Dokter keluarga yang bernama Halim itu tersenyum ramah, seraya manggut-manggut mendengar penjelasan Sinar yang masih menyimpak kekesalan pada Pras. Seharusnya tidak perlu sampai memanggil dokter, karena Sinar hanya kelelahan dan butuh istirahat, pikirnya.
“Jadi, kapan jadwal haid terakhir?” tanya Halim sembari memasukkan peralatannya ke dalam tas.
“Lupa, Dok.” Sinar memberi ringisan lebar pada sang dokter.
“Kira-kira? Dua atau tiga minggu yang lalu?” tanya Halim lagi, mencoba memastikan sesuatu.
“Sepertinya tiga, tapi yang jelas, saya yakin kalau ini bukan waktunya haid,” terang Sinar. “Mungkin semingguan lagi, tapi saya gak ingat tanggal pasnya,” lanjutnya sembari mengingat-ingat.
Halim mengangguk mengerti. “Tapi kramnya gak lama, kan?”
“Gak dok,” jawab Sinar dengan gelengan.
Halim kemudian menatap Pras penuh maksud. “Saya gak kasih obat dulu, ya. Pras. Tapi, coba kalian ke dokter kandungan besok pagi, biar bisa sekalian di US
Aku sayang kamuuu .... kisseeedd ....
Sinar terbangun ketika jarum jam hampir menuju angka dua dini hari. Masih mengantuk sebenarnya, tapi perutnya tidak bisa dikompromi. Sinar merasakan lapar yang teramat sangat hingga sejurus kemudian, cacing di dalam perutnya pun berbunyi.Menoleh pada Pras yang masih tertidur lelap, Sinar tidak ingin membangunkannya.Sinar beranjak dengan perlahan, sembari menahan napas dan menyingkirkan tangan Pras yang terjatuh di perutnya. Enggan mencari piyamanya yang masih berserakan di lantai dalam gelap. Sinar menuju walk in closet, dan mengambil piyama baru untuk dikenakan.Sinar kemudian memekik seraya mengurut dadanya berulang kali, ketika berbalik. Pras tiba-tiba sudah berada di depannya, hingga tangan bebasnya pun reflek memukul lengan Pras sekenanya.“Kaget tauk! Ngomong kalau ikutan masuk,” kesal Sinar seraya memanyunkan bibir.“Ngapain jam segini ganti baju lagi?” tanya Pras mengusap wajah ngantuknya sejenak.“Aku
Sinar berjalan gontai menghampiri Pras, setelah keluar dari kamar mandi. Langsung menjatuhkan bokongnya pada pangkuan Pras dan mengalungkan satu tangan di leher suaminya. “Aku laper, pengen makan sate, Mas,” ujarnya dengan bibir yang mencebik manja. Pras melepaskan tas yang masih mengalung pada leher istrinya itu. Meletakkan benda tersebut di sebelahnya. “Kamu bakal nunggu lama kalau minta pak Juna bikin dulu. Atau, mau makan di luar?” “Umm … boleh!" seru Sinar lalu melebarkan senyumnya seketika. "Makan di luar aja, deh! Tapi gendoong.” Sudut bibir Pras tertarik tipis. Sudah menjulurkan tangan untuk bersiap menggendong Sinar yang kembali bersikap manja. Namun, wanita itu malah menolak dan bangkit dari pangkuannya. Belakangan ini, Pras memang kerap dibuat pening akibat sikap Sinar yang selalu berubah-ubah. Wanita itu seolah tidak memiliki pendirian yang tetap. Detik ini bilang mau ke barat, tapi bisa langsung berubah haluan untuk pergi ke utara, di det
“Ingat ya, aku gak boleh capek-capek kata dokter Novi,” ujar Sinar seraya masuk ke dalam selimut yang sama dengan Pras seusai dari kamar mandi. “Jadi, kalau mau minta jatah, gak bisa kayak dulu.”Pras yang masih memangku laptop itu pun menghentikan aktivitasnya dan menoleh. “Oke,” jawabnya tanpa gumaman seperti biasanya. Demi anaknya yang kini tengah bersemayam di perut Sinar, Pras rela melakukan apa saja. Jatah malamnya berkurang pun tidak masalah, asal anaknya sehat. Bisa tumbuh dan berkembang dengan baik di dalam sana. Sinar bisa melahirkan normal, dan setelah itu mereka bisa kembali merencanakan kehamilan selanjutnya.Pras sangat sadar kalau usianya sudah tidak lagi muda. Memiliki anak ketika usianya hampir menyentuh kepala empat. Sedangkan di luar sana, teman-teman lamanya sudah memiliki beberapa anak, yang bahkan usianya sudah ada yang remaja.Lantas, kabar kehamilan sang istri benar-benar bak oase di padang pasir, yang
