Saat ini, Mai seperti seorang terdakwa yang tengah disudutkan dan tidak memiliki pembelaan sama sekali. Ia benar-benar terjebak dan tidak siap dengan semua hal yang menimpanya kali ini. Ternyata, Raj benar-benar gila. Bukankah Mai sudah menolak pria itu? Hubungan mereka pun sudah berada dalam taraf pertemanan.
Namun, mengapa jadi seperti ini?
“Raj.” Mai menahan napasnya sejenak, lalu membuang perlahan untuk melepas rasa yang ia sendiri tidak mampu mejelaskannya. “Maaf, tapi dari awal aku sud …”
Kalimat itu terjeda, ketika Mai melihat wajah Raj sudah terantuk pasrah. Pria itu pasti sudah tahu, kalau Mai akan memuntahkan kalimat penolakan pada dirinya.
“Sekali lagi, maaf.” Mai hanya ingin bersikap tegas. Tidak ingin berpura-pura menerima cincin tersebut untuk menyenangkan orang banyak. Tidak … sedari dulu, Mai bukanlah tipe people pleaser, yang membahagiakan orang lain padahal diri sendiri menderita. Namun,
Setelah acara pertunangan Qai dan Sila selesai, Sinar yang merasa tidak enak hati di sisa acara dengan keluarga Raj, buru-buru pergi ke kamar yang sudah dipesan sebelumnya. Malam ini, kedua keluarga yang mengadakan acara sudah disediakan kamar family suit untuk beristirahat, agar tidak terlalu lelah jika harus pulang kembali ke rumah.Di dalam sana, sudah ada Mai yang duduk santai di atas sofa, sembari menatap keluar jendela.“Mai,” panggil Sinar berjalan tergesa menghampiri sang putri yang belum mengganti pakaiannya. “Kamu itu, ck!” Sinar tidak memiliki kata-kata lagi untuk memarahi putrinya yang hanya menatap datar.Mai berdiri. Sedikit menelengkan kepala dan menangkap sosok sang ayah yang baru memasuki kamar. “Tasku, Nda,” pinta Mai, tidak ingin membahas apapun dengan Sinar.Sinar menyerahkan tas Mai yang sedari tadi ia bawa dengan kesal.“Aku mau pulang, tidur di rumah,” kata Mai sambil meng
Mai berwajah masam, ketika mengetahui kedua orang tuanya akan liburan dalam jangka waktu yang tidak bisa ditentukan. Bukankah tadinya, Pras mengatakan kalau mereka hanya akan berada selama seminggu di Raja Ampat? Namun, setelah pulang dari hotel kala itu, Pras menyampaikan, kalau setelah dari Raja Ampat, mereka akan pergi ke Bali, Lombok dan menjelajahi tempat wisata lainnya yang ada di Indonesia.Akhirnya, Pras bisa menikmati hari tuanya dengan beristirahat dari semua urusan pekerjaan. Menua dengan bahagia bersama wanita yang selalu sabar dan setia mendampinginya sejak mereka menikah.“Baik-baik sama masmu,” pesan Sinar sekali lagi ketika hendak berangkat ke bandara. “Kalau mau pergi-pergi, harus sama supir. Enda sudah kasih tahu pak Ibam, kalau libur harus bilang ke supir yang lain biar bisa gantian nyupirin kamu.”
Sepanjang makan malam yang diadakan oleh Bira, posisi duduk Mai diapit oleh sang kayak, juga Byakta yang berada di sisi kanannya. Mai sudah tahu, kalau Byakta saat ini sudah diangkat menjadi salah satu direktur di Casteel High. Namun, untuk duduk bersebelahan seperti sekarang sungguh membuat kekesalan dan luka Mai kembali terbuka. Tidak ada sepatah kata pun yang diucapkan Mai untuk menyapa atau sekadar berbasa-basi dengan Byakta, Karena baginya, semua hal mengenai perasaannya sudah selesai. Ketika mendengar Byakta telah melamar Raya, sejak saat itulah Mai berhenti untuk berharap. Sedangkan Byakta, sepanjang malam ini juga tidak menegur Mai. Ia tahu kalau Mai sudah memendam kekecewaan, yang teramat dalam untuknya. Karena itulah, Byakta lebih memilih mengalihkan semua perhatiannya dengan tamu lain yang masih berada satu meja dengannya.
