"Kamu serius minta putus?"
Yara tidak menangis saat mempertanyakan hal itu pada seorang lelaki yang beberapa menit sebelumnya masih berstatus pacarnya.
"Maaf, Ra. Aku udah nyoba buat bertahan sama hubungan ini. Tapi aku sadar kalo kamu bukan tipe idealku. Kamu ... terlalu manja," jawab Alvaro sambil memainkan gelas di tangannya.
"Kamu tau kan prinsipku, sekali kita putus, nggak akan ada lagi kesempatan buat kembali."
Yara sengaja menahan air matanya agar tidak luruh di depan laki-laki, prinsip hidupnya yang lain.
Lelaki di hadapannya mengangguk. "Aku butuh perempuan yang independen, Ra. Dengan statusku sebagai manager, aku nggak bisa ngadepin kamu yang terlalu manja. Aku butuh partner yang bisa ngimbangi aku."
Yara mendengkus kesal sambil memutar kedua bola matanya dengan malas. "Ok. It's over. Finito. Makasih untuk semuanya yang pernah kamu kasih--" Yara tampak berpikir beberapa detik. "Eh tapi kayaknya kamu nggak pernah ngasih apa-apa deh. Aku yang banyakan ngasih."
Terlihat Alvaro menelan ludah sambil berusaha mengontrol rona wajahnya yang mulai memerah.
"Enjoy your life, Alvaro Tarangga."
Yara keluar dari salah satu gerai fast food kesukaannya sambil menegakkan bahu dan mengangkat kepalanya. Ia tidak akan terlihat sebagai wanita gagal hanya karena sekali lagi hubungannya hancur.
Ini bukan pertama kalinya Yara mengalami patah hati. Jari tangannya bahkan tidak akan cukup untuk menghitung jumlah hubungannya yang kandas di tengah jalan.
Entah kenapa Yara melajukan mobilnya menuju sebuah coffee shop yang sudah akrab dengannya, coffee shop milik mamanya.
"Ngapain gue ke sini? Kayak setor nyawa ini mah," gumamnya saat akan mematikan mesin mobilnya. Walau Yara sempat ragu, tapi pada akhirnya ia memilih turun karena salah satu pegawai mamanya sudah melihat keberadaannya. Akan sangat aneh kalau tiba-tiba ia pergi tanpa masuk terlebih dulu.
"Eh, Mbak Yara."
"Mama di ruangan, Mas?" tanya Yara pada salah satu pegawai mamanya.
"Ada, Mbak."
"Ya udah, jangan bilang-bilang kalo aku ke sini ya. Nggak mau ganggu." Yara lantas melangkahkan kakinya ke balik mesin kopi. Ia memang biasa menyeduh sendiri kopinya sambil mencoba mengeksplorasi rasa kopi buatannya. Kadang kalau menu yang dia buat di-acc mamanya dan bisa dijual di coffee shop itu, Yara mendapatkan bagi hasil dari penjualan menu kopinya.
Setelah berhasil membuat eksperimen barunya, kopi ditambah susu kelapa dan sedikit kental manis, Yara mengambil posisi duduk di salah satu meja kosong. Ia menghubungi Rian, sahabatnya.
"Yan, loe nganggur nggak? Sini dong. Ke Amigos Gading," rengeknya.
"Gratis apa bayar nih?" Rian tidak melepaskan kesempatan untuk memalak anak sang pemilik coffee shop.
"Gratis."
"Halah, pasti dikasih hasil eksperimen loe kalo gratis."
Yara terbahak saat menatap segelas kopi hasil eksperimennya. "Tapi kali ini enak kok. Udah deh, jangan kayak orang susah. Sini buruan. Urgent bin penting."
Hampir setengah jam Yara menunggu sahabatnya itu, padahal rumah Rian tidak jauh. Yara mendengkus kesal saat melihat Rian yang masuk ke coffee shop mamanya menggunakan dress yang membuatnya tampak jauh lebih feminin.
"Mau ke mana loe? Ketemu gue doang pake dress?"
"Hey, ini resolusi gue sejak minggu lalu, make dress untuk menunjukkan kalo gue cewek tulen. Gila aja, gara-gara nama gue, sering banget gue dikira cowok." Rian mengambil posisi duduk di seberang Yara yang terlihat lesu siang itu. "Kenapa loe?"
"Gue baru putus," jawab Yara singkat.
"Putus lagi?"
