Aku sedang duduk di pantry utama bersama para sahabat kentel. Ada Heri, Ido, Shelomita, Anastasya dan Gita. Kelimanya menatapku dengan tatapan tak percaya saat aku menceritakan kronologis bagaimana aku bisa diskorsing. Kupikir setelah menceritakan apa yang terjadi antara aku, Sandra dan Deswita. Kelima sahabatku akan memarahiku tetapi yang terjadi di luar dugaan."Bwahahaha.""Hahaha.""Wkwkwk.""Jiahahaha.""Hihihi."Kelima sahabatku tertawa ngakak membuat ruang pantry seketika bergemuruh."Ya ampun, hahaha. Duh! Sayang aku gak ada di sana, kalau aku di sana aku bakalan bantuin kamu, hahaha.""Telat Gita.""Iya, padahal pengen banget aku jambakin rambutnya Sandra.""Kalau aku pengen jambak rambutnya si Deswita," imbuh Shelomita.Kelima sahabatku masih tertawa. Aku sendiri memilih mengambil salah satu dus nasi kotak dan membukanya. "Tadi ada Pak CEO katanya?""Iya. Tahu gak guys. Aku perkirakan usia beliau enam puluh tahunan tapi masih ganteng." Gita menjawab antusias lalu ikut-ikuta
"Bapake, Ibune, Sania. Assalamu'alaikum." Aku berteriak lantang di depan rumah.Ketiga orang terkasihku langsung keluar. Kami berpelukan sambil jingkrak-jingkrak. Aru yang sudah mematikan dan memarkir motornya pun mendekati kami berempat serta ikut dalam acara pelukan massal."Sida mbalik?" (Jadi pulang?)"Jadi Pak. Eman-eman, seminggu loh."Kami masih berpelukan massal hingga sebuah mobil terlihat masuk ke gerbang rumah paling besar di kawasan RT 5 RW 3 dan rumah besar itu terletak di depan rumahku terhalang satu rumah ke barat. Jadi rumah Dokter Abizar dan rumahku berseberangan tetapi tidak persis berhadapan.Aku menghentikan aksi pelukan massal dan menuju ke gerbang rumahku yang dipagari tanaman tetean (tanaman pagar kalau bahasa Indonesianya).Senyum manis kuulas pada sosok yang baru keluar dari mobil. Aku bahkan sengaja melambaikan tangan yang dibalas oleh Pak Andro dengan tatapan tajam."Siapa?" Bapak menghampiriku dan menatap ke halaman rumah Dokter Abi."Bosku, Pak. Ternyata
Sesuai janji kami, akhirnya aku dan BIP menghabiskan waktu bersama di rumah dinas yang ditempati BIP. Sebenarnya, BIP berniat tidur di rumahku tapi BIP kan bidan desa jadi sebentar-sebentar ada ibu-ibu hamil yang bertandang untuk periksa atau ibu-ibu mau suntik KB. Jadilah, aku yang mengungsikan diri ke rumah dinasnya."Wah, jadi kamu capek ya BIP." Akhirnya kami bisa besantai setelah pukul sepuluh malam."Ho'oh tapi kan aku senang dengan pekerjaanku jadi ya begitu deh."Kami terus bercerita sambil menonton TV dan memakan camilan."Kerjaanmu gimana?""Alhamdulillah, aku lagi diskorsing gara-gara tindakan anarkis sama OG lain.""Hahaha. Coba dulu kamu gituin juga si Mona, seneng aku.""Males. Kasihan tanganku harus terkotori sama uler keket licik macem dia.""Iya, sih. Bapak bilang dia udah hamil tapi bukan anak si Ari. Ari kan habis nikahi Mona langsung kabur ke Sumatera."Aku hanya tersenyum sinis. Ck, dasar cowok plin plan. Dulunya mudah terbawa emosi gara-gara gosip murahan. Merasa
"Ndak usah bantuin bapak, ya ora papa, Nduk.""Kania bosen. Lagian ya Pak, masa Kania tega lihat Bapak lagi capek, Kania ongkang-ongkang kaki atau rebahan.""Ya wis. Tapi kalau capek istirahat loh.""Nggih, Bapak."Aku sedang membantu Bapak menjemur padi di depan rumah. Pakaian yang kugunakan tentu saja kaos panjang, celana panjang, kerudung, penutup mulut alias masker dan juga caping alias penutup kepala dari anyaman bambu.Sesekali, aku dan Bapak mengorek-orek padi dengan suatu alat yang terbuat dari kayu yang menyerupai garpu. Selain itu terkadang aku dan bapak mengambil batang padi yang terbawa atau menaruh padi yang bercampur batang atau daun padi dalam tampah dan mulai memutarnya untuk membersikan padi dari kotoran. Istilahnya 'napeni'. Dua hari ini aku gak ketemu sama BIP atau pun tetangga BIP dan sahabatnya itu. BIP lagi sibuk dan sepertinya dua pria cool bin nyebelin juga lagi sibuk. Seperti diriku yang sibuk menjemur padi. "Kania." Sebuah suara memanggilku saat aku sedang
