Pras duduk bersandar dengan menyilang kaki. Seperti biasa, wajahnya terlihat datar terkesan begitu arogan. Melihat tajam pada seseorang yang baru saja keluar dari balik pintu, kemudian duduk tepat di depannya. Tatapan kedua sangat tidak ramah. Mengandung kebencian dalam konteks yang berbeda.
“Kamu pasti sudah dengar kabar baik, tentang pernikahanku dengan Sinar.” Tidak perlu berbasa-basi atau pun bertanya kabar, karena itu tidak lah penting bagi Pras. Ia hanya ingin menunjukkan sebuah pencapaian, yang tidak pernah luput dalam genggamannya.
Pria yang duduk bersebrangan dengan Pras itu, bergeming. Enggan menunjukkan ekspresi apapun. Namun Pras tahu, kalau pria itu pasti semakin membencinya.
“Apa maumu, Pras?”
“Aku, mau mengembalikan sepuluh persen saham Sinar yang ada di perusahaanmu. ISTRIKU, gak butuh itu semua.” Pastinya, kata istriku yang diungkapkan oleh Pras, diucap dengan penuh penekanan. Menerangkan, kalau Sinar sudah menjadi milik Pras seutuhny
Manik Sinar membola ketika membaca berkas di depannya dengan teliti. Bahkan, Sinar sampai membacanya berulang kali karena tidak percaya. “Ini, beneran punyaku, Mas?” Andai benar, mengapa Sinar baru tahu saat ini. Kenapa pula Bintang tidak pernah memberitahunya dahulu kala. “Hm, sepuluh persen saham Surya Eksporindo sudah jadi punya kamu sejak tanggal yang tercantum di situ.” Pras menunjuk berkasnya dengan mengendik dagu. “Tapi, hari ini juga harus kamu lepas dan kembalikan ke Bintang. Jadi tanda tangan di bawah sana.” Bibir Sinar kontan maju beberapa senti. Kenapa rejeki seperti ini harus ditolak, pikirnya. Setelah beberapa saat berpikir, Sinar menggeleng. “Apa boleh aku ketemu Mas Bin?” jelas saja jawabannya tidak. Sinar sebenarnya sudah tahu hal itu, tapi namanya usaha, kan, tidak ada salahnya. Siapa tahu otak Pras tengah bergeser sedikit hingga mengizinkannya bertemu Bintang. “NO!” Benar, kan, tebak Sinar, pasti ditolak. “Ta
Sinar terbangun dengan tubuh lelahnya. Hanya karena sekarang adalah hari libur, Pras benar-benar mengajaknya lembur dan tidak membiarkan Sinar jauh darinya.Memutar kepalanya ke samping, Sinar tidak menemukan Pras di sana. Tempat tidur pria itu kosong dan tidak terdengar pula suara gemericik air di kamar mandi. Ketika melihat jam yang terpaku di dinding dan terangnya bias mentari yang masuk melalui balkon, Sinar terhenyak. Buru-buru bangkit dan mengambil pakaian yang tercecer di lantai dengan asal.Memakai kaos sang suami, sembari beranjak keluar kamar. Sudut bibirnya tertarik lebar, tapi dengan rasa bersalah. Melihat Pras tengah duduk pada stool bar yang berada di kitchen island, sembari menyantap roti.“Kenapa gak bangunin aku?” Untung saja saat ini Sinar tengah menginap di apartemen. Entah apa jadinya jika ia tengah berada di rumah mertua. Bangun dari tidur, ketika jarum jam hampir mengarah ke angka delapan, sungguhlah memalukan.Pras melir
“Mas.” Sinar berusaha mendorong tubuh sang suami yang masih sibuk menjelajah di atasnya. “Ada yang ngetuk pintu. Buka dulu, paling mami.” Benar saja, selang beberapa detik setelah Sinar berujar, terdengar suara Aida mendayu dari balik pintu. Memanggil nama Pras dan Sinar secara bergantian. Helaan panjang dihembuskan Pras dari mulutnya. Lalu memberikan satu jejak terakhir pada dada sang istri sebelum bangkit. Beranjak dari tempat tidur untuk membukakan pintu untuk Aida. Buru-buru Sinar melompat dan berlari menuju kamar mandi. Membenarkan pakaian dalam yang pengaitnya sudah terlepas sedari tadi. Meskipun dress rumahan yang dikenakannya masih untuh membalut tubuhnya. “Mana Sinar?” tanya Aida yang langsung menerobos masuk, setelah Pras membuka pintu. Pras melihat tempat tidur mereka yang sedikit berantakan, tidak ada Sinar di sana. “Di kamar mandi,” jawabnya karena tahu pasti, Sinar akan membenarkan sesuatu terlebih dahulu sebelum bertemu dengan A