Yara mengangguk lemah kemudian menangkupkan wajahnya di atas meja, menitikkan setetes air mata yang cepat-cepat dihapusnya. Alvaro tidak layak untuk mendapatkan air matanya.
"Dia yang mutusin atau loe yang mutusin?"
"Apa pentingnya, Yan? Intinya kan sama, putus."
Rian menghela napas berat. Dia menjadi saksi bisu betapa sahabatnya itu menderita karena kisah cintanya yang selalu berakhir tragis.
"Tunggu, gue butuh minum dulu," ujar Rian yang baru ingin memanggil salah seorang pegawai coffee shop itu, sebelum Yara menginterupsinya dengan perintah kepada pegawai mamanya untuk mengambilkan kopi hasil eksperimennya untuk Rian dari dalam kulkas.
"Gue lagi siap-siap dengerin curhatnya, lah dia malah mau ngeracunin gue," gerutu Rian.
"Yang ini enak, sumpah. Kayaknya memang gue harus patah hati dulu biar resep kopi gue bisa berhasil."
Rian menerima satu gelas kopi susu kelapa, menu terbaru hasil eksperimen Yara. Setelah menyesapnya, Rian mengangguk menyetujui ucapan Yara sebelumnya.
"Alasan dia mutusin loe apa?" tanya Rian penasaran. "Bukannya harusnya loe yang mutusin dia? Kan udah gue bilang selama ini kalo dia itu sering manfaatin loe."
"Kata dia ... gue terlalu manja."
"Kok gue pengen mengumpat ya. Loe dibilang manja, tapi setiap kalian pergi keluar, loe yang jemput dia, loe yang bayarin dia."
"Udah lah, nggak usah diungkit, gue capek juga sebenernya akting manja." Tawa Yara berderai begitu saja usai ia mengucapkannya.
Rian bergidik ngeri melihat sahabatnya yang tiba-tiba tertawa terbahak setelah beberapa detik sebelumnya seperti tidak punya semangat hidup. "Nah ini, yang bikin loe nggak pernah langgeng setiap pacaran. Loe itu nggak pernah jadi diri loe sendiri."
"Maksud loe?"
"Loe selalu mencoba untuk jadi orang lain untuk menyenangkan pacar loe. Itu nggak akan bertahan lama, Ra. Buktinya sekarang Varo mutusin loe karena bilangnya loe terlalu manja. Nah si Ari, pacar loe sebelumnya, mutusin loe karena loe terlalu mandiri."
"Kapan ya, Yan, gue bisa nikah kalo hubungan gue selalu berakhir kayak gini? Gue pengen kayak temen-temen seumuran kita yang udah nikah."
Rian memutar kedua bola matanya dengan malas. "Mulai deh! Hey, being single means we're preparing for the arrival of a better love. Positif thinking, Ra!"
"Gue benci sama Adam!"
Ucapan Yara yang tiba-tiba membawa nama 'Adam' itu sukses membuat Rian tersedak. "Lah kenapa tiba-tiba bawa nama Adam deh?"
"Ini pasti gara-gara kutukan dia dulu ke gue. Sialan emang tu orang. Dia yang minta putus, dia yang nuduh gue macem-macem, tapi malah ninggalin kutukan yang bikin hidup gue sengsara."
"Nggak ada yang namanya kutukan di dunia ini, Ra."
"Ada," bantahnya. "Itu, kata-kata Adam buktinya jadi kutukan buat gue sampe sekarang."
Yara mengepalkan tangannya yang berada di bawah meja. Ia mengingat ucapan Adam, si cinta pertama dan mantan pertamanya semasa SMA saat mereka putus. "Gue sumpahin loe nggak bakal bisa langgeng pacaran. Pokoknya loe nggak bakal bisa nikah sampe loe bisa ngelihat gue di atas pelaminan."
Bersambung ...
----
Selamat datang di novel pertamaku di platform ini. Hope you like it. Selamat membaca.
