“Burgerku belum juga habis, udah main tarik aja! Gak sopan tauk!” protes Sinar yang hanya merengut ketika Pras membawanya keluar dari restoran cepat saji dengan cepat.
“Mereka lebih gak sopan, suap-suapan di tempat umum. Apa urat malu mereka itu sudah putus? Dasar anak zaman sekarang!”
“Pelan-pelan jalannya,” rengek Sinar enggan menanggapi ocehan sang suami. Agak kewalahan ketika harus menyamakan langkah panjang Pras yang terlampu cepat. Sedangkan, di kakinya saat ini tengah terpasang high heel setinggi tujuh senti. “Kakiku keselo entar.”
Pras menghela kemudian berhenti sejenak menatap Sinar. Pandangannya turun ke arah kaki, kemudian naik ke atas secara perlahan. Menatap lurus pada manik bening, yang kini selalu melihatnya tanpa pancaran riang seperti dahulu kala.
“Jangan manja, Nar. Aku dari tadi jalan seperti biasa.”
“Apanya yang biasa, kamu tuh dari tadi ngomel-ngomel mulu, gara J
Pras buru-buru mengeluarkan dompet, lalu meletakkan beberapa lembar uang ratusan ribu di meja dan memberi kode kepada salah satu pelayan. Bergegas mengejar Sinar yang sudah berjalan cepat keluar restoran dan tidak lupa membawa paper bang yang berisi ponsel baru milik sang istri.“Sinar!” panggil Pras, tapi tidak kunjung ditoleh oleh Sinar. Wanita itu tetap saja berjalan lurus menuju lantai dasar.“Sinar!” panggil Pras sekali lagi. Kali ini, pria itu sudah dapat mensejajarkan langkahnya dengan Sinar. Berjalan bersisihan mengikuti ke mana kaki Sinar melaju.“Kamu mau jadi janda lagi?” pertanyaan bodoh yang dimuntahkan oleh Pras itu, kontan membuat Sinar berhenti dan menginjak kaki sang suami dengan sekuat tenaganya.“Kalau aku jadi janda, habis masa iddah, aku langsung minta Bira buat nikahin aku!” Sinar membuang wajah, lalu melengos pergi meninggalkan Pras secepat mungkin. Sesekali Pras memang harus ditekan d
“Katanya mau ke rumah bunda, tapi kenapa kamu belum siap-siap?” tanya Pras yang baru saja selesai mandi. Berhenti sebentar menatap Sinar, sebelum memasuki walk in closet. “Malah rebahan seperti itu dan belum ganti baju.” Sinar memajukan bibirnya sekilas, kemudian memunggungi Pras yang hanya memakai bathrobe, dengan sebuah handuk kecil yang bertengger di kepala. Pria itu tengah sibuk mengusap rambut basahnya. “Gak jadi, aku ngantuk, mau tidur aja.” Detik selanjutnya Sinar memang menguap lalu menutup mata. Memeluk guling dengan erat dan berharap sebentar lagi akan terlelap. Pras lalu menghampiri Sinar dan duduk di sebelahnya. Tangannya terjatuh pada lekukan pinggang dan sedikit memberi remasan di sana. “Tadi nangis-nangis minta ke rumah bunda, sekarang malah mau tidur?” Sinar mengangguk-angguk tanpa membuka mata. “Aku lagi dapet, Mas. Jadi pengen istirahat aja, ngantuk.” “Bulanan?” Pras sedikit tidak percaya. Ia memang tidak hapal dengan
Dokter keluarga yang bernama Halim itu tersenyum ramah, seraya manggut-manggut mendengar penjelasan Sinar yang masih menyimpak kekesalan pada Pras. Seharusnya tidak perlu sampai memanggil dokter, karena Sinar hanya kelelahan dan butuh istirahat, pikirnya. “Jadi, kapan jadwal haid terakhir?” tanya Halim sembari memasukkan peralatannya ke dalam tas. “Lupa, Dok.” Sinar memberi ringisan lebar pada sang dokter. “Kira-kira? Dua atau tiga minggu yang lalu?” tanya Halim lagi, mencoba memastikan sesuatu. “Sepertinya tiga, tapi yang jelas, saya yakin kalau ini bukan waktunya haid,” terang Sinar. “Mungkin semingguan lagi, tapi saya gak ingat tanggal pasnya,” lanjutnya sembari mengingat-ingat. Halim mengangguk mengerti. “Tapi kramnya gak lama, kan?” “Gak dok,” jawab Sinar dengan gelengan. Halim kemudian menatap Pras penuh maksud. “Saya gak kasih obat dulu, ya. Pras. Tapi, coba kalian ke dokter kandungan besok pagi, biar bisa sekalian di US
Sinar terbangun ketika jarum jam hampir menuju angka dua dini hari. Masih mengantuk sebenarnya, tapi perutnya tidak bisa dikompromi. Sinar merasakan lapar yang teramat sangat hingga sejurus kemudian, cacing di dalam perutnya pun berbunyi.Menoleh pada Pras yang masih tertidur lelap, Sinar tidak ingin membangunkannya.Sinar beranjak dengan perlahan, sembari menahan napas dan menyingkirkan tangan Pras yang terjatuh di perutnya. Enggan mencari piyamanya yang masih berserakan di lantai dalam gelap. Sinar menuju walk in closet, dan mengambil piyama baru untuk dikenakan.Sinar kemudian memekik seraya mengurut dadanya berulang kali, ketika berbalik. Pras tiba-tiba sudah berada di depannya, hingga tangan bebasnya pun reflek memukul lengan Pras sekenanya.“Kaget tauk! Ngomong kalau ikutan masuk,” kesal Sinar seraya memanyunkan bibir.“Ngapain jam segini ganti baju lagi?” tanya Pras mengusap wajah ngantuknya sejenak.“Aku
