“KAU GILA!”
Sisca sontak berteriak, membuat Arnold refleks membungkam mulut Sisca sebelum beberapa pegawai dan pelanggan coffe shop itu beralih memperhatikan mereka berdua.
“Jangan teriak-teriak dong, ah!” Arnold sontak melepaskan bekapan tangannya, Sisca menatap nanar lelaki itu, tampak sangat terlihat wajahnya begitu syok.
“Apa maksud semua itu, Ar?” suara Sisca sama sekali tidak bisa kalem, ia benar-benar tidak percaya dengan apa yang barusan dia lihat itu.
Arnold menyimpan kembali ponselnya ke dalam saku. Melambaikan tangan ke arah waitres dan menantikan sosok itu mendekati meja mereka.
“Tolong satu hot arabica sama choco croissant satu.”
“Baik, ditunggu sebentar Bapak.” Gadis itu lantas menoleh ke arah Sisca, “Ibu mau pesan apa?”
Sisca memijit pelipisnya perlahan, ia menghela nafas panjang, kemudian menjawab pertanyaan itu dengan singkat, “Baileys iced
Sisca akhirnya menyerah. Demi apa, sejak kapan dia menjadi begitu matrealistis? Ia membiarkan Arnold melakukan apa yang dia mau setelah jenis dan tipe mobil telah mereka sepakati berdua di meja makan tadi.Ah ... jujur ada perasaan bahagia yang menyeruak di dalam hati Sisca, hanya karena begitu meninginkan dirinya, Arnold sampai rela merogoh kocek dalam-dalam hanya demi membelikan Sisca mobil? Sisca tersenyum, mulai menikmati sentuhan-sentuhan yang dilancarkan Arnold kepadanya. Gelayar-gelayar nikmat itu mulai membelenggu Sisca, membuat lengguhan-lengguhan erotis dan seksi itu akhirnya meluncur juga dari bibir Sisca.“Suka juga, kan?” ejek Arnold sambil tersenyum mengejek.“Ah ... yang jelas besok mobilnya tetep jadi!” tukas Sisca tegas.Arnold mencebik, ia lantas kembali melakukan serangan demi serangan itu. Malam ini juga akan Arnold teguk habis madu dari tubuh ini. Dia sudah keluar uang ratusan juta untuk membuat Sisca menyerahk
“Bagus yang hitam, Sayang.”Sisca mencebik, dengan tegas ia menggelengkan kepalanya dan melipat tangan di dada. Memang Arnold yang membeli mobil itu, tapi apakah dia lupa bahwa mobil itu dia beli untuk Sisca? Sebagai uang suap agar Sisca meladeni ajakannya bermandi peluh semalam?“No! Aku mau yang putih!” ujar Sisca tegas.Dia suka mobil warna putih, jadi terserah Arnold mau bilang apa, dia tetap mau yang warna putih. Terlebih sejak pertama kali launching, Honda Civic Turbo warna putih itu sudah menggodanya dengan luar biasa.Arnold membulatkan matanya, menghirup udara banyak-banyak lantas menoleh menatap wanita cantik dengan rok mini berwarna hitam itu.“Okelah, saya ambil yang putih, Mbak. Isteri saya maunya yang putih soalnya.” Desis Arnold yang mampu membuat Sisca hampir melonjak.Apa tadi Arnold bilang? Isteri?“Baik kalau begitu, Bapak. Untuk DP-nya bis-.”“Saya cash s
Arnold membawa mobilnya meninggalkan halaman parkir kantor, ia harus mengejar mobil itu. Tidak hanya untuk mengambil kembali ponselnya, tetapi juga bicara banyak hal dengan Sisca. Sekali lagi ia bersyukur ada Dirly yang tengah magang, kalau tidak mana mungkin dia bisa keluyuran macam ini di di jam kantor? Bisa habis dilibas sang papa kalau tahu begini kelakuan Arnold di sini.“Kenapa sih dari dulu ngadepin wanita itu lebih sulit dari ngadepin dosen paling killer sekalipun? Heran gue!” Arnold tersenyum kecut, terlebih menghadapi Sisca, Arnold sendiri terkadang sampai heran!Arnold terus membawa mobilnya menyusuri jalanan, pikirannya tengah bergelud mencari solusi, bagaimana caranya merayu sosok itu agar tidak lagi ngambek. Segala macam perhiasan, sepatu dan tas Sisca tolak semalam, hanya mobil yang kemudian dia mau terima dan menuruti apa yang Arnold mau semalam, masa iya dia harus memberikan mobil lagi?Arnold buru-buru membelokkan mobilnya ke halama
Ponsel seharga puluhan juta itu terhempas dan hancur berderai di lantai unit apartemen di kawasan elite yang berada di tengah kota Manhattan. Tampak terlihat si pemilik begitu frustasi dengan wajah memerah dan mata berurai air bening."You are son of bitch, Jordan!"Tampak wanita itu memaki, sungguh rasanya ia ingin meremukkan tulang-belulang laki-laki itu! Nafasnya memburu, tangan gadis itu mengepal kuat, ia benar-benar marah luar biasa dibuat laki-laki yang dia sebut bajingan tadi.Ia masih menikmati emosi yang menggerogoti hatinya ketika ketukan pintu itu tiba-tiba mengejutkan dan membuatnya terlonjak kaget."Oh damn!" ia mengacak rambutnya dengan kesal, dia sudah terjebak!Dihelanya nafas panjang, lantas dengan santai melangkah menuju pintu. Dengan sekali tekan, ia menarik knop pintu. Nampak laki-laki berkulit hitam itu sudah berdiri di depan unit apartemennya. Merangsak masuk dan menghimpit tubuhnya di tembok."A
