Kenyataannya tidak bisa.Auriga tidak bisa untuk berhenti penasaran. Semakin keras ia berusaha melupakan, semakin besar pula keinginannya untuk kembali mereguk rasa manis dari bibir gadis itu. Beberapa hari ini ia selalu uring-uringan tak jelas.Auriga mencoba melupakan apa yang ia lakukan pada Lavina di lorong rumahnya pada hari keberangkatannya ke bandara, sepuluh hari yang lalu, dengan melampiaskannya kepada wanita lain. Namun, tak pernah ada yang berhasil membuat Auriga lupa akan sosok Lavina.Dia bergairah ketika membayangkan gadis itu, tapi setiap kali ia membuka mata dan menyadari wanita yang tengah ia sentuh bukanlah Lavina, gairah Auriga mendadak lenyap. Bagai api yang membara diguyur air dari langit.Sial!Ada apa dengan dirinya?Auriga mendengus. Ia berhenti mondar-mandir di kamar apartemennya, pandangannya bergeser ke arah jam digital di nakas. Baru pukul enam sore, itu artinya di Indonesia masih pukul dua.Auriga menyeret langkah menuju ruang tengah untuk mengambil ponsel
Lavina sedang menyembunyikan perasaan waswasnya ketika ia mendengarkan penjelasan Juna. Otaknya tidak benar-benar bekerja. Sebab ia kepikiran dengan ancaman Auriga sewaktu di bandara kala itu. Auriga akan memindahkan kuliahnya ke universitas swasta lainnya, jika Lavina kedapatan dekat-dekat dengan Juna.Sebenarnya, Lavina tidak mengerti, apa alasan yang membuat Auriga mengancamnya dengan ancaman mengerikan itu?Memangnya kenapa kalau aku dekat sama Juna? batin Lavina sembari memperhatikan layar laptop milik Juna dengan tatapan tidak fokus.“Selamat siang.”Sapaan itu membuyarkan lamunan Lavina, ia mendongak, seketika itu juga matanya terbelalak melihat kembaran suaminya sedang berdiri di dekat meja sambil tersenyum.“K-Kak Archer,” gumam Lavina dengan tatapan tak percaya. Ia berdiri dan balas menyapa sembari tersenyum lebar, “Oh, selamat siang, Kak. Ngomong-ngomong Kakak sedang apa di sini? Lagi meeting sama klien Kakak, ya? Kok bisa kebetulan ketemu? Ternyata dunia ini benar-benar ke
Lavina duduk dengan gelisah di kursi tunggu yang terletak di luar pintu masuk Unit Gawat Darurat. Wajahnya dipenuhi kekhawatiran, dan matanya tidak pernah berhenti memandang pintu masuk UGD dengan harap-harap cemas.Keringat dingin mengalir di jidatnya, dan tangannya gemetar ketika mencoba menenangkan diri sendiri. Meskipun pintu UGD hanya beberapa langkah dari tempat duduknya, rasa tidak bisa bergerak membuatnya merasa seperti berada di dunia yang berbeda.Lavina memaksa tangannya yang gemetar untuk menelepon Auriga, akan tetapi nomor pria itu masih belum aktif. Akhirnya ia mengetik pesan pada Auriga untuk mengabarkan kondisi Aurora, berkali-kali Lavina harus mengulang tulisannya yang typo akibat jarinya yang bergetar.Saat pintu UGD akhirnya terbuka, ia melihat seorang dokter keluar dan menghampirinya dengan senyum di wajahnya. Senyum itu membawa sedikit ketenangan ke dalam hati Lavina.“Dokter, bagaimana kondisi anak saya?” tanya Lavina saat dokter sudah berdiri di hadapannya.“Kam
“Memangnya siapa lagi yang harus saya salahkan?” Auriga membuang napas dengan kasar. “Bukannya saya sudah kasih tahu kamu sejak awal tentang alergi Aurora? Bahkan saya sudah sering mengingatkan kamu supaya berhati-hati ngasih makan anak saya!”Rahang Auriga semakin mengeras, sorot matanya terasa mengintimidasi. Ia terdengar seperti tengah menahan suaranya untuk tidak meninggi di lorong yang sepi ini.Tak sanggup menatap sorot mata Auriga yang penuh amarah, Lavina lantas menunduk. ia membuka mulut, tapi terkatup lagi, seakan-akan lidahnya terasa kelu untuk memberikan penjelasan bahwa ia sama sekali tidak memberikan makanan yang mengandung alergen kepada Aurora.“Ini nggak bisa dianggap enteng, Lavina!” lanjut Auriga, berkacak pinggang. “Ketika alergi anak saya kambuh, maka nyawa dia yang jadi taruhan.”Lavina tahu. Dia tahu hal itu. tapi… bisakah Auriga berhenti memarahinya? Ia juga terpukul, bahkan tidak bisa berhenti khawatir sejak kemarin. Tangan Lavina terkepal untuk menahan rasa s
