergi ke Bali, Lombok dan menjelajahi tempat wisata lainnya yang ada di Indonesia.Akhirnya, Pras bisa menikmati hari tuanya dengan beristirahat dari semua urusan pekerjaan. Menua dengan bahagia bersama wanita yang selalu sabar dan setia mendampinginya sejak mereka menikah.“Baik-baik sama masmu,” pesan Sinar sekali lagi ketika hendak berangkat ke bandara. “Kalau mau pergi-pergi, harus sama supir. Enda sudah kasih tahu pak Ibam, kalau libur harus bilang ke supir yang lain biar bisa gantian nyupirin kamu.”
Sepanjang makan malam yang diadakan oleh Bira, posisi duduk Mai diapit oleh sang kayak, juga Byakta yang berada di sisi kanannya. Mai sudah tahu, kalau Byakta saat ini sudah diangkat menjadi salah satu direktur di Casteel High. Namun, untuk duduk bersebelahan seperti sekarang sungguh membuat kekesalan dan luka Mai kembali terbuka. Tidak ada sepatah kata pun yang diucapkan Mai untuk menyapa atau sekadar berbasa-basi dengan Byakta, Karena baginya, semua hal mengenai perasaannya sudah selesai. Ketika mendengar Byakta telah melamar Raya, sejak saat itulah Mai berhenti untuk berharap. Sedangkan Byakta, sepanjang malam ini juga tidak menegur Mai. Ia tahu kalau Mai sudah memendam kekecewaan, yang teramat dalam untuknya. Karena itulah, Byakta lebih memilih mengalihkan semua perhatiannya dengan tamu lain yang masih berada satu meja dengannya.
Mai baru saja keluar dari kolam renang dan membalut tubuhnya dengan bathrobe, ketika ia melihat Qai keluar dengan menggunakan kaos oblong, celana pendek, serta sepatu yang biasa digunakan pria itu berolahraga. “Kok gak bilang kalau mau pergi jogging?” tanya Mai sambil meraih surainya menjadi satu dan memilinnya hingga tetesan air langsung terurai jatuh begitu saja. “Gak jogging, cuma mau ke CFD sama Sila.” Qai berhenti sebentar untuk berbicara dengan Mai. Ia duduk pada gazebo sejenak, karena ada yang ingin Qai bicarakan dengan adiknya. “Ooh …” Bibir pucat Mai membulat. Merasa sedikit iri dengan Sila, karena sudah menyita hampir seluruh perhatian Qai. Namun, apa boleh buat, semua itu memang sudah hukum alam. Qai akan menikah, hingga prioritasnya otomatis akan berubah.
Mai berhenti sejenak di bibir pintu pengadilan. Menggeser langkahnya agar tidak menghalangi orang yang berlalu-lalang. Membaca sebuah chat yang dikirimkan oleh Qai, kemudian menghela sedikit kesal. Tanpa ingin berlama-lama, Mai langsung menelepon Qai saat itu juga. “Aku ngikut ajalah, terserah mau pake model gimana. Tante juga sudah tahu ukuranku.” decak Mai kembali menghela panjang karena suasana hatinya sedang tidak baik-baik saja. Setelah kasus terakhir yang ia tangani ini selesai, sepertinya Mai tidak ingin lagi menangani kasus perceraian. Sore nanti, ia akan bertemu Lex untuk membicarakan semuanya. Sepertinya, menjadi corporate lawyer tidak akan memakan banyak emosi seperti sekarang. “Lagian, kenapa ngomongnya mendadak gini, aku bukan pengangguran yang bisa ke sana ke mari s