Setelah menghabiskan waktu di Busan, ke lima orang itu pun kembali ke Seoul dan mengunjungi istana kerajaan Korea—Gyeongbokgung Palace. Lavina tidak pernah terlihat tidak antusias selama di Korea. Gadis itu selalu ceria seakan-akan tidak memiliki masalah dalam hidupnya. Dia sering bercanda bersama Aurora dan Young Soo. Sementara itu, Yoana selalu mengekor ke manapun Auriga pergi. Dan dia tidak pernah berhasil membujuk Aurora agar mau bersama-sama dengannya. “Mommy, aku cantik nggak?” Aurora memutar tubuhnya yang memakai pakaian tradisional Korea. Sebuah busana berwarna merah muda dengan motif burung bangau, pakaiannya tertutup, dan bagian roknya mengembang. Rambut Aurora dikepang, persis seperti seorang putri kerajaan pada jaman Joseon. “Wuaaa! Aurora cantik sekali! Nanti kalau udah keluar dari sini, terus dilihat Daddy, Daddy pasti terpesona sama kamu,” puji Lavina, yang membuat Aurora terkikik sembari menutupi mulut dengan jemarinya yang mungil. “Mommy juga cantiiik banget!” se
Auriga melirik arloji, sudah lima menit berlalu sejak kepergian Lavina. Kemudian Auriga menatap putrinya yang tengah meringis kesakitan dan darah masih terus menetes dari dagu. Auriga merasa khawatir dan panik, tapi tampak tenang di permukaan.“Apa sebaiknya kita bawa Aurora ke rumah sakit saja? Aku khawatir dagunya sobek atau perlu penanganan dokter,” usul Yoana.Auriga diam sesaat. Kemudian bertanya kepada Young Soo, “Seberapa jauh rumah sakit dari sini?”Saat Young Soo menjawab bahwa rumah sakit letaknya tidak jauh dari tempat ini, Auriga kembali berkata, “Kalau begitu saya akan bawa Aurora ke rumah sakit sekarang.”“Ide bagus. Aku juga khawatir dia kenapa-napa.” Young Soo mengangguk. “Tapi apa kita menunggu Lavina dulu?”Auriga kembali melirik arloji. Lalu mengembuskan napas berat. “Bisa kamu saja yang menunggu dia? Nanti kalian bisa menyusul ke rumah sakit. Saya naik taksi saja.”“Baiklah. Nanti aku dan Lavina menyusul. Hati-hati.”Auriga menyetop taksi. Saat ia akan menaiki taks
Merasa bersalah.Itulah yang Auriga rasakan saat ini. Andai tadi siang ia tidak menyalahkan Lavina atas jatuhnya Aurora, dan… andai ia tidak membiarkan Lavina pergi sendirian untuk membeli obat, mungkin sekarang Lavina ada di dalam kamar hotel sedang tertidur nyenyak dengan posisi tidur yang jauh dari kata anggun.Saat sedang tidur bersama Lavina, Auriga harus berulang kali menyingkirkan tangan Lavina yang menampar wajahnya cukup keras. Juga harus menyingkirkan kaki gadis itu yang menerjang-nerjang kaki Auriga. Sehingga Auriga merasa kesal semalaman. Ia tidak bisa tidur dengan nyenyak kemarin malam.Namun, malam ini, Auriga tidak tahu di mana Lavina berada dan sedang apa gadis itu di tengah malam yang cukup dingin ini.Auriga dan Young Soo berpencar untuk mencari Lavina sejak tadi siang. Sementara Aurora ditinggal di hotel bersama Yoana.“Halo? Bagaimana? Kamu sudah menemukan Lavina?” tanya Auriga dengan napas sedikit terengah pada Young Soo di seberang telepon.“Belum. Aku tidak mene
Akhirnya beberapa saat kemudian Auriga membawa Lavina keluar dari kedai tersebut dengan memangkunya ala bridal, karena Lavina tengah tertidur. Auriga menyetop taksi.Ia baru menghubungi Young Soo ketika sudah duduk di dalam taksi tersebut.Setelah panggilannya dengan Young Soo berakhir, Auriga akan memasukkan ponsel ke saku celana, tapi gerakannya terhenti saat matanya tertuju pada wajah Lavina yang bersandar di kaca pintu mobil. Gadis itu tidur dengan damai.Auriga tertegun. Ia jadi teringat dengan kejadian siang tadi, ketika ia menyalahkan Lavina atas jatuhnya Aurora. Saat itu, Auriga melihat sorot mata kecewa dalam tatapan Lavina untuk pertama kalinya.“Maafkan aku,” gumam Auriga seraya menarik kepala Lavina untuk berpindah dari kaca mobil, ke bahunya.Saat itulah Lavina terbangun dan kembali meracau. Dia mendongak dan mengamati Auriga dengan tatapan sayu.“Oh? Bukannya kamu Om Auriga?" racaunya sembari menjawil pipi Auriga dengan ujung jari telunjuknya. "Ish! Kenapa orang jahat in
