“Sehat, Nar?” tanya Raja ketika sedang sarapan bersama. “Ada keluhan gak?”
“Sehat, Pi,” jawab Sinar mengusap perutnya yang masih rata. “Paling cuma pusing, mual dikit-dikit, tapi syukurnya gak sampe muntah-muntah.”
Di samping Sinar, Raja melihat Pras yang sedari tadi terus menguap menahan kantuk. “Kamu kenapa, Pras? begadang?”
Pras kembali menguap sebentar dengan menutup mulutnya. “Ya, gimana bisa tidur kalau Sinar bangun-bangun terus semalaman.”
Sinar meringis datar menatap Aida serta Raja bergantian. Di bawah meja, ia menyenggol kaki Pras dengan keras untuk melayangkan protesnya.
“Ada yang sakit, Nar? sampai gak bisa tidur?” tanya Aida mulai khawatir.
“Aku yang sakit, Mi,” timpal Pras. “Sakit kepala karena kurang tidur. Sinar gak tidur karena sibuk makan, dia kelaparan terus semalaman.”
Ingin sekali Pras melanjutkan tidurnya hingga tengah hari, jika hari ini tidak ada meeting dengan relasi dari luar negeri. Semoga dalam perja
Makasih buat yang sudah mampir, baca dan ngasi vote dan komen bintang lima di Sexiest Journalist. Yang lain udah pada baca belum?? nih saia kasih double up ... kisseeed ...
“Sudah cantiiik!” puji Sinar terhadap diri sendiri, setelah memulas pewarna bibir dan mengedipkan matanya satu kali di depan cermin. Menatap pipinya yang semakin chubby, karena selera makannya yang tidak mampu dikotrol semenjak hamil.“Mas …” Sinar memutar tubuhnya menatap Pras yang duduk di sofa sembari melihat ponsel. Pria itu sudah siap dari lima belas menit yang lalu. Tinggal menunggu Sinar siap, lalu berangkatlah mereka ke sebuah restoran untuk makan malam.Pras mengangkat wajahnya menatap tanya. Tidak berkomentar, karena melihat wajah Sinar yang semakin menawan ketika dipoles seperti sekarang.“Belum-belum, aku sudah naik lima kilo, loh.” Keluh Sinar menepuk-nepuk pipinya sendiri. “Gimana entar kalau masuk semester dua, terus, semester tiga?”“Jadi bola,” sahut Pras dengan santainya kemudian berdiri menghampiri Sinar.“MAS!”Pras menjulurkan tangan tanpa ing
“Kenapa belum tidur juga?” Pras yang sudah memeluk Sinar dari tadi, mendengar istrinya itu berkali-kali menghela pendek. “Kamu lapar? Mau pesan makan?” Sinar menggeleng di pelukan Pras. Kemudian menarik diri untuk menyalakan lampu tidur yang ada di atas nakas sembari menahan selimut yang menggantung di atas dada. “Mas, aku mau tanya, tapi jangan dicuekin dan kamu harus jawab bener-bener.” Sinar pun memasang wajah seriusnya kali ini, membuat dahi Pras sedikit mengerut. “Tanya apa?” “Mas Bin.” Wajah Pras seketika itu juga berubah datar. Sinar tahu benar perubahannya. “Dengerin duluuu.” Sinar meraih wajah Pras yang hendak berpaling dari dirinya. “Aku ketemu mantan pacarmu di toilet tadi.” “Mantan pacar? Daya?” tanya Pras menyentak kedua alisnya ke atas. Selama ini, satu-satunya mantan pacar Pras memang hanya Daya seorang. Untuk yang lain, hanyalah penghibur malam-malamnya jika ia tengah penat dengan semua pekerjaan yang ada.
“Hah!” Lex meloloskan satu tawa meledeknya kepada Pras. “Jadi, kamu pagi-pagi datang ke firma cuma mau tanya perkembangan kasus Bintang? Bukannya kamu bisa aja nelpon, Pras.”“Lebih enak bicara langsung,” ujar Pras seraya membaca berkas yang sebelumnya sudah ia minta pada Arista, sang sekretaris firma melalui telepon ketika masih di perjalanan. “Apa, dia masih minta banding?”“Begitulah, dan … rencanamu berhasil!” Lex bertepuk tangan begitu dramatis. “Uang dia sudah habis banyak karena terus banding, dan Surya Eksporindo sekarang sedang goyang. Kamu itu kejam!”“Dia pantas dapat itu semua,” cemooh Pras yang tidak peduli dengan kondisi perusahaan Bintang saat ini. Semuanya memang sudah direncanakan oleh Pras serapi mungkin. “Jangan coba main-main denganku, kalau mau aman.”“Masih mau diteruskan?” Lex berasumsi, kedatangan Pras ke firma pagi-pa
Jam kantor sudah menunjukkan lebih sepuluh menit dari jadwal seharusnya pulang kerja. Namun Pras, masih betah duduk di lobi dengan santai. Membaca koran terbitan hari ini dengan seksama, sembari menunggu sang istri yang ngotot ingin datang ke kantor saat Pras sudah pulang kerja.Entah apa alasannya karena Sinar juga tidak mengatakannya. Wanita itu hanya mengatakan ingin pergi ke kantor Pras saat pria itu pulang kerja lalu kembali ke rumah bersama-sama. Kalau bukan karena istrinya itu tengah mengandung, maka Pras sudah pasti akan tidak akan mengidahkan rengekan Sinar tersebut.Tepat lima belas menit menunggu, pundak Pras lalu di tepuk oleh seseorang yang sudah berdiri dengan tersenyum manis padanya.“Lama yaaa, jalanan macet soalnya.”Pras menatap sang istri yang semakin hari terlihat semakin cantik saja. Tubuhnya yang semakin berisi membuat Pras semakin betah memandang dan selalu ingin menempelkan tangan di sekujur tubuh Sinar.Padahal,