Mai baru saja keluar dari kolam renang dan membalut tubuhnya dengan bathrobe, ketika ia melihat Qai keluar dengan menggunakan kaos oblong, celana pendek, serta sepatu yang biasa digunakan pria itu berolahraga. “Kok gak bilang kalau mau pergi jogging?” tanya Mai sambil meraih surainya menjadi satu dan memilinnya hingga tetesan air langsung terurai jatuh begitu saja. “Gak jogging, cuma mau ke CFD sama Sila.” Qai berhenti sebentar untuk berbicara dengan Mai. Ia duduk pada gazebo sejenak, karena ada yang ingin Qai bicarakan dengan adiknya. “Ooh …” Bibir pucat Mai membulat. Merasa sedikit iri dengan Sila, karena sudah menyita hampir seluruh perhatian Qai. Namun, apa boleh buat, semua itu memang sudah hukum alam. Qai akan menikah, hingga prioritasnya otomatis akan berubah.
Mai berhenti sejenak di bibir pintu pengadilan. Menggeser langkahnya agar tidak menghalangi orang yang berlalu-lalang. Membaca sebuah chat yang dikirimkan oleh Qai, kemudian menghela sedikit kesal. Tanpa ingin berlama-lama, Mai langsung menelepon Qai saat itu juga. “Aku ngikut ajalah, terserah mau pake model gimana. Tante juga sudah tahu ukuranku.” decak Mai kembali menghela panjang karena suasana hatinya sedang tidak baik-baik saja. Setelah kasus terakhir yang ia tangani ini selesai, sepertinya Mai tidak ingin lagi menangani kasus perceraian. Sore nanti, ia akan bertemu Lex untuk membicarakan semuanya. Sepertinya, menjadi corporate lawyer tidak akan memakan banyak emosi seperti sekarang. “Lagian, kenapa ngomongnya mendadak gini, aku bukan pengangguran yang bisa ke sana ke mari s
Setelah hampir satu bulan berpisah, dan hanya bisa berhubungan melalui telepon pintar. Akhirnya, Sinar dan Pras kembali ke Jakarta untuk ikut andil dalam persiapan pernikahan putranya. Tentu saja, Sinarlah yang lebih banyak modar mandir ke sana kemari daripada Pras. Pria itu lebih banyak bersantai di rumah. Memantau saham dan perkembangan perusahan dengan seksama. Meskipun sudah pensiun, Pras tidak lantas melepas semuanya begitu saja. Status Pras lebih kepada pengawas dan penasehat yang bisa dimintai pendapat kapan saja oleh berbagai pihak Casteel High. “Mau ke mana, Nda?” Mai yang tengah berbaring di sofa dan menonton salah satu stasiun tv swasta yang menyiarkan berita, melirik Sinar yang duduk di sofa ratu. Wanita paruh baya itu terlihat sudah rapi dan cantik seperti biasa meskipun usianya sudah tidak lagi muda.
Mai mengikat tinggi surai legamnya menjadi satu. Tidak menyisakan satu helai pun, pada wajah cantik, yang hari ini hanya dipoles dengan lipstik berwarna peach, dan eyeliner, untuk mempertajam bingkai matanya.Saat Mai meraih tas selempangnya, maniknya terhenti pada sebuah kotak kecil pemberian Raj pada malam itu. Mai hanya meletakkan benda persegi tersebut, di atas meja rias sepulang dirinya dari Palace high. Sejak saat itu pun, Mai tidak pernah menyentuh atau membuka benda itu sama sekali. Hanya menatap sekilas, lalu menghela. Meyakinkan diri kalau penolakannya pada Raj, adalah keputusan terbaik.“Mai …”Bunyi ketukan pintu diiringi panggilan dari sang bunda, membuat Mai mengalihkan perhatiannya dengan cepat. Beranjak menuju pintu dan membukanya.
Mai kira, setelah semuanya selesai, keluarganya akan langsung pulang ke rumah. Namun, semua berubah ketika Raj berceletuk dan mengajak untuk makan siang bersama. Tentu saja, sang bunda langsung menjawab dengan setuju, tanpa bertanya pada Pras atau Mai terlebih dahulu. Sedangkan Qai, sudah tidak perlu ditanya, karena jawaban pria itu pastilah iya. Lantas, apa ini? Kenapa semua orang seolah menempatkan Mai, agar duduk di samping Raj. Lalu ada Pras yang duduk di sisi lainnya. Hendak bertukar tempat pun tidak bisa, karena SInar sudah mendelikkan maniknya begitu lebar, ketika Mai hendak menyerobot kursi sang bunda yang berada di sebelah Diana. Yang bisa Mai lakukan saat ini hanyalah, menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskan dengan perlahan.