Aku sedang membantu ibuku berjualan di toko kelontongnya. Alhamdulilah, meski masih kecil tapi sudah lumayan isinya dan pelanggan ibu juga sudah lumayan banyak. Aku bersyukur setelah beberapa tahun lalu keluarga kami didera cobaan berat, akhirnya kini kehidupan kami sekeluarga mulai tertata. Meski jauh dari kata berlebih tapi cukup."Ini, Bu. Kembaliannya.""Makasih Mbak Nia.""Sama-sama.""Permisi.""Monggo."Itu adalah pelanggan kesekian yang belanja di toko Ibu. Setelah pelanggan itu pergi, toko Ibu terlihat sepi pun toko-toko di sekitar toko kami. Maklumlah. Ibu kan jualan di pasar desa yang hanya buka dari jam enam pagi sampai mentok jam sepuluh. Meski pasar desa tapi pasar Suka Manja ini termasuk ramai. Soalnya, harga sayur mayur di pasar ini sangat murah. Rata-rata penjualnya adalah petani asli. Makanya kadang ada pembeli dari kota yang sengaja membeli dalam jumlah banyak untuk dijual lagi di pasar lain yang lebih besar."Nanti malam jadi pulang?""Jadi dong.""Naik travel lagi
Aku menatap penuh minat pada lelaki tampan yang kini duduk di depan Bapak. Sesekali dia tertawa bersama Bapak dan Ibu. Ada saja yang dia bicarakan bersama kedua orang tuaku. Kecuali satu, melamarku. Jiah! Itu sih karepku bukan karepnya.“Nak Andro asli Jakarta?”“Iya, Pak. Tapi kata Papah, buyutnya Papah itu keturunan Chinese dan Palembang. Kalau Mamah Asli Solo.”“Oooo.”“Sering ke Solo?”“Jarang, soalnya orang tua Mamah sudah meninggal semua. Beliau juga anak tunggal. Sementara keluarga Solo juga sudah banyak yang merantau di Jakarta dan Jawa Barat. Makanya jarang ke Jawa.”“Oooo.”Mereka terus saja mengobrol, sementara aku hanya diam, duduk di kursi paling pojok setelah mengantarkan soto yang dibeli Pak Andro ke rumah BIP dan Bu Risa. Sementara yang beliin masih asik ngobrol sama ngopi bersama Bapak.“Maafin Kania ya Nak kalau selama bekerja, anaknya sering nyusahin Nak Andro. Kania itu ya begitulah adanya. Tapi meski begitu, Bapak bangga sama dia. Anaknya gak pernah ngeluh, gak pe
Beberapa kali aku mencubit pipiku. Sakit. Ternyata aku masih berada di bumi manusia bukan di dunia perhaluan. Bahkan sesekali memegang dada kiriku guna memastikan jantungku masih berdebar dan aku masih hidup.“Kenapa?”“Yah.” Aku menoleh ke laki-laki di samping kananku.“Kamu kenapa? Sakit?”“Oh, enggak.”Lelaki di sampingku kembali diam dan fokus menyetir sementara aku, masih sibuk menormalkan debaran di dada.Sejak tadi pagi, lelaki di sampingku memang aneh. Dari mulai tiba-tiba kami berada di toko oleh-oleh yang sama, kedatangan Pak Gito, dia naik motorku untuk makan bareng, belanja batik bareng, mengantarku pulang, hingga ngobrol dengan Bapak Ibuku hingga berujung pada tawaran pulang bareng. Dan itu disetujui oleh Bapak dan Ibu. Ibu bahkan dengan antusias menyiapkan beberapa jajanan atau makanan kering seperti kerupuk mireng, karag, manggleng, oyek dan semua olahan dari singkong yang ada di rumah, dibawakan ibu dan ditaruh di jok tengah. Bagasi sendiri sudah penuh dengan jajanan
Teriakan dari Gita dan kawan-kawan menyambut kedatangaku kembali di pantry. Aku memeluk para wanita dan bersalaman dengan para pria.“Mudik bukannya tambah cantik kok malah jadi item gini? Gosong.”“Maklum, Ta. Aku habis bantu jemur padi. Nanti deh habis gajian aku beli skincare sama hand body yang bikin kulit langsung putih kinclong seketika.”“Hahaha. Bisa aja kamu. Eh, bawa jajanan gak?”“Pasti dong, Sya. Bentar ya, aku taruh di meja dulu.”“Yey.”“Hore.”“Asik.”Aku pun membagi jajanan yang kubawa dari rumah dengan sama rata dan adil. Bahkan beberapa karyawan lain yang kukenal pun ikutan minta. Salah satunya Mbak Mita, seorang staff di bagian keuangan.Selesai membagi-bagikan jajanan, aku dan Ido langsung meluncur ke lantai enam. Pertama kami membersihkan setiap ruangan jajaran petinggi MJS selanjutnya bagian luar menjadi tempat terakhir yang kami bersihkan. Aku mengelap kaca sementara Ido menyapu. Sambil bekerja kami terus bercerita.“Tahu gak, Kania.”“Apa?”“Sandra sama Andi ke