Arnold tersentak ketika pintu ruangan kerjanya terhempas, mulutnya sontak manyun ketika mendapatkan Dirly berdiri di sana."Lu tuh ya, nggak ada sopannya sama sekali sama gue!" gerutu Arnold yang masih fokus menatap layar MacBook di hadapannya."Gue nggak habis pikir, Ko. Lu tuh bener-bener, ya?" Dirly melangkah, duduk di depan laki-laki yang sontak mengangkat wajah dan menatap dirinya dengan seksama."Gue? Gue kenapa lagi?" tanya Arnold heran, dia 'menidurkan' sejenak MacBook-nya, serius dengan Dirly yang wajahnya ditekuk itu.Dirly menghela nafas panjang, ia tampak begitu gusar membuat alis Arnold berkerut. Sebenarnya ada apa? Apa yang membuat Dirly jadi macam itu?"Secara tidak langsung lu udah membahayakan Sisca, Ko!"Mendengar nama Sisca disebut, Arnold makin serius menyimak. Semua hal yang berhubungan dengan Sisca, tentu akan menjadi urusannya juga!"Membahayakan yang bagaimana sih? Gue nggak paham.
"Nih."Arnold menoleh, tampak amplop berwarna emas itu disodorkan Sisca yang baru saja pulang dari coffe shop mereka. Undangan? Siapa yang menikah?"Undangan siapa?" ia meraih benda itu, alisnya berkerut, sementara Sisca duduk di sisinya di meja makan, meraih cangkir berisi kopi milik Arnold dan menyesapnya."Ini kan ...." Arnold tertegun membaca nama yang tertulis di sampul undangan itu, jangan bilang kalau Rizal yang tertulis di sampul undangan itu adalah ...."Tadi dia mampir ke cafe, nganterin itu dan minta supaya aku dateng ke acaranya." jelas Sisca sambil meletakkan cangkir yang isinya tinggal ampas kopi di dasar cangkir itu.Arnold tersenyum, meletakkan undangan itu di meja dan menatap Sisca dengan seksama. Secepat itu sudah dapat mangsa lagi? Ah ... agaknya dokter hewan itu tidak bisa diremehkan begitu saja."Gadis mana yang hendak dia jadikan tumbal ini?" tanya Arnold dengan nada mengejek."Pilihan orang tuanya, udah nggak sa
"Pulang, Ar!"Arnold sontak memijit pelipisnya ketika ia mengangkat panggilan itu. Sudah dia duga! Pasti itu yang dikatakan sang papa.Scarletta sudah memberinya kabar bahwa dia dalam perjalanan pulang ke Indonesia hari ini. Dan sudah Arnold tebak, pasti papanya itu akan rewel meminta dia balik ke Jakarta."Aduh Pi, kerjaan lagi banyak banget nih. Ntar ah kalau dia sudah sampai Indo, baru Arnold balik." Arnold mencoba berkelit, malas sekali kalau harus balik sekarang."Dirly kan ada, kalau perlu nanti papi kirim orang buat gantiin kamu di sana, ribet amat sih jadi orang?"'Sial!'Arnold mengumpat dalam hati, agaknya dia lupa siapa lawan bicaranya ini. Dia adalah cikal-bakal perusahaan yang dia pegang sekarang ini bisa berdiri. Dan Arnold hendak membatah bos besar? Gila. bisa melesat parang ke lehernya."Oke-oke, Arnold balik." desis Arnold yang sudah tidak lagi bisa berkutik melawan sang big boss."Nah, gitu apa susahnya?"
Arnold baru saja keluar dari pintu utama bandara ketika ponselnya berdering, ponsel yang sudah sejak ia keluar pesawat dia hidupkan itu sontak berdering begitu nyaring, membuat Arnold lantas merogoh benda itu dari dalam sakunya.Tampak nama itu terpampang di layar membuat Arnold begitu bersemangat untuk segera mengangkat panggilan itu."Ya, gimana?" Arnold menepi, menjauhkan diri dari lalu-lalang beberapa orang yang berseliweran di sekitarnya, semoga ini kabar baik."Boom, Ar! Di sini sudah mulai panas, sudah masuk Indo?" jelas suara dari seberang yang mampu membuat wajah Arnold berbinar makin cerah."Serius lu?" tanya Arnold yang berharap ini bukan prank atau sejenisnya."Tunggu deh, ntar gue kirim tuh screenshoot, biar elu percaya."Tawa Arnold pecah, kemenangannya di depan mata!"Kirimin gue link-nya, gue butuh tuh." titah Arnold sambil celingak-celinguk mencari orang suruhan sang papa."Siap, Bos. Gue tutup deh, ntar kalau