Hari ini, Reksa makan siang di kantin perusahaaan yang terletak di samping gedung kantor. Entahlah, ada suatu dorongan tertentu yang membawanya ke mari.
Tadinya, ia akan makan siang di luar. Namun, berhubung jam makan siang hampir habis, ia pun memutuskan pergi ke tempat yang lebih dekat saja.
Dan seperti dugaannya, menu di kantin juga lumayan enak. Ia memilih duduk sendiri di salah satu bangku kantin. Menikmati makan siangnya dengan santai. Hingga sebuah desisan terdengar.
"Pstt... Pstt..."
Reksa menghentikan kegiatan makannya, mencari dari mana asal bunyi yang sangat mengganggunya itu. Ternyata itu berasal dari belakang meja makannya.
Lyra pelakunya. Gadis itu ada di sini. Reksa menggerakkan dagunya seolah bertanya ada apa.
Gadis itu kemudian berjalan menunduk, memindahkan piring makannya ke meja Reksa, lalu duduk di hadapan laki-laki itu.
"Hai," sapa Lyra lantas duduk tanpa segan sedikit pun. Reksa tersenyum.
"Kamu makan di sini juga?" tanya Reksa.
"Iya, aku telat bangun tadi pagi. Jadi, nggak sempat masak sendiri."
Seketika Reksa mengingat ucapan Herdy, tentang Lyra yang gemar membawa masakannya ke kantor.
Reksa mengangguk lantas melanjutkan kegiatan makannya.
"Kamu tadi pagi nggak ngasih tau Pak Herdy 'kan?" tanya Lyra ingin tahu. Mata bulatnya berkilat.
"Soal?"
"Malam itu."
Reksa menggeleng. Dilihatnya Lyra bernapas lega. Walaupun itu hal yang tidak baik, mulutnya tidak sebocor itu.
"Thanks."
Lyra merasakan sesuatu yang aneh sedari tadi. Entah mengapa, ia merasa hampir semua mata di kantin memperhatikannya.
"Pstt." Lagi Lyra berdesis. Tubuhnya ia condongkan ke depan mendekati Reksa.
"Apa?" tanya Reksa lagi, urung menyuapkan nasi ke mulutnya. Dan ikut mencondongkan badannya.
"Kenapa aku merasa semua orang di sini melihatku, ya? Apa ada yang aneh dariku?" tanya dia heran.
Reksa menyadari itu, tetapi pura-pura tidak tahu. Matanya mengamati gadis di depannya. Memicing, lalu menggeleng.
"Mungkin karena kamu cantik," jawabnya. Itu bukan gombal.
"Jangan meledekku." Lyra memajukan bibirnya lucu.
"Seriously."
Reksa kembali ke posisi duduk semula.Lyra mengedikkan bahu, mencoba tak ambil pusing. Peduli amat. Ia lalu melanjutkan makannya.
"Siang, Pak GM, Bapak makan siang di sini juga ya?"
Lyra melirik ke asal suara itu. Tepat berada di sampingnya, seorang lelaki berpakaian rapi menyapa ke arahnya. Oh, bukan padanya. Lebih tepatnya pada orang yang tengah duduk di hadapannya.
Lyra menoleh. Dilihatnya Reksa yang tersenyum ke arah lelaki itu. "Iya, Pak. Mari makan." Reksa menyahut.
Uhuk!
Sontak itu membuat Lyra terbatuk.
Melihat itu, Reksa segera mengambil minumnya, menyerahkan pada wanita itu. Namun, Lyra menolaknya. Ia mengambil air minumnya sendiri.
Dengan susah payah Lyra mendorong makanannya yang tiba-tiba menyangkut di tenggorokan"Are you okay?" tanya Reksa.
Perubahan air muka Lyra sangat jelas terlihat. Wanita itu hanya menganggukkan kepala dengan muka yang agak sedikit memerah.
Aneh, mendadak Lyra tidak seceriwis tadi. Tentu saja. Perasaannya kini sudah tidak keruan adanya. Karena ternyata orang yang sedari tadi ia ajak bicara, adalah GM di perusahaan ini.
Ketololan apa yang ia buat? Bisa-bisanya ia bersikap seperti itu pada pimpinan perusahaan.
Ia menggerutu dalam hati. Bahkan malam itu, ia bercerita begitu banyak pada lelaki itu. Harusnya ia tahu, kalau lelaki itu adalah Maha Bos. Oh God!"Baik, Nona."
Lyra mendongak cepat. Mukanya yang tampak menegang, membuat Reksa geli.
