Tidak … Mai tidak ingin merusak hubungan siapa pun. Ia datang ke Casteel High hanya ingin memastikan semua hal. Mai ingin mendengar sendiri, kalau pria itu benar-benar mencintai kekasihnya.
Mai langsung meluncur ke lantai sepuluh. Tempat ruang pria itu itu berada. Melangkah elegan dan hanya memberi anggukan kecil, pada pegawai yang menyapanya sepanjang jalan. Tidak ada senyum, karena suasana hati yang berkecamuk tidak menentu.
Mai mengetuk pintu ruang manajer HRD terlebih dahulu. Sebelum akhirnya menekan handle pintu dan mendorongnya.
“Siang, Mas By,” sapa Mai yang masih berada di bibir pintu. Menunggu hingga dipersilakan masuk terlebih dahulu.
“Mai?” Pria itu langsung berdiri dari kursi kebesarannya dan beranjak menghampiri Mai. “Ada perlu apa? Ada yang bisa aku bantu? Kamu ada masalah?” cecarnya diantara degup jantung yang tiba-tiba saja bertalu tidak jelas.
“Boleh aku masuk?”
“Oh, ya boleh,” ujarnya kemudian bergeser dari hadapan Ma
Byakta segera berbalik. Meraih dan menarik kasar lengan Mai, yang baru saja melewatinya. Tubuh keduanya lantas bertemu tanpa jarak. “Aku bukan pengecut,” desis Byakta seraya memberi tatapan tajam pada Mai. Mai menjaga dagunya agar tetap terangkat tegak. Tidak merasa gentar atau pun risau, dengan tatapan yang dilayangkan oleh Byakta. Tatapan sang ayah jika sudah kesal, akan lebih menyeramkan dari ini. Jadi, sikap Byakta saat ini, benar-benar tidak berpengaruh apapun baginya. “Putuskan Raya, dan temui ayahku kalau kamu memang bukan pengecut.” Cengkraman itu langsung terlepas detik berikutnya. Byakta mundur satu langkah, untuk menjaga jarak dari Mai. Menatap hampa, dengan ketidakmungkinan yang ada diantara mereka. Jakun Byakta naik turun dengan perlahan. Pandangannya menyapu tubuh Mai dari ujung rambut, hingga kaki. Satu kata yang dapat Byakta simpulkan … Mewah. Penampilan berkelas nan mahal yang selalu melekat pada Mai, sungguh membuat Bya
Wajah tegang yang ditunjukkan oleh Byakta, membuat Pras semakin curiga dengan hubungan pria itu dengan putrinya. Pras yang duduk di satu-satunya arm chair yang ada di ruangan tersebut, hanya memandang datar tapi tetap bersikap santai. “Kamu sudah tahu, kan, kalau bulan depan saya sudah pensiun dari Casteel High?” tanya Pras membuka obrolah ditengah ketegangan yang masih terlihat di wajah Byakta. Padahal, tidak biasanya Byakta bersikap seperti itu jika di depan Pras. “Tahu, Pak,” jawab Byakta dengan anggukan kecil. “Saat saya pensiun nanti, juga akan ada perombakan dewan direksi beserta komisaris yang mengikutinya. Dan, saya mau kamu koordinasi dengan pak Wisnu lebih intens lagi, karena bulan depan, kamulah yang akan menggantikan beliau.” “Saya?” Wajah tegang itu kini berubah syok seketika. Masih tidak percaya, dengan apa yang sudah ia dengar barusan. “Saya yang menggantikan pak Wisnu jadi direktur personalia? Bapak gak salah tunjuk?” “Nope,” j
Mai menghempaskan tubuhnya pada sofa yang berada tidak jauh dari meja kerja Qai. Kakak laki-lakinya itu, tengah berbicara dengan seorang karyawan yang duduk bersebrangan dengannya. Untuk itu, Mai hanya menunggu sampai Qai selesai sembari bersandar dan memperhatikan sekeliling ruang pria itu. “Baik, Pak Qai, saya permisi dulu,” ujar sang karyawan wanita menyudahi laporannya lalu beranjak dan tidak lupa untuk menyapa Mai. “Permisi, Bu Mai.” Mai mengangguk. “Besok, kalau masih mau kerja di sini, tolong roknya dipanjangin ya. Terima kasih.” Langkah sang karyawan muda itu terhenti dan menatap gugup. “Ba-baik, Bu. Permisi,” ujarnya kemudian berlalu dengan cepat dari ruangan Qai dan menutup pintu dengan rapat. Qai yang geregatan dengan sang adik itu, langsung melempar Mai dengan pulpen yang baru saja dipakainya untuk tanda tangan. “Resek! Haknya dialah mau pake rok yang gimana!” “Hm, tapi ini kantor, bukan mall atau kelab malam,” sanggah Mai. “Waktu
Hari-hari selanjutnya, dijalani Mai seperti biasa. Berangkat pagi, menjalani sidang dan segudang pekerjaan lainnya. Kembali ke rumah, lalu beristirahat dan tidak ada yang benar-benar istimewa. Mai sudah benar-benar menjauhkan nama Byakta dari hatinya. Pria itu, ternyata tidak juga melakukan apa yang Mai minta. Jadi, cukuplah sudah ia berharap dengan sesuatu yang tidak pasti.Namun, hal yang berbeda dialami oleh Qai. Pria itu terlihat lebih banyak menatap ponsel dari pada bermain game, atau berlama-lama di garasi untuk merawat mobil-mobil milik Pras, yang nantinya tentu saja akan jadi milik Qai.“Kamu punya pacar, Mas?”Mai tahu-tahu sudah bersedekap, dan berdiri tepat di depan Qai yang sedang tersenyum sendiri menatap ponsel.“Belum,” jawab Qai santai. “Baru pe-de-ka-te!” serunya lalu terkekek tanpa melihat Mai sama sekali. Qai malah merebahkan diri pada sofa sembari terus mengetikkan sesuatu di layar ponselnya.
