Sinar terbangun dengan tubuh lelahnya. Hanya karena sekarang adalah hari libur, Pras benar-benar mengajaknya lembur dan tidak membiarkan Sinar jauh darinya.
Memutar kepalanya ke samping, Sinar tidak menemukan Pras di sana. Tempat tidur pria itu kosong dan tidak terdengar pula suara gemericik air di kamar mandi. Ketika melihat jam yang terpaku di dinding dan terangnya bias mentari yang masuk melalui balkon, Sinar terhenyak. Buru-buru bangkit dan mengambil pakaian yang tercecer di lantai dengan asal.
Memakai kaos sang suami, sembari beranjak keluar kamar. Sudut bibirnya tertarik lebar, tapi dengan rasa bersalah. Melihat Pras tengah duduk pada stool bar yang berada di kitchen island, sembari menyantap roti.
“Kenapa gak bangunin aku?” Untung saja saat ini Sinar tengah menginap di apartemen. Entah apa jadinya jika ia tengah berada di rumah mertua. Bangun dari tidur, ketika jarum jam hampir mengarah ke angka delapan, sungguhlah memalukan.
Pras melir
“Mas.” Sinar berusaha mendorong tubuh sang suami yang masih sibuk menjelajah di atasnya. “Ada yang ngetuk pintu. Buka dulu, paling mami.” Benar saja, selang beberapa detik setelah Sinar berujar, terdengar suara Aida mendayu dari balik pintu. Memanggil nama Pras dan Sinar secara bergantian. Helaan panjang dihembuskan Pras dari mulutnya. Lalu memberikan satu jejak terakhir pada dada sang istri sebelum bangkit. Beranjak dari tempat tidur untuk membukakan pintu untuk Aida. Buru-buru Sinar melompat dan berlari menuju kamar mandi. Membenarkan pakaian dalam yang pengaitnya sudah terlepas sedari tadi. Meskipun dress rumahan yang dikenakannya masih untuh membalut tubuhnya. “Mana Sinar?” tanya Aida yang langsung menerobos masuk, setelah Pras membuka pintu. Pras melihat tempat tidur mereka yang sedikit berantakan, tidak ada Sinar di sana. “Di kamar mandi,” jawabnya karena tahu pasti, Sinar akan membenarkan sesuatu terlebih dahulu sebelum bertemu dengan A
Sinar menutup tas bekalnya, setelah keduanya menghabiskan waktu untuk makan siang bersama. Setelah Pras menggantikan Raja di Casteel High, Sinar memang lebih sering pergi untuk makan siang bersama sang suami. Terkadang mereka makan di luar, tapi tidak jarang juga, Sinar membuatkan makan siang untuk dimakan bersama di ruangan Pras.“Pulang cepet, ya!” seru Sinar mengingatkan setelah meminum air mineralnya. “Mami sudah buatin janji sama dokter soalnya, jangan sampai telat.”“Hm.” Pras beranjak dari sofa menuju meja kerjanya. “Habis ini mau ke mana?”“Ke butiknya bunda.” Sinar melepas high heelnya kemudian mengangkat kakinya di atas sofa berselonjor. Bersandar pada lengan sofa dan melihat Pras yang sudah kembali menatap layar komputernya.“Apa ada butik baru di sekitar tempat bunda, Nar?” tanya Pras ketika mengingat ucapan Gusti. Ia belum mengambil kembali undangan yang sudah teronggok d
Pras berdecak ketika tahu, siapa dokter kandungan yang akan ditemuinya saat ini. Ia tahu kalau sang mami memang memiliki beberapa teman yang berprofesi sebagai dokter kandungan, tapi kenapa, harus wanita yang berada di depannya saat ini. Pras memandang punggung sang mami, yang ternyata juga ikut bersama mereka. Sudah duduk bersebelahan dengan Sinar, dan mengambil alih tempat, yang seharusnya menjadi tempat duduk Pras. Bukankah seharusnya, dua tempat duduk yang bersebrangan dengan sang dokter, ditujukan untuk pasangan suami istri? Bukannya malah mertua dan menantu seperti ini. Dokter Novi tersenyum simpul ketika melihat Pras. Pria yang pernah hendak dijodohkan dengan putrinya, namun Pras bahkan tidak muncul ketika Aida dan dirinya sudah mengatur jadwal blind date untuk anak mereka. Kala itu, Pras beralasan tengah sibuk, karena ada janji mendadak, dengan salah satu anggota dewan yang menjadi kliennya. Novi sebenarnya sedikit terkejut, ketika menerima undangan p
