DIta sudah duduk di depan tivi bersama dua adiknya. Mereka semua sudah mandi dan berganti pakaian, menantikan hal apa yang hendak di sampaikan Lastri, ibu mereka. Dita menghela nafas panjang. Ia menatap Yoga yang tengah asyik dengan jangkrik yang ada di dalam toples plastik miliknya. Sementara Dipta, gadis kecil itu terlihat tengah mengukir batang sabun dengan cutter.
Kenapa hanya Dita yang merasa risau menantikan ibunya buka suara? Kenapa kedua adiknya itu nampak begitu tenang dan santai seperti itu? Apa karena Dita yang melihat semua itu tadi? Mendengar apa yang tadi diperbincangkan oleh orang-orang di pemakaman? Entah lah, yang jelas semenjak kejadian pagi tadi, rasanya hidup Dita menjadi penuh bayang-bayang menjijikan dan perasaan bersalah.
'Bapak, apa bapak di sana lihat ibu melakukan itu bersama laki-laki tadi? Apa bapak lihat semuanya tadi?' Dita merasakan matanya memanas, tapi dia tidak mungkin menangis di depan adik-adiknya seperti ini, bukan?
"Bapak
Penolakan yang Dita dan dua adiknya layangkan rupanya sama sekali tidak membuat Lastri terketuk pintu hati dan membatalkan keinginannya itu. Ia tetap menikah dengan Agus, lelaki yang tak lain dan tak bukan adalah lelaki yang dilihat Dita bersetubuh dengan ibunya tempo lalu.Per hari ini, lelaki itu resmi menjadi bagian keluarganya. Mirisnya, Lastri seperti menulikan telinga dengan segala macam gunjingan sekitar perihal pernikahan yang dia lakukan bahkan di saat kematian sang suami belum ada seribu hari!Lelaki itu memiliki seorang anak laki-laki dari pernikahannya terdahulu. Anak lelaki berusia tujuh belas tahun yang kini ikut tinggal di rumah peninggalan almarhum ayah Dita."Mbak!"Dita tersentak, menoleh dan mendapati Dipta sudah berdiri di depan pintu kamarnya. Dita menyeka air mata yang keluar, tersenyum dan mengangguk perlahan, memberi kode Dipta agar masuk ke dalam kamarnya.Dipta menutup pintu kamar sang kakak,
“Mau berangkat sekolah, Mbak Ta?”Dita yang hendak bangkit dari kursi teras sontak menoleh, lelaki dengan kaos berwarna cokelat itu tersenyum ke arahnya. Nampak di tangannya ada jaket jeans lusuh yang entah sudah berapa tahun tidak dicuci.“Ah i-iya, Pak.” Dita kini benar-benar bangkit, hendak meraih kunci motornya ketika lelaki itu lebih dulu meraih kunci motor milik Dita, motor kesayangan yang dulu almarhum ayahnya berikan untuk Dita.“Biar Bapak yang antar!”Dita sontak membulatkan matanya, apa lelaki itu bilang? Dia mau mengantar Dita sekolah? Ah ... untuk apa? Lebih baik Dita berangkat seorang diri, bukan? Lagipula sekolah Dita tidak terlalu jauh dan sudah jadi kebiasaan Dita selalu berangkat sendiri dengan membawa motor.“Nggak usah repot-repot, Pak. Biasanya juga berangkat sendiri, kok!” tolak Dita halus, bagaimana pun dia harus bersikap sopan meskipun di dalam hati Dita sama sekali tidak menyu
"Ini rumahnya? Serius?" Dirly bergidik ngeri ketika mobil yang Arnold bawa sampai di depan sebuah rumah dengan arsitektur Jawa kuno. Rumah itu begitu terkesan muram, menyeramkan dan terlihat menyedihkan. "Serius lah! Alamatnya ini, Ly. Kenapa? Lu takut?" Arnold sudah tidak memikirkan apapun lagi, yang dia pikirkan sekarang adalah Sisca-nya! Arnold segera turun selepas memarkirkan mobilnya, melangkah turun dari mobil. Pintunya tertutup rapat, jendelanya juga. Tapi itu tidak lantas membuat Arnold mundur. Dia harus temukan Sisca. Atau jika Sisca tidak berada di sini, dia bisa dapatkan petunjuk yang akan membawa Arnold menemukan Sisca. "Ko! Tunggu!" Arnold hampir meraih knop pintu ketika Dirly menarik bahunya dengan sedikit kasar. "Apaan sih, Ly? Lu mau bantuin gue nggak?" Arnold melirihkan suaranya, menatap Dirly dengan seksama. "Bukan begitu! Dengan kondisi kayak gini lu mau masuk begitu aja? Kalo tiba-tiba di dal--
"Hentikan!" Arnold berteriak keras-keras ketika melihat tangan itu mencoba melukai Sisca. Dirly dengan gesit menarik dua tangan itu dan menguncinya di belakang. Sementara Arnold segera menghampiri Sisca yang nampak lemas. "Sayang, kamu nggak apa-apa? Heh, kamu baik-baik saja, kan?" Arnold panik, sangat panik. Ia menepuk-nepuk pipi Sisca berharap agar Sisca tidak kehilangan kesadaran. "LEPAS!" Dita berteriak, mencoba berontak melepaskan diri. Namun, Dirly bukan tandingan Dita, dia tetap dengan kuat mengunci tangan itu tidak peduli Dita memberontak. "Di-dia ...." Sisca berusaha bersuara, namun Arnold malah menenggelamkan wajahnya di dada, membuat suara Sisca kembali tercekat di tenggorokan. "Sudah ... jangan khawatir, kamu baik-baik saja, Sayang!" berkali-kali Arnold menjatuhkan kecupan di puncak kepala Sisca, matanya memanas. Ia benar-benar lega dan bersyukur dia datang di waktu yang tepat. "Ehem ... bisa kah age
