Linda mengerutkan kening, ia yang semula tengah santai sambil membolak-balik halaman sebuah majalah itu sontak menutup majalah di pangkuannya, mencoba fokus pada apa yang hendak Arnold katakan terhadap dirinya. Ada apa sampai nada bicara Arnold terdengar begitu serius?
"Mami lagi santai, memang kamu pengen ngomong apa, Ar?" Linda melempar majalah ke atas meja, rasanya akan ada hal yang begitu penting yang hendak dibicarakan.
"Penting Mi, Arnold harap Mami mau kooperatif menjawab semua pertanyaan Arnold."
Kembali kening Linda berkerut, kenapa jadi seserius ini sih? Ada masalah apa dan ada hubungan apa dengan dirinya?
"Mami kenal Burhan Santoso?"
***
Dirly memilih melangkah keluar dari ruangan itu dan membiarkan Arnold mengobrol serius dengan sang mama. Sungguh pelik sekali masalah yang dihadapi orang satu itu? Apakah ini balasan karena dia selalu menjadikan wanita hanya sebatas mainannya dulu?"Kayaknya gue harus tobat deh! Ogah ntar nas
Sisca tengah membantu menyiapkan pesanan-pesanan kopi ketika tiba-tiba Arnold sudah berdiri dan tersenyum lebar di depan meja bar. Sisca rasanya ingin melempar cangkir yang dia pegang tepat mengenai jidat laki-laki itu saking gemasnya."Jangan terlalu keras berkerja, istirahatlah dan aku transfer berapa butuhmu!" godanya yang benar-benar membuat Sisca melemparkan sesuatu ke wajah itu, ya meskipun bukan cangkir, tapi serbet itu sukses mendarat tepat di wajah Arnold."Astaga, kebiasaan banget sih, Sayang!" protes Arnold yang melemparkan balik serbet itu, tidak pada kekasihnya, melainkan ke meja yang ada di depan matanya."Biarin! Siapa suruh gangguin orang kerja." Sisca meletakkan cangkir itu, melepas appron yang dia kenakan lalu memberi kode pegawainya untuk melanjutkan pekerjaan Sisca. "Kenapa lagi?"Arnold tersenyum lebar ketika melihat Sisca akhirnya keluar dan menghampirinya. Memang itu yang dia harapkan, bukan?"Udah makan? Makan keluar yuk!"
"Aku sudah bilang mami."Sisca yang sudah membuka mulut itu kontan menarik kembali sendoknya, menatap Arnold dengan tatapan terkejut. Dia sudah bilang mamanya? Soal apa? Soal Sisca yang ternyata merupakan anak dari mantan kekasih sang mama?Sisca meletakkan sendok miliknya, menatap Arnold yang masih belum menyentuh makanannya sama sekali. Duduk di kursinya sambil tersenyum menatap Sisca dengan sorot mata yang begitu lembut. Sisca menghela nafas panjang, kenapa rasanya dia takut membahas hal ini?"Apa tanggapan beliau?" Sisca begitu takut mendengar jawaban dari pertanyaan ini, namun dia begitu ingin tahu."Mami pengen ketemu kamu dulu." jawab Arnold yang kembali membuat mata Sisca terbelalak kaget."Ketemu aku?"Arnold tertawa, membuat Sisca sontak mencebik kesal. Tidak tahukah dia bagaimana Sisca begitu risau dan takut setengah mati?"Tentu, bukankah akhir bulan ini kamu juga akan bertemu dengan beliau? Mungkin
Linda menatap jalanan yang padat itu dari tempat dia duduk. Dia sudah berada di mobil, dalam perjalanan menuju Solo. Hendak menemui sosok itu. Siapa lagi kalau bukan gadis yang membuat anak sulungnya tergila-gila setengah mati? Gadis yang rupanya merupakan anak dari laki-laki yang pernah dia cintai dulu sekali.Ah ... benarkah dulu? Benarkah sekarang dia sama sekali tidak memiliki perasaan itu lagi? Linda menghela nafas panjang, menatap cincin yang melingkar di jari manisnya. Cincin yang sudah melingkar di sana puluhan tahun. Linda memutar cincin itu. Ada rasa pedih menjalar di hati Linda, rasa yang membuat matanya memerah seketika.Burhan Santoso, dia laki-laki sederhana. Sederhana tapi penuh kharisma. Dia cerdas, namun tidak banyak bicara. Dia tidak pernah menonjolkan dirinya, tapi kemampuan otak dan kemampuannya berbicara di depan umum yang selalu berhasil membuat Burhan lebih menonjol dari mahasiswa lain."Kak, aku dari LPM nih. Boleh
"Nggak sama Rizal?" tanya Sisca setelah mencatat pesanan tambahan pesanan yang Brian inginkan. Ditatapnya laki-laki itu dengan seksama.Brian tersenyum getir, ia malah duduk di kursi yang ada di depan bar. Mengabaikan sejenak teman laki-laki yang dia bawa ke mari."Cari selingan, Sis. Kalau dia bisa main dobel, kenapa aku nggak bisa?" jawab Brian sambil terkekeh.Sisca menyerahkan lembar berisi pesanan itu pada pegawainya, memberi kode agar pesanan itu segera di proses. Dia menyimak sosok yang wajahnya berubah masam itu. Dia tadi bilang apa? Cari selingan? Selingkuh maksudnya?"Kalian masih jalan, kan?" Sisca benar-benar penasaran, meskipun jujur dia masih syok dan sedikit ngeri mengingat bagaimana mereka berdua bercumbu di ruang praktek Rizal dulu.Brian tersenyum dan mengangguk pelan, menghela nafas panjang dan nampak memalingkan wajah. "Kita masih jalan, Sis. Tapi tahu sendiri, kan, dia dituntut normal oleh orang tu