Seorang wanita mengerjapkan matanya berkali-kali saat melihat rumah yang belum lama dibeli oleh tunangannya. Rumah itu nantinya akan mereka tempati bersama setelah menikah. Mungkin karena itu, tunangannya membawanya untuk melihat-lihat. "Suka nggak rumahnya?" tanya laki-laki itu sambil mengusap puncak kepala Lintang, tunangannya. "Sukaaa pake banget," jawab Lintang. Jari lentiknya menelusuri bagian jendela rumah yang sengaja dibuat dari kaca lebar untuk memaksimalkan cahaya yang masuk. "Masih kosongan, nanti kita hire desainer interior aja ya. Aku bakalan sibuk banget habis ini soalnya, mungkin nggak banyak waktu buat ngurus." Lintang mengangguk. "Makasih ya, Dam. Kamu udah nyiapin ini semua buat masa depan kita." "Buat masa depan kita, buat kamu, apa sih yang nggak kulakukan," jawab Adam sambil merengkuh tubuh wanita di depannya ke dalam pelukan. Punggung Lintang menegang saat berada di dalam pelukan Adam. Ia bisa merasakan c
"Kenapa kamu yang datang?" tanya Adam yang merasa bingung dengan kedatangan Yara, mantan pacarnya, yang mengaku perwakilan dari PT Creative Persada. "Kan kemaren Bu Oni katanya yang bakal ngerjain desain interior rumahku. Yara ingin mengumpat sejadi-jadinya. Memangnya dia yang menawarkan diri mengerjakan proyek ini? "Boleh saya duduk dulu, Pak Adam? Biar saya coba bantu jelasin semuanya ke Bapak." Yara sengaja menggunakan bahasa formal agar Adam tahu kalau keberadaannya di restoran siang itu benar-benar murni bisnis, tidak ada niat terselubung. "Oh, iya, iya." Adam hanya bisa mengangguk dan kembali duduk setelah Yara duduk di hadapannya. "Silakan pesan makanan dulu, Bu Yara," tawar Adam, mencoba memberikan profesionalitas yang sama. Yara mengangguk, mengambil buku menu lantas memesan Berry Island Fantasy. "Nggak pesen makan?" Adam memperhatikan Yara yang tampak jauh lebih dewasa dari saat-saat SMA. "Terima kasih, Pak. Kebetulan
Sudah lebih dari lima menit Yara terdiam di depan pintu berwarna coklat tua. Berbagai polah sudah dilewatinya, mulai dari menggaruk rambutnya yang tidak gatal, menggigiti bibirnya sendiri, sampai mondar-mandir tidak jelas di depan unit apartemen itu. Dengan helaan napas berat, akhirnya Yara memberanikan diri untuk mengetuk pintu di depannya. Sekali lagi ia mengetuknya, berharap seseorang segera membukakan pintu untuknya. "Iya?" Tampak Adam melongokkan kepalanya dari celah pintu yang sepertinya sengaja ditahannya agar tidak terbuka sepenuhnya. "Malam, Dam." Yara tersenyum ramah seperti tanpa ada masa lalu menyakitkan di antara mereka. "Ngapain kamu ke apartemenku?" tanya Adam dingin. "Aku perlu ngomong tentang proyek rumahmu, Dam." "Oooh, kamu udah dapet kabarnya dari Pak Ranu? So? Katanya kamu mau berpesta semalaman kalau aku cancel proyek ini." Yara menelan ludahnya dengan susah payah. Bolehkah ia mengumpat di depan muka laki-
Yara kembali berdiri di depan pintu apartemen Adam, dengan sangat terpaksa. "Sial! Kemaren lupa minta nomor hpnya Adam. Si Om Ranu sengaja banget lagi, nggak mau ngasih nomor hpnya Adam." Yara mengacak rambutnya dengan frustasi. Entah setelah ini, apakah stok malunya masih ada. Masih seperti malam sebelumnya, Yara menghela napas berkali-kali, baru memberanikan diri untuk mengetuk pintu. Adam muncul tidak lama kemudian, dengan tatapan heran. "Kenapa nggak nunggu di coffee shop bawah aja, Ra?" "Aku nggak punya nomer hpmu kan. Om Ranu nggak mau ngasih." Hampir saja Adam terbahak, saat melihat ekspresi Yara dan bagaimana penampilan perempuan itu. Adam hampir yakin, kalau wanita di depannya itu baru saja mengacak rambutnya sendiri. Karena tidak mungkin seorang Yara Karina Candra membiarkan angin mengacak rambutnya, apalagi orang lain. "Tunggu di bawah aja, kamu pesen yang kamu nau, nanti aku nyusul. Aku mau telepon calon istriku du