"Sebenarnya ada apa sih? Please, Sis ... Aku nggak paham!" Semua urusan sudah selesai, mereka beranjak pulang dari kantor polisi setelah banyak memberi keterangan dan kesaksian.Sisca masih begitu syok, wajahnya masih pucat. Pemandangan mengerikan itu masih terekam jelas didalam ingatan. Dia tidak bisa membayangkan kalau tadi Arnold dan Dirly tidak datang, mungkin dia juga akan menjadi salah satu korban yang dibawa dengan kantong kuning itu ke kamar mayat.Dita ... Kenapa Sisca sendiri tidak sadar bahwa sahabatnya itu punya cerita hidup sekelam itu? Penderita yang lantas membuat akal sehatnya lenyap entah kemana."Ya intinya bukan mau dia jadi kayak gitu, Ko. Jiwanya tertekan." Jelas Sisca yang tidak tahu harus mulai dari mana untuk menjelaskan."Apapun itu tindakan yang dia lakukan itu cukup membahayakan. Dia hampir membunuhku!" Desis Arnold perlahan.Sisca lantas menoleh, mengerutkan dahi mendengar kalimat yang meluncur da
Arnold mengangguk pelan sambil menyimak cerita Sisca, jadi seperti itu? Dia bisa jadi segila itu karena perlakuan ayah tiri dan saudara tirinya? Brengsek memang! Dan hendak mencelakakan Sisca hanya karena Arnold yang akan menikahi Sisca? Astaga, kenapa ada-ada saja kelakuan manusia zaman sekarang? Ah ... Arnold lupa, kemungkinan selain depresi, Dita juga menderita gangguan mental yang lain. Mengingat perlakuan yang dia terima cukup mengerikan dan sudah berlangsung cukup lama."Jadi begitu, aku belum selesai baca buku itu, Ar. Keburu dia datang masuk lagi ke dalam gudang." Sisca menyeka air matanya, nampak ia masih sesegukan."Tapi aku nggak habis pikir, Sis." Arnold meneguk soda pesananya. "Kamu bisa melepaskan diri dari ikatan itu, bukannya lari keluar atau kabur, kamu malah santai baca buku harian Si Dita itu?"Tentu itu hal paling bodoh menurut Arnold. Kenapa dia malah melakukan itu padahal Sisca tahu sendiri nyawanya terancam! Benar-benar tidak m
"Telpon siapa?" Tanya Gunawan yang tiba-tiba muncul dari luar, nampak wajah itu begitu lelah membuat senyum getir tersungging di wajah Linda."Arnold, memastikan bahwa dia jadi datang kemari." Jawab Linda apa adanya, tidak ada orang lain yang dia telepon kecuali anak sulungnya itu.Gunawan nampak berdiri di depan cermin besar yang ada di kamar mereka, memperhatikan pantulan wajahnya yang terbayang di sana."Jadi pulang beneran? Sama calonnya itu?" Kini Gunawan membalikkan badan, menatap sang istri yang bersandar begitu santai sambil meluruskan kaki di atas ranjang."Oh pasti! Bukankah tujuan dia pulang untuk itu?" Linda balas menatap sang suami dengan serius, memastikan bahwa sang suami melihat sorot matanya yang tidak main-main.Gunawan tidak menjawab atau berkata apapun, dia melangkah dengan santai menuju kamar mandi. Membuat Linda menghela napas panjang sambil menggelengkan kepala.Bagaimana kalau kerasnya ha
Arnold tersenyum ketika mendapati Sisca sudah duduk menantinya di sofa ruangan kerja pribadi Arnold. Selain lega melihat Sisca baik-baik saja, ia juga makin semangat kalau Sisca ada di sini. Ya kalau dia mau di tahan di sini untuk menemani Arnold kerja hari ini.Sisca tersenyum, bangkit lalu memeluk Arnold erat-erat, sebuah tindakan yang entah mengapa membuat Arnold begitu bahagia luar biasa. Ia balas memeluk, mendekap erat wanita kesayangannya itu lantas menjatuhkan kecupan di puncak kepala."Pagi-pagi kabur duluan, ujungnya juga nyamperin, kan?" Gumamnya sambil mendekap erat-erat wanita tercintanya itu."Need your help, Darl!" Bisik Sisca sambil menengadahkan kepala menatap Arnold."Astaga!" Arnold melepaskan pelukan, menutup matanya dengan tangan. "Jadi kamu kesini cuma karena memerlukan bantuan dariku?"Sisca sontak nyengir lebar, melepaskan tangannya dari tubuh Arnold. Arnold kini berkacak pinggang, menatap gemas ke arah Sisc