Pagi itu, rumah lebih terasa sepi tanpa kehadiran Raja dan Aida. Sepasang suami istri yang selalu tampak kompak itu, tengah melakukan kunjungan dinas ke luar negeri sejak tiga hari yang lalu. Hingga di hari libur seperti saat ini, hanya menyisakan Pras dan Sinar di rumah. Sinar hanya duduk anteng di gazebo seraya memakan buah yang sudah tersaji untuk sarapannya kali ini. Tengah menunggu Pras, yang masih betah berlama-lama berenang sedari tadi. Beberapa saat kemudian, Pras berenang menuju tangga kolam dan menuntaskan kegiatannya. Menghampiri Sinar dengan tubuh basahnya, lalu dengan sengaja mengibaskan rambutnya yang masih basah ke arah sang istri. “Maaas! Basah tauk ih!” kesalnya seraya mengusap semua tetes basah yang singgah di kulit tubuhnya. Kemudian, Sinar memberikan sebuah handuk kecil untuk mengeringkan rambut Pras. “Makanya mandi.” Pras hanya mengusap rambutnya satu kali dengan handuk yang baru diberikan oleh Sinar, lalu mengalungkannya di leher
Pertemuan yang dilakukan di sebuah kafe yang masih terlihat sepi itu, ternyata bukan hanya dihadiri oleh Lex dan Pras saja. Ada seorang wanita yang juga ikut serta bersama mereka. Wanita itu adalah sekretaris firma, yang sudah lima tahun belakangan ini mengabdi di sana. Arista, wanita berusia 29 tahun dan masih berstatus single itu, akhirnya dipilih oleh Lex untuk untuk mengambil alih beberapa saham yang ada di Surya Exporindo. Sebelumnya, Lex juga sudah berkonsultasi dengan Pras. Dengan bertukar pikiran dan banyak pertimbangan, akhirnya Pras menyetujuinya. Mengikutsertakan Arista dalam rencana mereka, juga tidak ada buruknya. Karena selama mengenal Arista, Pras tahu kalau wanita itu tidak pernah neko-neko dan cenderung penurut. Toh nantinya, Arista juga akan mendapat bayaran yang setimpal atas kerja samanya. Karena, semua yang dilakukan saat ini, hanya boleh diketahui oleh mereka bertiga. “Jadi, ini surat perjanjiannya.” Lex menyodorkan sebuah map yang berisi berkas
Manik legam itu, sudah memperhatikan Pras sejak pria itu masuk ke dalam resto dan duduk bersama teman prianya. Tidak berselang lama kemudian, ada seorang wanita lagi yang ikut bergabung di meja yang sama. Ketiga orang tersebut, tampak membicarakan hal yang sangat serius. Hal itu jelas terlihat, karena sepanjang pertemuan yang ada, tidak tampak tawa sekali pun yang tersemat diantara mereka bertiga. Hingga pada akhirnya, Pras lebih dulu berdiri dan melangkahkan kakinya keluar resto. Meninggalkan kedua orang temannya, yang masih berbincang di meja. Pria itu juga terlihat langsung menuju parkiran dan masuk ke dalam mobilnya dengan tergesa. Seolah sudah memiliki janji lain setelah dari sini. “Bisa … antar aku pulang?” Pras berdecak tidak suka. Melihat seseorang menerobos masuk ke dalam mobilnya begitu saja. “Keluar sendiri, atau aku yang seret kamu keluar, Day.” Daya menghela dengan gelengan dan masih keras kepala. Tidak mengindahkan ucapan Pras, w
Dapur, adalah tujuan Pras selanjutnya, jika tidak menemukan sang istri berada di kamar. Namun, tebakannya kali ini salah, Pras tidak menemui Sinar di sana. Mengeluarkan ponsel dari saku celana, Pras mencoba menelepon Sinar untuk mencari tahu keberadaannya. Namun, tidak juga ada yang mengangkat. Selanjutnya, Pras memanggil seorang pelayan untuk bertanya keberadaan istrinya yang tidak biasa seperti ini. “Mbak Sinar di teras belakang, Mas,” ujar Lusi, pelayan yang memang ditugaskan khusus untuk mengurus keperluan Sinar. “Lagi jahit baju,” “Jahit baju, di teras belakang? bukannya mesin jahitnya ditaruh di gudang?” Dahi Pras mengerut, menunggu jawaban Lusi sejenak sebelum melangkahkan kaki ke teras belakang. “Waktu Mas Pras pergi tadi, Mbak Sinar minta mesin jahitnya dikeluarin sama dipasangin dinamonya dan segala macamnya, terus minta ditaroh di teras belakang.” jelas Lusi lagi. Pras mengangguk paham. “Makasih, tolong siapkan makan siang.” Kemudia