Sinar yang tengah duduk di balik meja kasir, sontak berdiri ketika melihat Ato memasuki butik. Pria itu terlihat membawa rantang di tangannya. Buat siapa lagi, kalau bukan untuk Sinar. Aida benar-benar mengatur asupan makanan untuk Sinar, agar sang menantu itu bisa segera memberikan Pras keturunan.Terbebani sebenarnya, tapi, di satu sisi, Sinar juga merasa senang dengan semua perhatian yang didapatnya saat ini. Mendapatkan ibu mertua yang luar biasa baik seperti Aida, merupakan anugerah tersendiri baginya. Tidak bisa dibandingkan dengan pernikahannya dengan Bintang dahulu kala.Ato lantas tersenyum ketika melihat Sinar menghampirinya. Tidak lupa, ia mengangguk sopan kepada wanita yang kini telah menjadi majikannya. “Pesannya Bu Aida, harus dihabisi, Mbak!” Ato meringis dengan lebar, sembari menjelajahkan maniknya ke dalam area butik.“Makasih, To,” balas Sinar sembari menerima rantang yang berjumlah empat susun dari Ato. Makanan yang mas
Pras menjejakkan kaki ke kamarnya, melihat sekeliling dan tidak menemukan sang istri ada di sana. Sepanjang jalan dari rumah depan sampai ke belakang pun, pria itu tidak melihat sosok istrinya sama sekali.“Nar …”Menunggu sejenak dan tidak ada sahutan. Pras memutuskan keluar kamar lalu menuju dapur. Benar saja dugaannya, Sinar tengah berada di dapur dan berada tepat di balik kompor tengah menggoreng sesuatu.Pras menghampiri dan berhenti tepat di sampingnya. “Gak bisa minta yang lain buat goreng?”Sinar menoleh dengan memanyunkan bibirnya sembari mendongak. Kemudian Pras menyambarnya bibir ranum itu dengan cepat. Bibir keduanya hanya menempel sebentar, tidak melakukan yang lebih dari itu.“Ini cuma sekali goreng, gak lama,” jawab Sinar. “Kamu tuh yang lamaan pulangnya, tumben telat.”Sinar meniriskan enam buah lumpia yang sudah digorengnya sedari tadi, lalu mematikan kompor. Membiarkann
Pras bungkam setelah mendengar penuturan Sinar. Melihat wanita itu kembali berbaring menarik selimut, masih dengan sesegukan. Meski mata Sinar terlihat terpejam, tapi Pras yakin, kalau istrinya itu belum bisa menidurkan hati dan pikirannya.“Sinar, ada yang harus kita selesaikan malam ini juga.”“Please, Mas, kepalaku sakit, aku cuma mau tidur, berharap bangun besok aku sudah amnesia.” Sinar membalik tubuhnya, memunggungi Pras, tanpa membuka mata. Ia hanya ingin tidur dengan tenang. Melupakan semua yang terjadi malam ini dan memulai esok pagi dengan lembaran yang baru.Pras yang sedari tadi hanya berdiri di sisi tempat tidur, akhirnya mengitarinya. Sebelum merebahkan diri, ia mematikan lampu kamar terlebih dahulu. Kemudian berbaring di sisi Sinar dan menarik selimut yang sama.Merasa Pras sudah berada di sisinya. Sinar kembali membalik tubuhnya untuk memunggungi Pras. Untuk malam ini dan seterusnya, ia harus mulai membiasakan diri
Pras terbangun dan melihat, tidak ada Sinar di sebelahnya. Biasanya, jika mereka tidur di apartemen, sudah bisa dipastikan Sinar akan selalu telat bangun di keesokan harinya. Tapi tidak kali ini.Sejak pertengkaran mereka malam itu, semuanya memang sangat terasa berbeda. Tidak hanya sikap Sinar yang terlampau dingin kepadanya, tapi, percintaan mereka pun terasa hambar bagi Pras. Tidak ada tatapan penuh gairah, yang selalu dilemparkan Sinar ketika mereka bercinta. Tidak ada lagi pelukan manja, setelah semua hasrat tersalurkan. Tidak ada pula obrolan absurd yang selalu dimuntahkan oleh Sinar untuk menemani tidurnya. Bahkan, sudah beberapa hari ini, Sinar selalu tidur memunggunginya. Semuanya terasa sunyi, kosong, dan hampa.Sinar juga tidak pernah lagi menggodanya dan mencoba memancing hasratnya ketika mereka hanya berdua. Wanita itu cenderung menutup mulutnya, dan menghindar untuk berlama-lama berada bersama Pras.Menyingkap selimutnya, Pras beranjak mengambil ce
“Burgerku belum juga habis, udah main tarik aja! Gak sopan tauk!” protes Sinar yang hanya merengut ketika Pras membawanya keluar dari restoran cepat saji dengan cepat.“Mereka lebih gak sopan, suap-suapan di tempat umum. Apa urat malu mereka itu sudah putus? Dasar anak zaman sekarang!”“Pelan-pelan jalannya,” rengek Sinar enggan menanggapi ocehan sang suami. Agak kewalahan ketika harus menyamakan langkah panjang Pras yang terlampu cepat. Sedangkan, di kakinya saat ini tengah terpasang high heel setinggi tujuh senti. “Kakiku keselo entar.”Pras menghela kemudian berhenti sejenak menatap Sinar. Pandangannya turun ke arah kaki, kemudian naik ke atas secara perlahan. Menatap lurus pada manik bening, yang kini selalu melihatnya tanpa pancaran riang seperti dahulu kala.“Jangan manja, Nar. Aku dari tadi jalan seperti biasa.”“Apanya yang biasa, kamu tuh dari tadi ngomel-ngomel mulu, gara J