Yara mematung di depan pintu apartemen Adam. Adam sudah memberikannya kartu akses agar ia bisa masuk, sementara Adam sedang menjemput tantenya di bandara. "Duh, nggak apa-apa nih gue masuk sendiri? Ntar kalo ada yang ilang, gue lagi yang kena." Memilih mengabaikan kebimbangannya, Yara masuk ke dalam apartemen Adam yang selama ini belum pernah dipijaknya. Ia mengangguk-angguk mengerti setelah mengedarkan pandangannya ke sekeliling apartemen yang memiliki dua kamar tidur itu. Sedikit banyak ia mempelajari tentang psikologi desain, dan dari desain interior apartemen Adam, Yara bisa sedikit menggarisbawahi sifat Adam yang masih terlihat sangat jelas. Dingin. Dengan dominasi warna hitam dan mengambil desain minimalis, apartemen itu jadi benar-benar terasa dingin. Tidak ada hiasan atau ornamen yang menghias apartemen itu, seakan apartemen itu hanya digunakan untuk tidur, bukan untuk ditinggali. Yara menjatuhkan diri di atas sofa, kemudian menyelonjo
"Yara, malam ini makan di luar aja ya, di kulkasnya Adam nggak ada stok makanan sama sekali," keluh Desi setelah melakukan screening singkat di dapur apartemen Adam. Mendengar gerutuan wanita paruh baya itu, Yara yang semula berada di depan TV beranjak menuju dapur untuk berbicara lebih dekat. "Boleh, Tante mau makan malem apa? Atau Tante mau jalan-jalan ke mana gitu?" "Makan nasi goreng kambing kebun sirih kayaknya enak deh, Ra." "Mau delivery atau makan di sana, Tante?" Setelah menimbang sesaat, Desi memutuskan untuk makan di tempat, karena menurutnya justru serunya di situ. "Beneran nggak apa-apa makan di pinggir jalan, Tante?" "Nggak apa-apa lah. Kenapa? Kamu nggak biasa ya?" tanya Desi yang jadi curiga, karena seingat dia, Adam dulu pernah bercerita kalau keluarga Yara jauh lebih kaya daripada keluarga Adam, bahkan beberapa kali membuat Adam rendah diri. Tanpa disangka Desi, Yara justru terbahak mendengar pertanya
"Tapi tante nggak keberatan kalo kamu mau ngerebut Adam lagi." Tiga pasang mata di ruangan itu langsung menatap Desi dengan tatapan tidak percaya dan penuh tanya. "Tante kok ngomongnya gitu? Nggak mau aku, Tante. Kayak nggak ada cowok lain aja." Desi terbahak melihat reaksi Yara dan kedua orang tuanya. "Iya, nggak kok, tante cuma bercanda. Kamu pasti dapet yang lebih baik dari Adam. Walaupun dulu tante mikirnya kalian bakal beneran sampe nikah, cocok soalnya." Yara mendengkus pelan. 'Cocok dari mananya?' "Des, nginep sini aja ya?" tawar Rhea. Ia masih ingin banyak mengobrol dengan temannya itu. Jadi tidak rela rasanya membiarkan Desi kembali ke apartemen Adam, meskipun Yara ikut menemani. "Hah? Nggak ngerepotin, Rhe?" "Nggak lah, kayak sama siapa aja. Nanti barang-barang kamu biar diambilin Yara." "Iya, Tante. Nanti Yara ambilin barang Tante, nunggu Kak Ervin dulu, biar nanti Kak Ervin yang nganterin ke apartemen Adam."
"Bu, ada tamu di depan," ucap salah satu ART di rumah itu kepada sang nyonya rumah. "Siapa, Bi?" tanya Rhea bingung, pasalnya memang dia tidak memiliki janji temu dengan siapa pun. "Saya lupa namanya, Bu, tapi kayaknya dulu sering ke sini, temennya Mbak Yara." "Oooh, Adam kayaknya." Bukan Rhea yang menjawab, melainkan Desi yang sedang duduk di samping Rhea. "Adam tadi pagi ngabarin aku, katanya kerjaannya udah beres, jadi bisa pulang lebih cepet." "Tolong suruh masuk, Bi." Rhea langsung memerintahkan ART-nya kembali ke depan. "Abis itu tolong panggilin Yara di kamarnya ya, Bi." "Aku langsung ke depan aja, Rhe. Kasihan nanti Adam ngerasa canggung." Desi langsung beranjak menuju ruang tamu demi menemui keponakannya. "Ya udah, aku ke dapur dulu, minta bibi buat nyiapin minum sama cemilan." Tidak berselang lama, Rhea menyusul sahabatnya menuju ruang tamu. Seorang pemuda yang dulu sering menyambangi rumahnya kini datang lagi, meski