Sinar berjalan gontai menghampiri Pras, setelah keluar dari kamar mandi. Langsung menjatuhkan bokongnya pada pangkuan Pras dan mengalungkan satu tangan di leher suaminya. “Aku laper, pengen makan sate, Mas,” ujarnya dengan bibir yang mencebik manja. Pras melepaskan tas yang masih mengalung pada leher istrinya itu. Meletakkan benda tersebut di sebelahnya. “Kamu bakal nunggu lama kalau minta pak Juna bikin dulu. Atau, mau makan di luar?” “Umm … boleh!" seru Sinar lalu melebarkan senyumnya seketika. "Makan di luar aja, deh! Tapi gendoong.” Sudut bibir Pras tertarik tipis. Sudah menjulurkan tangan untuk bersiap menggendong Sinar yang kembali bersikap manja. Namun, wanita itu malah menolak dan bangkit dari pangkuannya. Belakangan ini, Pras memang kerap dibuat pening akibat sikap Sinar yang selalu berubah-ubah. Wanita itu seolah tidak memiliki pendirian yang tetap. Detik ini bilang mau ke barat, tapi bisa langsung berubah haluan untuk pergi ke utara, di det
“Ingat ya, aku gak boleh capek-capek kata dokter Novi,” ujar Sinar seraya masuk ke dalam selimut yang sama dengan Pras seusai dari kamar mandi. “Jadi, kalau mau minta jatah, gak bisa kayak dulu.”Pras yang masih memangku laptop itu pun menghentikan aktivitasnya dan menoleh. “Oke,” jawabnya tanpa gumaman seperti biasanya. Demi anaknya yang kini tengah bersemayam di perut Sinar, Pras rela melakukan apa saja. Jatah malamnya berkurang pun tidak masalah, asal anaknya sehat. Bisa tumbuh dan berkembang dengan baik di dalam sana. Sinar bisa melahirkan normal, dan setelah itu mereka bisa kembali merencanakan kehamilan selanjutnya.Pras sangat sadar kalau usianya sudah tidak lagi muda. Memiliki anak ketika usianya hampir menyentuh kepala empat. Sedangkan di luar sana, teman-teman lamanya sudah memiliki beberapa anak, yang bahkan usianya sudah ada yang remaja.Lantas, kabar kehamilan sang istri benar-benar bak oase di padang pasir, yang
“Sehat, Nar?” tanya Raja ketika sedang sarapan bersama. “Ada keluhan gak?” “Sehat, Pi,” jawab Sinar mengusap perutnya yang masih rata. “Paling cuma pusing, mual dikit-dikit, tapi syukurnya gak sampe muntah-muntah.” Di samping Sinar, Raja melihat Pras yang sedari tadi terus menguap menahan kantuk. “Kamu kenapa, Pras? begadang?” Pras kembali menguap sebentar dengan menutup mulutnya. “Ya, gimana bisa tidur kalau Sinar bangun-bangun terus semalaman.” Sinar meringis datar menatap Aida serta Raja bergantian. Di bawah meja, ia menyenggol kaki Pras dengan keras untuk melayangkan protesnya. “Ada yang sakit, Nar? sampai gak bisa tidur?” tanya Aida mulai khawatir. “Aku yang sakit, Mi,” timpal Pras. “Sakit kepala karena kurang tidur. Sinar gak tidur karena sibuk makan, dia kelaparan terus semalaman.” Ingin sekali Pras melanjutkan tidurnya hingga tengah hari, jika hari ini tidak ada meeting dengan relasi dari luar negeri. Semoga dalam perja
“Sudah cantiiik!” puji Sinar terhadap diri sendiri, setelah memulas pewarna bibir dan mengedipkan matanya satu kali di depan cermin. Menatap pipinya yang semakin chubby, karena selera makannya yang tidak mampu dikotrol semenjak hamil.“Mas …” Sinar memutar tubuhnya menatap Pras yang duduk di sofa sembari melihat ponsel. Pria itu sudah siap dari lima belas menit yang lalu. Tinggal menunggu Sinar siap, lalu berangkatlah mereka ke sebuah restoran untuk makan malam.Pras mengangkat wajahnya menatap tanya. Tidak berkomentar, karena melihat wajah Sinar yang semakin menawan ketika dipoles seperti sekarang.“Belum-belum, aku sudah naik lima kilo, loh.” Keluh Sinar menepuk-nepuk pipinya sendiri. “Gimana entar kalau masuk semester dua, terus, semester tiga?”“Jadi bola,” sahut Pras dengan santainya kemudian berdiri menghampiri Sinar.“MAS!”Pras menjulurkan tangan tanpa ing