Sinar menutup tas bekalnya, setelah keduanya menghabiskan waktu untuk makan siang bersama. Setelah Pras menggantikan Raja di Casteel High, Sinar memang lebih sering pergi untuk makan siang bersama sang suami. Terkadang mereka makan di luar, tapi tidak jarang juga, Sinar membuatkan makan siang untuk dimakan bersama di ruangan Pras.“Pulang cepet, ya!” seru Sinar mengingatkan setelah meminum air mineralnya. “Mami sudah buatin janji sama dokter soalnya, jangan sampai telat.”“Hm.” Pras beranjak dari sofa menuju meja kerjanya. “Habis ini mau ke mana?”“Ke butiknya bunda.” Sinar melepas high heelnya kemudian mengangkat kakinya di atas sofa berselonjor. Bersandar pada lengan sofa dan melihat Pras yang sudah kembali menatap layar komputernya.“Apa ada butik baru di sekitar tempat bunda, Nar?” tanya Pras ketika mengingat ucapan Gusti. Ia belum mengambil kembali undangan yang sudah teronggok d
Pras berdecak ketika tahu, siapa dokter kandungan yang akan ditemuinya saat ini. Ia tahu kalau sang mami memang memiliki beberapa teman yang berprofesi sebagai dokter kandungan, tapi kenapa, harus wanita yang berada di depannya saat ini. Pras memandang punggung sang mami, yang ternyata juga ikut bersama mereka. Sudah duduk bersebelahan dengan Sinar, dan mengambil alih tempat, yang seharusnya menjadi tempat duduk Pras. Bukankah seharusnya, dua tempat duduk yang bersebrangan dengan sang dokter, ditujukan untuk pasangan suami istri? Bukannya malah mertua dan menantu seperti ini. Dokter Novi tersenyum simpul ketika melihat Pras. Pria yang pernah hendak dijodohkan dengan putrinya, namun Pras bahkan tidak muncul ketika Aida dan dirinya sudah mengatur jadwal blind date untuk anak mereka. Kala itu, Pras beralasan tengah sibuk, karena ada janji mendadak, dengan salah satu anggota dewan yang menjadi kliennya. Novi sebenarnya sedikit terkejut, ketika menerima undangan p
Sinar yang tengah duduk di balik meja kasir, sontak berdiri ketika melihat Ato memasuki butik. Pria itu terlihat membawa rantang di tangannya. Buat siapa lagi, kalau bukan untuk Sinar. Aida benar-benar mengatur asupan makanan untuk Sinar, agar sang menantu itu bisa segera memberikan Pras keturunan.Terbebani sebenarnya, tapi, di satu sisi, Sinar juga merasa senang dengan semua perhatian yang didapatnya saat ini. Mendapatkan ibu mertua yang luar biasa baik seperti Aida, merupakan anugerah tersendiri baginya. Tidak bisa dibandingkan dengan pernikahannya dengan Bintang dahulu kala.Ato lantas tersenyum ketika melihat Sinar menghampirinya. Tidak lupa, ia mengangguk sopan kepada wanita yang kini telah menjadi majikannya. “Pesannya Bu Aida, harus dihabisi, Mbak!” Ato meringis dengan lebar, sembari menjelajahkan maniknya ke dalam area butik.“Makasih, To,” balas Sinar sembari menerima rantang yang berjumlah empat susun dari Ato. Makanan yang mas
Pras menjejakkan kaki ke kamarnya, melihat sekeliling dan tidak menemukan sang istri ada di sana. Sepanjang jalan dari rumah depan sampai ke belakang pun, pria itu tidak melihat sosok istrinya sama sekali.“Nar …”Menunggu sejenak dan tidak ada sahutan. Pras memutuskan keluar kamar lalu menuju dapur. Benar saja dugaannya, Sinar tengah berada di dapur dan berada tepat di balik kompor tengah menggoreng sesuatu.Pras menghampiri dan berhenti tepat di sampingnya. “Gak bisa minta yang lain buat goreng?”Sinar menoleh dengan memanyunkan bibirnya sembari mendongak. Kemudian Pras menyambarnya bibir ranum itu dengan cepat. Bibir keduanya hanya menempel sebentar, tidak melakukan yang lebih dari itu.“Ini cuma sekali goreng, gak lama,” jawab Sinar. “Kamu tuh yang lamaan pulangnya, tumben telat.”Sinar meniriskan enam buah lumpia yang sudah digorengnya sedari tadi, lalu mematikan kompor. Membiarkann
Pras bungkam setelah mendengar penuturan Sinar. Melihat wanita itu kembali berbaring menarik selimut, masih dengan sesegukan. Meski mata Sinar terlihat terpejam, tapi Pras yakin, kalau istrinya itu belum bisa menidurkan hati dan pikirannya.“Sinar, ada yang harus kita selesaikan malam ini juga.”“Please, Mas, kepalaku sakit, aku cuma mau tidur, berharap bangun besok aku sudah amnesia.” Sinar membalik tubuhnya, memunggungi Pras, tanpa membuka mata. Ia hanya ingin tidur dengan tenang. Melupakan semua yang terjadi malam ini dan memulai esok pagi dengan lembaran yang baru.Pras yang sedari tadi hanya berdiri di sisi tempat tidur, akhirnya mengitarinya. Sebelum merebahkan diri, ia mematikan lampu kamar terlebih dahulu. Kemudian berbaring di sisi Sinar dan menarik selimut yang sama.Merasa Pras sudah berada di sisinya. Sinar kembali membalik tubuhnya untuk memunggungi Pras. Untuk malam ini dan seterusnya, ia harus mulai membiasakan diri