Hari sudah berganti malam. Di luar hujan cukup deras. Auriga memandangi buliran air yang jatuh ke kaca jendela. Ia menghela napas panjang. Sudah pukul delapan malam, tapi Lavina tak kunjung kembali ke ruangan ini.Auriga sudah menghubungi nomor telepon Lavina, tapi ponsel gadis itu tertinggal di sofa bersama dompetnya. Itu berarti Lavina pergi tidak membawa apa-apa. Kemudian Auriga menghubungi Pak Amir di rumah, tapi sopirnya itu bilang bahwa Lavina tidak pulang.Apa ini? Kenapa tiba-tiba ia merasakan kekhawatiran yang berlebih? Dan kenapa juga hatinya harus… terasa sesak, saat mengingat ucapannya yang kasar kepada Lavina tadi.Gadis itu pasti sakit hati.Sekali lagi Auriga menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Kemudian menelepon ibu mertuanya dan bertanya apakah Lavina ada di rumahnya?“Nggak ada. Dia gak pernah datang ke rumah ini lagi. Kenapa? Dia kabur dari rumah kamu?”Suara Mawar terdengar ketus, mungkin wanita itu marah pada Auriga gara-gara ancaman Auriga sewaktu
Rasa sakit itu semakin menghantam sudut-sudut hati Auriga yang terasa begitu kuat, saat ia menyaksikan bagaimana gadis yang biasanya ceria itu kini menangis dengan badan basah kuyup.Tanpa berpikir panjang, ia segera melepas jaketnya, lalu mendekati Lavina dengan tangan kiri memegangi payung dan tangan kanan menenteng jaket.Namun, langkah kaki Auriga tiba-tiba terhenti saat ia melihat seorang pria datang lebih dulu daripada dirinya. Pria itu berdiri di hadapan Lavina yang tengah berjongkok, dengan payung besar yang melindungi mereka berdua.Auriga menyaksikan wajah Lavina terangkat, menatap lelaki itu, lalu berdiri.Juna.Ya, siluet lelaki bertubuh tinggi agak kurus itu adalah Juna. Tidak salah lagi. Auriga tidak salah lihat. Sial. Rahang Auriga seketika berubah mengeras, tangannya terkepal saat Juna menyelimuti Lavina dengan jaketnya. Keduanya lantas pergi meninggalkan tempat tersebut menggunakan arah lain, bukan jalan yang Auriga pijak saat ini. Kepergian mereka membuat Auriga mema
Rahang Auriga tampak berkedut. Matanya menatap Lavina lurus-lurus. “Pulang!” gumamnya dengan nada memerintah.“Nggak mau!” Lavina membuang muka dan bersedekap dada.“Saya bilang pulang!” gumam Auriga lagi dengan penekanan yang lebih tegas.“Aku bilang nggak mau ya nggak mau!” tolak Lavina mentah-mentah. “Mending Om balik lagi aja, deh. Baru aja beberapa jam hidup nyaman tanpa melihat Om, malah Om tiba-tiba datang nggak diundang dan—EH! OM MAU NGAPAIN?” pekik Lavina tiba-tiba saat Auriga masuk ke apartemen itu.Lavina segera menyusul. Ia menatap Auriga yang mematikan televisi, dengan tatapan bingung sekaligus kesal.Dan….Ruangan itu mendadak gelap setelah Auriga menekan saklar. Kemudian Auriga mengangkat tubuh Lavina seperti memanggul beras, membuat Lavina sempat memekik kaget. Auriga mengambil kunci apartemen itu dari kotak di dekat pintu, lantas keluar dan menutup pintunya kembali. Pria itu sama sekali tidak menghiraukan Lavina yang meronta-ronta meminta diturunkan sambil berteriak.
Ting tong!“Sebentar ya, Mommy Lavina buka pintu dulu.”“Iya, Mom.”Lavina menaruh piring makanan Aurora ke atas meja makan, lalu ia bergegas menyeret langkahnya menuju pintu.Aurora sudah pulang ke rumah tadi siang. Dan saat ini hanya ada mereka berdua di rumah. Auriga sedang pergi entah ke mana, pria itu hampir tak pernah menjelaskan urusannya kepada Lavina semenjak mereka menikah.Lavina membuka pintu. Saat pintu terbuka, ia melihat seorang kurir sedang berdiri di hadapannya sambil menenteng lima paper bag besar.“Selamat siang. Betul dengan Mbak Lavina?”Lavina mengangguk. “Iya, saya sendiri. ada apa ya, Om?”“Oh, ini.” Pria itu menyerahkan semua paper bag di tangannya pada Lavina, “Ada kiriman untuk Mbak Lavina.”“Dari siapa?”“Dari….” Sang kurir membaca sesuatu di layar ponselnya sesaat. “Dari Pak Auriga, Mbak.”“Hah?” Lavina mengerjap. “Buat saya? Om nggak salah kirim, kan?”“Nggak, Mbak. Betul kok buat Mbak Lavina.”“Oh… terima kasih kalau begitu.”Lavina membawa semua barang