Sendiri dan merasa sepi. Itulah yang dirasakan Mai, meskipun saat ini ia sedang berada di tengah keramaian. Tidak ada Qai yang menemani. Sang bunda pun masih terlihat asyik bersama Diana di sudut ruang. Menoleh ke belakang, ada Raj yang terlihat sibuk menempel dengan Widi. Yang paling menyedihkan lagi, tentu saja melihat Byakta yang sedari tadi selalu menggamit tangan sang kekasih, ke mana pun mereka berada.Mai lantas membuka cardigannya. Merebahkan diri, kemudian menutup separuh tubuhnya ke atas dengan baju luaran tersebut. Memilih memejamkan mata dan membiarkan dirinya terlelap untuk melupakan kesepian yang ada.Namun, sekeras apapun Mai berusaha memejamkan pikirannya, tetap saja rasa kesal dan gelisah yang berkecamuk di hati itu terus merajai.Mai lalu menggeram dan bangkit sembari menarik cardigannya. Kembali duduk dengan kaki menjuntai dan mengambil ponsel dari tasnya untuk menelepon seseorang.“Tante di mana?” tanya Mai setelah mengucap
Mai menyerah. Daripada harus mendengar curhatan Raj, lebih baik ia kembali ke dalam gedung. Satu hal yang Mai lakukan, agar Raj bisa menyingkir dan ia pun bisa keluar dari mobil. Mai mencapit otot perut Raj begitu keras, sembari melampiaskan kekesalan yang sudah menumpuk sedari pagi.Dari mana lagi Mai mencontoh hal tersebut jika bukan dari sang bunda. Terkadang, Mai melihat Sinar melayangkan cubitannya pada Pras, ketika sang bunda tengah dirundung kesal.Benar saja, hal tersebut sukses membuat Raj mengaduh, hingga berjengit keluar dari mobil."Mai!" desis Raj sembari meringis kesakitan. Tangannya sibuk mengusap perut bagian samping yang sudah dicubit sedemikian keras oleh Mai.Dengan wajah kesal dan tidak mau peduli, Mai keluar dari mobil lalu beranjak meninggalkan Raj. Berniat kembali masuk ke dalam dan meminta sang bunda agar segera pulang dari yayasan.Jika sang bunga tidak mau, maka Mai akan pulang sendiri dengan menggunakan ta
“Berani macam-macam, aku bakal tuntut kamu atas perilaku tidak menyenangkan yang mengarah ke hal-hal yang berbau seksual.” Kepala Raj yang tadinya menunduk secara perlahan, seketika langsung terpeleset jatuh ke bahu Mai, ketika ancama itu dimuntahkan dengan lugas. Mulutnya menggeram singkat dengan helaan kasar. Jiwa yang baru saja melayang tinggi dan hampir menyentuh awan, tiba-tiba saja jatuh dan langsung terhempas ke punggung bumi. Sakitnya mungkin tidak seberapa, tapi, rasa malu itu, yang membuat Raj merutuk dengan hal yang ingin dilakukannya barusan. Raj pun kembali menegakkan tubuh. Berdehem untuk menghilangkan semua rasa canggung yang sebelumnya tidak pernah ada. “Minggir!” titah Mai yang hanya memberi tatapan datar pada Raj yang masih mengukung tubuh Mai. Sedari tadi, kedua tangan Raj masih memegang tali besi ayunan yang barusan Mai duduki. “Mai—“ “Minggir!” sela Mai dengan cepat. “Tapi, jadi temeni aku jalan, kan?” Raj
“Hola, sleeping beauty?” Mai terdiam sejenak. Masih menyesuaikan diri dengan situasi yang ada di depannya. Memikirkan, hal terakhir yang terjadi sebelum ia terlelap dan masih dalam keadaan duduk seperti sekarang. “Eugh …” gumam Mai lalu bangkit menegakkan tubuhnya yang terasa kaku. Kedua tangannya pun terangkat untuk memijat bahu serta leher bagian belakangnya. Meregangkan punggungnya yang saat ini terasa tidak nyaman karena baru saja tidur dengan membungkuk. Qai? Mai menoleh ke sana kemari untuk mencari sang kakak yang seingatnya, tengah duduk di sebelahnya sebelum Mai terlelap. Namun, mengapa saat ini hanya ada Raj yang menggantikan tempat Qai? “Mas Qai? Ke mana?” tanya Mai dengan malas dan suara berat khas bangun tidur. Manik Mai masih berpendar di dalam gedung, yang sepertinya sudah tidak terlalu ramai seperti ketika ia mulai tertidur. Raj yang baru kali ini melihat wajah Mai dengan surai ikal yang tergerai bebas, hanya bisa terdia