"Saya sudah selesai makan, kamu segera habiskan makananmu, karena sebentar lagi bel masuk bunyi. Saya duluan, ya," kata Reksa kalem, pamit.
Yang diajak bicara hanya diam, menampakan muka tak enaknya. Reksa pun beranjak meninggalkan Lyra yang masih syok seorang diri.
Begitu Reksa hilang dari pandangan, ia menepuk jidatnya sendiri.
"Mampus gue," runtuknya kesal.
Pantas saja semua yang ada di sini melihatnya dengan tatapan aneh. Jelas itu karena keberadaan GM itu.
Dan Lyra? Dia malah sok akrab dengan lelaki itu. Harusnya ia bertanya dulu. Kenalan pun tidak ia lakukan.
Seandainya saja malam itu, ia bertanya nama lelaki itu. Mungkin saja ia tidak akan bertingkah sebodoh ini. Karena siapa yang tak tahu nama Reksa Abimana? Biar pun Lyra terbilang baru di perusahan ini, ia cukup tahu nama GM-nya itu. Walaupun belum pernah melihatnya juga.
***
Berulang kali dia memukul kepalanya sendiri. Sudah bodoh, ceroboh lagi. Terus saja dia mengumpati diri sendiri. Dan perbuatannya itu tanpa sadar mengundang tatapan orang-orang yang ada di kantin.
"Mbak, kamu baik-baik aja 'kan?" tegur seseorang yang kebetulan melewati mejanya.
"Eh? Saya baik-baik aja kok." Karena malu, Lyra buru-buru beranjak. Dia meninggalkan piringnya begitu saja, lalu berjalan cepat keluar kantin.
"Seharusnya tadi gue nggak makan sendirian di kantin. Mita pasti tahu wajah GM itu," gumam Lyra. Dia melipir ke taman di samping gedung. Nggak langsung kembali menuju kantor. Di sana, dia duduk di salah satu bangku panjang. Dia menikmati kopi dingin yang tadi sempat dia beli. Biasanya kalau habis istirahat siang, bawaannya mengantuk. Sementara kerjaannya sudah menumpuk.
Lyra menghela napas panjang. Sebenarnya Lyra lelah dengan rutinitas di sini. Meskipun dulu dia mengambil ilmu ekonomi, tapi ia sadar passionnya buka di situ. Terlebih sekarang dia menjadi seorang staf akuntansi. Ya, ampun, otaknya serasa diperas. Ia tidak yakin akan sanggup bertahan lama di sini.
"Kamu ngapain di sini?"
Lyra celingukan. Kesendiriannya diganggu seseorang. Dan itu cukup membuat dirinya terkejut saat tahu yang menegurnya itu Herdy. Lyra kontan berdiri, matanya otomatis melihat jam di pergelangan tangannya. Masih kurang sepuluh menitan lagi sebelum masuk kerja.
"Lagi ngopi, Pak. Bapak mau?" tanya dia mengangkat botol kopinya.
"Tidak, makasih. Lebih baik kamu masuk. Sebentar lagi jam kerja."
"Masih sepuluh menitan lagi, Pak. Kepala saya masih berasap, nih."
Herdy menatapnya tajam, membuat nyali wanita itu menciut.
"Kamu..., Ya sudahlah, terserah. Awas saja kalau telat masuk," ucap Herdy sebelum meninggalkan Lyra.
Lyra mengembuskan napas lega. Akhirnya, manajer paling menyebalkan di dunia pergi juga. Pikirannya lantas kembali mengingat GM itu. Dia berharap tidak akan bertemu kembali dengan lelaki itu bagaimana pun situasinya nanti.
Kemudian, dia berdiri, dan melangkah masuk ke dalam gedung. Teman- temannya pasti sudah masuk ke kantor dan berkutat lagi dengan setumpuk kerjaan. Sebelum menaiki lift, dia melihat Ayu, wanita yang selalu stand by di bagian depan.
Sumpah ya, seandainya Lyra boleh usul, dia ingin bertukar saja dengan resepsionis itu. Kerjaannya cuma menebar senyum, dan membantu orang-orang yang datang ke kantor untuk bertemu dengan para atasan. Kalau hanya seperti itu tanpa otak cerdas pun bisa. Daripada berkutat dengan angka-angka jutaan yang bukan miliknya. Apa lagi kalau kurang angka nol satu saja, akibatnya bisa fatal. Bodohnya, ia dulu menerima tawaran mutasi ke pusat. Coba dia tetap di Sunter, mungkin dia akan duduk manis di gudang, tanpa ada tekanan dari manajer kampret itu.
