Saat perjalanan pulang, Rey tidak mengoceh seperti biasa, tak juga bermain gadget seperti biasanya. Pria dewasa berbalut seragam olahraga itu hanya memalingkan muka keluar jendela menatap jalanan yang sama sekali tidak menarik minatnya. Beberapa kali dia menghela napas berat, tentu saja suara itu me
Sementara itu, di waktu yang sama tapi berbeda tempat dengan Rey dan Bumi, Yota dan Aryan sedang duduk bersebelahan. Di depan mereka ada sebuah kaca besar dan hanya ada beberapa lubang kecil di bawahnya. Keduanya saling berpegangan tangan menunggu sang ibu keluar dari bilik jeruji besi. "Apa kamu y
"Aryan, kenapa kita ke sini?" tanya Yota. Dia meronta tapi cekalan tangan saudara kembarnya itu membuatnya tak kuasa melawan. Dia terpaksa mengikuti langkah kaki sang abang. Sekarang keduanya sudah berada di dekat meja prasmanan sebuah rumah makan Padang. Para karyawan bahkan saling berbisik meliha
"Aryan! Tenanglah. Jangan begini ...." Entah sudah keberapa kali Yota menenangkan Aryan. Akan tetapi tetap saja mendapatkan penolakan. Sang abang benar-benar telah diselimuti kemarahan sekarang. Aryan bahkan tanpa ragu menepis terus tangannya saat mencoba menghentikan. Mendadak dia menyesal mengata
"Apa katamu? Apa sekarang kau sedang mengancamku?" tanya Farel. Mukanya merah padam dengan rahang mengetat kuat. Tangannya juga menggenggam erat ponsel yang ada di tangan. "Halo! Ha-halo!" Farel berteriak, dia bahkan beberapa kali melihat layar, lalu menempelkan kembali benda pipih itu ke telinga.
"Maaf telat," kata seseorang berpenampilan urakan, sosok laki-laki tua berusia empat puluh lima tahun yang kesuluruhan tubuhnya hampir dipenuhi tato. Dia menatap ke arah Farel yang duduk bersedekap. Dia bahkan mengabaikan Farel yang menatap dengan tatapan membunuh. "Boleh aku duduk sekarang?" tanya
Gemerlap pesta di sebuah aula hotel berbintang lima menyilaukan mata tamu undangan. Bunga, balon, lampu kerlip dan beberapa hiasan pun memenuhi tempat itu. Semua dihias begitu apik. Musik dan tatanan makanan serta minuman pun seakan menambah semarak dan euforia. Di sana ada Prita yang menjadi ratun
"Sini bersandarlah padaku!" tawar Rey lagi sembari menepuk pundak. Bumi yang melihat itu kembali menyipitkan mata. Gumpalan embun yang tadinya hendak tumpah langsung hilang begitu saja. Perasaan sedihnya seperti lenyap, yang ada sekarang dia justru menatap kesal pada Rey. Baginya Rey dan Yota setal