Sisca melambaikan tangan pada sosok yang hendak melangkah keluar dari caffee-nya. Setelah sekian lama mereka duduk dan berbincang, kini mereka memutuskan untuk pergi dari caffee milik Sisca ini.Sisca menghela nafas panjang, sejak tadi ia mengawasi pasangan itu. Setelah dari mengobrol banyak dari hati ke hati dengan Brian, ia memutuskan kembali ke meja dengan membawa beberapa pesanan tambahan yang Brian pesan untuk dirinya sendiri dan Wilson, selingkuhan sesama jenisnya yang di mata Sisca begitu luar biasa ganteng mempesona. Kalau saja dia tidak mempunyai kelainan orientasi, mungkin Sisca akan jatuh hati padanya dan perlahan-lahan melepaskan diri dari Arnold."Ah ... apaan sih? Gila aja suka sama begituan!" Sisca menepis hal itu sambil tersenyum geli. Dasar wanita, sama seperti pria, terkadang mereka tidak bisa melihat cowok ganteng nganggur barang sedetikpun."Temennya Bu Sisca ganteng-ganteng, ya?"Sisca menoleh, Arum sudah berdiri di sebelahnya sambil
"Gimana sih? Kemarin di usir suruh kelarin TA, sekarang nggak boleh pergi, terus gue harus gimana?" Dirly tidak mengerti ada apa dengan orang satu ini?Arnold mendesah perlahan, kalau Dirly sudah tidak di sini, dia harus selalu stay kantor dong. Mana bisa dia ngelayap pergi ke sana kemari? Tapi apa boleh buat? Gelar dan ijazah itu penting untuk Dirly, bukan?"Iya deh, balik aja sono. Kelarin kuliah. Ntar balik tapi kalau gue kawin."Tawa Dirly pecah, membuat Arnold melemparkan pulpen yang dia pegang sedari tadi. Sebuah lemparan yang meleset dan makin membuat tawa Dirly makin keras."Nah kan, makin kurang ajar kan elu sama gue? Mau surat magang elu gue sabotase nih?" ancam Arnold kesal, ia tahu Dirly menertawakan sekaligus mengejek dirinya."Slow Man! Slow!" Dirly mulai mengendalikan diri, menghirup udara sebanyak-banyaknya lalu menatap serius sosok itu."Lu saban hari udah kawin, Man! Dan elu terindikasi tiap hari kawin mulu. Jad
Sisca mematikan mesin mobil, melangkah turun dan merogoh kunci rumahnya. Ia cukup lelah hari ini, rasanya ia ingin segera tidur begitu sampai di rumah. Namun agaknya itu hanyalah sebuah ekspektasi semata karena si bos besar sudah memberi kode tugas wajib yang harus dia lakukan nanti malam."Astaga, badan rasanya nggak karuan!" SIsca menjatuhkan tubuhnya di sofa, meluruskan kaki sambil mengibas-ngibaskan tangan.Baru beberapa detik Sisca bersantai, ia sudah dikejutkan dengan dering telepon yang sontak membuat Sisca mendengus kesal. Ia lantas merogoh tasnya, meraih ponsel yeng meraung-raung sejak beberapa detik yang lalu.Sisca membelalakkan mata dan mendengus kesal, ternyata Arnold! Sisca meletakkan ponsel itu dipangkuan. Mau apa lagi orang satu ini? Sisca mengusap wajahnya dengan kedua tangan, lantas kembali meraih ponselnya, mengangkat panggilan itu dan menyimak apa yang hendak Arnold katakan."Halo," jawab Sisca dengan malas, ia menyandarkan kepala di b
"Astaga!"Sungguh rasanya Sisca ingin melemparkan sesuatu ke arah sosok itu. Tampak dia duduk santai di kursi sofa tanpa memakai baju apapun! Sungguh orang ini benar-benar sudah tidak waras! Dan sialnya, Sisca jatuh cinta setengah mati pada pria tidak waras yang ada di hadapannya."Kamu ngapain?" Sisca melangkah masuk, menutup dan mengunci pintu sebelum ada yang tahu bahwa Arnold dengan begitu santai duduk di ruang tamu rumahnya tanpa sehelai benang pun."Nungguin makan malam." jawabnya sambil nyengir lebar.Sisca tertegun, selain gila, Arnold benar-benar menggoda luar biasa. Lihatlah perpaduan tubuh berotot dan kulit bersih itu, sebuah hal yang selalu sukses membuat darah Sisca berdesir hebat dan kehilangan kewarasannya seketika.Arnold menghela nafas panjang, ia bergegas bangkit, mendorong tubuh itu dan menghimpitnya ke tembok. Wajah mereka begitu dekat, ujung hidung mereka bersentuhan, bahkan Sisca bisa merasakan hembusan nafas itu menyapa wajah