“Sehat, Nar?” tanya Raja ketika sedang sarapan bersama. “Ada keluhan gak?” “Sehat, Pi,” jawab Sinar mengusap perutnya yang masih rata. “Paling cuma pusing, mual dikit-dikit, tapi syukurnya gak sampe muntah-muntah.” Di samping Sinar, Raja melihat Pras yang sedari tadi terus menguap menahan kantuk. “Kamu kenapa, Pras? begadang?” Pras kembali menguap sebentar dengan menutup mulutnya. “Ya, gimana bisa tidur kalau Sinar bangun-bangun terus semalaman.” Sinar meringis datar menatap Aida serta Raja bergantian. Di bawah meja, ia menyenggol kaki Pras dengan keras untuk melayangkan protesnya. “Ada yang sakit, Nar? sampai gak bisa tidur?” tanya Aida mulai khawatir. “Aku yang sakit, Mi,” timpal Pras. “Sakit kepala karena kurang tidur. Sinar gak tidur karena sibuk makan, dia kelaparan terus semalaman.” Ingin sekali Pras melanjutkan tidurnya hingga tengah hari, jika hari ini tidak ada meeting dengan relasi dari luar negeri. Semoga dalam perja
“Sudah cantiiik!” puji Sinar terhadap diri sendiri, setelah memulas pewarna bibir dan mengedipkan matanya satu kali di depan cermin. Menatap pipinya yang semakin chubby, karena selera makannya yang tidak mampu dikotrol semenjak hamil.“Mas …” Sinar memutar tubuhnya menatap Pras yang duduk di sofa sembari melihat ponsel. Pria itu sudah siap dari lima belas menit yang lalu. Tinggal menunggu Sinar siap, lalu berangkatlah mereka ke sebuah restoran untuk makan malam.Pras mengangkat wajahnya menatap tanya. Tidak berkomentar, karena melihat wajah Sinar yang semakin menawan ketika dipoles seperti sekarang.“Belum-belum, aku sudah naik lima kilo, loh.” Keluh Sinar menepuk-nepuk pipinya sendiri. “Gimana entar kalau masuk semester dua, terus, semester tiga?”“Jadi bola,” sahut Pras dengan santainya kemudian berdiri menghampiri Sinar.“MAS!”Pras menjulurkan tangan tanpa ing
“Kenapa belum tidur juga?” Pras yang sudah memeluk Sinar dari tadi, mendengar istrinya itu berkali-kali menghela pendek. “Kamu lapar? Mau pesan makan?” Sinar menggeleng di pelukan Pras. Kemudian menarik diri untuk menyalakan lampu tidur yang ada di atas nakas sembari menahan selimut yang menggantung di atas dada. “Mas, aku mau tanya, tapi jangan dicuekin dan kamu harus jawab bener-bener.” Sinar pun memasang wajah seriusnya kali ini, membuat dahi Pras sedikit mengerut. “Tanya apa?” “Mas Bin.” Wajah Pras seketika itu juga berubah datar. Sinar tahu benar perubahannya. “Dengerin duluuu.” Sinar meraih wajah Pras yang hendak berpaling dari dirinya. “Aku ketemu mantan pacarmu di toilet tadi.” “Mantan pacar? Daya?” tanya Pras menyentak kedua alisnya ke atas. Selama ini, satu-satunya mantan pacar Pras memang hanya Daya seorang. Untuk yang lain, hanyalah penghibur malam-malamnya jika ia tengah penat dengan semua pekerjaan yang ada.
“Hah!” Lex meloloskan satu tawa meledeknya kepada Pras. “Jadi, kamu pagi-pagi datang ke firma cuma mau tanya perkembangan kasus Bintang? Bukannya kamu bisa aja nelpon, Pras.”“Lebih enak bicara langsung,” ujar Pras seraya membaca berkas yang sebelumnya sudah ia minta pada Arista, sang sekretaris firma melalui telepon ketika masih di perjalanan. “Apa, dia masih minta banding?”“Begitulah, dan … rencanamu berhasil!” Lex bertepuk tangan begitu dramatis. “Uang dia sudah habis banyak karena terus banding, dan Surya Eksporindo sekarang sedang goyang. Kamu itu kejam!”“Dia pantas dapat itu semua,” cemooh Pras yang tidak peduli dengan kondisi perusahaan Bintang saat ini. Semuanya memang sudah direncanakan oleh Pras serapi mungkin. “Jangan coba main-main denganku, kalau mau aman.”“Masih mau diteruskan?” Lex berasumsi, kedatangan Pras ke firma pagi-pa
Jam kantor sudah menunjukkan lebih sepuluh menit dari jadwal seharusnya pulang kerja. Namun Pras, masih betah duduk di lobi dengan santai. Membaca koran terbitan hari ini dengan seksama, sembari menunggu sang istri yang ngotot ingin datang ke kantor saat Pras sudah pulang kerja.Entah apa alasannya karena Sinar juga tidak mengatakannya. Wanita itu hanya mengatakan ingin pergi ke kantor Pras saat pria itu pulang kerja lalu kembali ke rumah bersama-sama. Kalau bukan karena istrinya itu tengah mengandung, maka Pras sudah pasti akan tidak akan mengidahkan rengekan Sinar tersebut.Tepat lima belas menit menunggu, pundak Pras lalu di tepuk oleh seseorang yang sudah berdiri dengan tersenyum manis padanya.“Lama yaaa, jalanan macet soalnya.”Pras menatap sang istri yang semakin hari terlihat semakin cantik saja. Tubuhnya yang semakin berisi membuat Pras semakin betah memandang dan selalu ingin menempelkan tangan di sekujur tubuh Sinar.Padahal,