Di tempat duduknya, Lyra masih tidak tenang dengan kejadian makan siang tadi. Sesekali ia memijat keningnya sendiri. Baru sebulan di sini, tetapi suasana tak nyaman sering menyerang. Semakin menambah tingkat rasa ketidakbetahannya di kantor ini. Lyra menarik napas berat."Habis makan siang kok muka lo kusut gitu sih, Lyr?"Lyra mendongak, Mita rekan kerja di kubikel sebelah melongok. Lyra melirik wanita berponi itu. Mita lumayan lama kerja di sini. Dia pasti tahu perihal GM bertampang bule itu."Mit, lo tau tampang GM kita?" tanya Lyra."Sure. Siapa sih yang nggak tau si ganteng itu." Matanya Mita berbinar."What?" Bukan itu jawaban yang Lyra mau."Kenapa? Apa lo ketemu Pak Reksa?"Lyra tak menjawab, ia memutar-mutar bola mata."Sebaiknya lo nggak usah liat, ntar lo jatuh cinta."'Idih? Hellow? Gue udah liat, dan biasa aja tuh'. Lyra membatin. Yang ada dia malah tengs
Tubuh Lyra menggeliat di atas tempat tidur. Rasa-rasanya puas sekali ia tidur malam ini. Pelan ia memicingkan mata, mengangkat badan, lalu merenggangkan otot-otot yang terasa pegal."Lyra! Bangun!"Teriakan ciri khas Alfa, abangnya dari dapur terdengar.Lyra langsung menengok jam dinding. Tahu artinya apa jika abangnya sudah berteriak sekeras itu."Gawat."Buru-buru ia turun dari tempat tidur, menyambar handuk, dan masuk kamar mandi. Bisa dipastikan hari ini ia akan terlambat.Lima belas menit kemudian, Lyra sudah bersiap pergi bekerja. Namun sialnya, ia sudah ditinggal Alfa. Ia semakin telat.Lyra buru-buru keluar rumah, bersamaan dengan itu ponselnya berbunyi."Udah bangun belum sih?" Suara Alfa di sana bertanya."Kenapa lu ninggalin gue sih bang ?!" Lyra bergegas menuju jalan besar."Sorry, gue juga telat.""Nggak usah telpon! Bikin kesal aja!"Lyra mematikan po
Pukul setengah enam sore, Herdy keluar dari ruangannya. Kantor tampak lengang. Para karyawan sudah pulang lebih dulu. Ia melihat ke arah meja di mana Lyra berada. Wanita itu masih ada di sana. Ia melangkah mendekatinya. Lyra terlihat sibuk dengan keyboard dan layar komputernya."Apa belum selesai juga?" tanya Herdy. Wanita itu bergeming, tak peduli dengan kehadiran Herdy. Lelaki itu menghela napas."Apa kamu lembur?" tanya Herdy lagi.Lyra menatap sekilas. "Iya, Pak," jawabnya lalu kembali ke layar di hadapannya."Apa perlu bantuan?"Tangan Lyra berhenti mengetik sejenak. Ada apa? Tidak biasanya bos kampret itu menawarkan bantuan."Tidak perlu, Pak.""Kamu tak perlu lembur kalau capek.""Lalu keesokan paginya Bapak akan memarahi saya begitu?"Herdy menelan saliva. Sebegitu horornya ia di mata wanita itu? Tapi kinerja staf satu ini memang jauh dari kata puas menurutnya.