Lavina terbangun dengan kepala yang terasa pening. Ia terkejut begitu sadar pagi ini sudah berada di kamar hotel, padahal, hal terakhir yang ia ingat adalah dirinya tersesat lalu ia ditolong oleh Sang Ook ahjumma dan diberi makan secara gratis.Karena pikirannya kalut dan takut sebab hilang di negeri orang, Lavina akhirnya nekad mencoba minuman soju dengan niat supaya pikirannya menjadi tenang. Namun, Lavina justru merasakan kepalanya melayang dan ia tidak ingat apa-apa lagi setelah itu.“Mommy!” seru Aurora yang baru saja membuka pintu kamar. “Mommy, sudah bangun?!”Siapa yang menemukanku dan membawaku ke sini? batin Lavina.“Hai!” Lavina tersenyum lebar dan merentangkan kedua tangan. “Selamat pagi!”Aurora berlari dan menghambur ke pelukan Lavina. “Aku senang bisa melihat Mommy lagi!”Lavina tertawa kecil. “Gimana dagu dan lutut kamu? Masih sakit?”“Udah nggak sakit lagi, kok, Mom.” Aurora menggelengkan kepalanya, lalu mendongak, menatap Lavina dengan tatapan polos. “Mommy jangan me
Setelah menghabiskan waktu selama seminggu di Korea, rombongan kecil Auriga pun kembali pulang ke Jakarta. Lavina tampak sedih ketika berpisah dengan Young Soo di bandara. Dan Lavina berkata kepada Young Soo bahwa mereka harus tetap berkomunikasi meski telah berpisah.Lavina juga sedih karena liburannya berakhir. Ia tidak tahu kapan bisa kembali lagi ke Korea. Baginya, liburan selama 7 hari itu adalah sebuah momen yang sangat sangat sangat berharga dalam hidupnya.Hari ini, satu hari setelah kembali ke Jakarta. Auriga, Lavina dan Aurora berada di sebuah kedai es krim. Mereka datang kemari karena Aurora yang merengek meminta dibelikan es krim kesukaannya.“Terima kasih,” ucap Auriga setelah membayar pesanan es krim Aurora dan Lavina di kasir. Dia menggendong Aurora, menghampiri Lavina yang duduk di meja dekat pintu masuk.“Lagi chat sama siapa?” tanya Auriga dengan tatapan sinis saat melihat Lavina cekikikan sendiri sembari mengetik pesan di layar ponsel.“Young Soo ahjussi.” Lavina me
“Jadi? Mau saya kasih tahu saja?” “Iya! Apa susahnya sih tinggal ngasih tahu?” gerutu Lavina. Tiba-tiba, Lavina terperanjat ketika punggungnya menyentuh kitchen island. Ia sudah tersudut. Sementara itu, antara ia dan Auriga sudah tak berjarak. Lavina panik, tapi ia tak ingin menunjukkan bahwa dirinya merasa terintimidasi. “Baiklah.” Suara Auriga mendadak terdengar berat. Matanya menatap mata dan bibir Lavina bergantian. “Mau saya kasih tahu dengan cara apa?” “Terserah!” Lavina mendengus. “Cepat kasih tahu aja sih, Om! Apa susahnya tinggal—aaah!” pekik Lavina tiba-tiba saat Auriga mengangkat tubuhnya dan mendudukannya di atas kitchen island. Mata Lavina membelalak. “A-apa yang Om lakukan?” tanya Lavina dengan panik. Wajah Auriga mendekat. Kedua lengannya tersimpan di sisi Lavina. Tatapannya yang dalam dan misterius membuat Lavina merasa seakan-akan Auriga memegang rahasia yang tak terungkap di dalam hatinya. “Bukankah kamu sendiri yang minta?” tanya Auriga, “saya akan ngasih tahu
Utami benar-benar membuktikan kata sebentar yang ia janjikan sebelumnya. Hanya dalam waktu satu jam ia sudah kembali menyerahkan Aurora kepada Lavina kemudian Utami pamit pergi.Aurora tidak terlihat antusias, tapi juga tidak tampak murung. Anak itu biasa-biasa saja setelah berkeliling mall dan berakhir dengan membeli banyak mainan yang dibayar Utami.Setibanya di rumah, Auriga sudah menunggu di beranda dan bergegas menghampiri mereka yang baru saja turun dari mobil.“Ke mana saja jam segini baru sampai rumah?” tanya Auriga seraya melirik arloji.Dengan tenang, Lavina menjawab, “Oh? Itu, tadi aku sama Aurora jalan-jalan dulu ke mall bareng Tante Utami. Soalnya Tante Utami lagi kangen sama Aurora dan—”“Tante Utami?” sela Auriga dengan raut muka yang mendadak berubah mengeras. “Maksud kamu, neneknya Aurora?”Lavina mengangguk. “Iya.”Seolah mengerti dengan ekspresi wajah ayahnya yang tiba-tiba muram, Aurora menyembunyikan paper bag ke belakang tubuhnya. Namun, hal itu tidak membuat pap