"Satu ciuman mungkin cukup."Lyra terbelalak. Kakinya menegang. Otaknya langsung merespons dengan memerintahkan reaksi pada beberapa bagian tubuhnya, termasuk jantungnya yang kini berdebar.Saraf pendengarannya terlalu sensitif, hingga bagian otaknya yang disebut talamus, sangat cepat menerima sinyal, lalu diteruskan ke amigdala yang mengeluarkan senyawa glutamat, yaitu zat kimia yang digunakan sel saraf untuk mengirim sinyal rasa takut ke sel lain. Refleks mukanya memucat. Lyra merasa terjebak. Sekali singa tetap saja singa."Bagaimana, Nona Lyra?" tanya Reksa mencondongkan badannya ke depan mendekati Lyra."Maaf itu... Anda gila ya, Pak?"Di luar dugaan, Lyra malah membalas pertanyaan bosnya dengan pertanyaan yang membuat Reksa memicingkan mata.Reksa menarik kembali tubuhnya. Menempelkan punggung kesandaran kursi. Senyum jahilnya terukir melihat Lyra yang terus saja menunduk. Dalam keadaan seperti itu pun, Lyra mas
Pertama, Lyra melumuri ikan gurame segar yang sudah dibersihkan dengan bumbu jadi yang tadi ia beli. Lalu, ia akan mendiamkannya beberapa saat agar bumbu itu meresap. Kemudian,ia memisahkan beberapa sayuran secukupnya dan bersiap untuk mencucinya.Melihat kesibukan Lyra di dapur, Reksa berinisiatif ingin membantunya."Apa yang bisa kubantu, Nona?" tanyanya melangkah ke dapur."Bapak bisa me–""Reksa, " potong Reksa cepat."Okeh Rek–" sangat aneh. "Saya tidak biasa, Pak.""Biasakan.""Ini Ba–eh, kamu cuci saja sayuran ini, lalu potong-potong."Lyra menggigit bibir bawahnya. Di pertemuan pertama padahal Lyra dengan mudahnya menyebut 'kamu-kamu' pada lelaki di sampingnya ini. Kenapa sekarang dirasa begitu sulit?"Oke.""Saya akan menanak nasinya dulu." Ia lantas meninggalkan Reksa untuk mencuci beras.*Beberapa menit kemudian.*"Selesai," seru Reksa membuat Lyra menoleh. Sedetik ke
Herdy keluar dari sebuah kafe yang letaknya tak jauh dari apartemen milik Reksa, diikuti seorang wanita di belakangnya."Itu mobil Reksa 'kan?" tanya wanita yang kini sedang berada di samping Herdy.Herdy kontan menoleh, mengikuti arah pandang wanita itu. Iya, itu betul mobil Reksa yang baru keluar dari tower apartemennya."Eh, sama cewek, siapa ya? Pacarnya? Wah, ada kemajuan si bos," celetuk wanita itu lagi. Mata Herdy kembali menajam ke arah mobil Reksa. Wanita yang ada di samping kemudi Reksa itu... Lyra. Refleks tangannya mengepal. Entah kenapa ia tidak suka melihatnya."Habis ngapain ya mereka di sana? Wah, Reksa sekali dapat cewek mainnya langsung ke apartemen." Wanita itu terus berkomentar dan tertawa.Mendengarnya membuat telinga Herdy memanas."Bisa diam nggak kamu, Syilla?!" bentak Herdy. Wanita yang dipanggil Syilla itu segera menghentikan tawanya."Cepat masuk mobil," perintah Herdy. yang lang
Lyra menatap sebuah tas bekal makanan yang kini sudah ia letakkan di atas meja. Menimang-nimang, apa yang sudah ia lakukan? Pagi tadi sebelum berangkat bekerja, ia menyibukkan diri membuat bekal makan siang juga sarapan pagi. Dan kali ini, ada mama yang membantu.Meskipun ia masih terus tidak habis pikir pada dirinya sendiri, tak ayal dirinya sangat menikmati mengingat wajah Reksa saat lelaki tampan itu dengan lahap memakan hasil masakannya.Hingga kini, dua kotak bekal makanan telah saling bertumpuk di meja kerjanya. Satu untuk dirinya, dan satu untuk GM berparas menawan itu.Bunyi interkom di meja kerja Lyra berdering, membangunkan lamunannya. Ia segera meraih gagang telepon."Ya, Pak," jawabnya."Ke ruangan saya sekarang." Herdy di sana memerintah."Baik."Ada apa lagi ini? Apa laporan tadi pagi yang ia serahkan salah? Laporannya kemarin yang mengerjakan GM-nya langsung, mana mungkin salah? Lyra mengetuk pintu r
Malam ini, gara-gara Alfa yang tidak bisa ikut makan malam, mood mama jadi kacau. Sepanjang jalan mengomel tak mau berhenti. Lyra sampai bingung karena mama juga selalu bilang ini acara penting. Mama mau bertemu sahabat lama mama katanya. Awalnya, Lyra pikir cuma makan malam bersama keluarganya saja, ternyata mama juga mengundang temannya.Mereka bertiga sudah berada di meja makan yang bisa menampung delapan orang. Meja itu sudah direservasi terlebih dahulu oleh orang bernama ... tadi mama bilang siapa? Ira kalau tak salah.Wajah mama kembali sumringah, saat tak berapa lama ada seseorang yang menyapanya. Lyra sendiri masih sibuk membuka buku menu bergambar makanan yang kelihatannya lezat-lezat, sambil berpikir bagaimana cara membuat masakan seperti itu? Huh, dasar tukang masak."Lyra bangun. Lihat! siapa yang datang. Tante Ira. Kamu masih ingat 'kan?" tanya mama meraih lengan Lyra. Gadis itu refleks berdiri menyambut kedatangan I