"Bryan," sapaku dengan pelan.
Bryan tersentak. Segera menengadah ke arah wajahku yang berdiri beberapa langkah di dekatnya.
"Anandita!" balasnya lembut yang hampir saja tidak terdengar olehku.
Mataku menangkap kedua bola mata Bryan yang sedikit memerah, dengan kelopak mata yang kendur. Wajahnya terlihat kurang bergairah. Persis seperti orang yang baru saja bangun dari tidur.
"Apa apa?" tanyaku. Duduk di sofa tepat di hadapannya. Hanya sebuah meja kaca yang menghalangi kami.
"Euh ... tidak ada!" Bryan mengusap wajah dengan kedua telapak tangannya. Menghela nafas berat. Dan berusaha tersenyum kepadaku.
"Kau masih sakit??"
"Tidak! Aku baik-baik saja!"
"Begitu!" balasku datar. Tidak ingin dia merasa istimewa dengan pertanyaanku. "Trus ... mo ngapain, kemari?"
"Aku hanya ingin bertemu denganmu. Apa tidak boleh?" balasnya.
Aku tidak merespon ucapannya. Hanya diam tapi tidak memasang raut wajah marah ataupun senang atas
Tak pernah terlintas di pikiranku, aku akan menolong orang yang aku benci. Orang yang telah membuat alur hidupku berantakan. Bahkan untuk membayangkannya saja aku tidak sudi. Dan sekarang, aku harus melaksanakan itu.Bryan, yang sejak tadi mual dan muntah seperti orang kejijikan akan sesuatu, saat ini tengah berbaring di salah satu kamar tamu yang ada di rumahku. Tadinya aku menyuruhnya untuk segera pulang, karena ku lihat kondisinya belum sembuh total. Tapi bi Sumi mencegahnya, dengan alasan takut di jalan terjadi apa-apa pada laki-laki ini.Menyebalkan! Kenapa bi Sumi harus memperhatikan orang ini? Biarkan saja dia pingsan di tengah jalan. Sekalipun itu terjadi di depanku, aku tidak peduli.Tapi, tunggu dulu! Bukankah Bryan pernah menolongku sebelumnya? Merawat, dan juga menjagaku. Benarkan? Dia memang sudah merebut kegadisanku, tapi dia juga telah menyelamatkan aku dari maut. Jika dia tidak cepat menolongku saat itu, mungkin saja saat ini aku sudah tidak ada
Jika saja kemarin aku tidak ikut dengannya ke desa itu, tentu aku tidak perlu repot-repot melayaninya seperti ini. Sebab aku pasti tidak memiliki hutang budi padanya. Oh, Tuhan! Kenapa semua ini bisa terjadi di alur hidupku! Tidak terlintas sedikitpun dalam pikiranku kalau aku akan mengalami masa rumit nan menjijikkan seperti ini.Aku menghela nafas berat. Satu tanganku terulur bersama sendok berisi nasi dan suwiran daging ayam. Tentu mengarah ke mulut laki-laki yang ada di hadapanku. Dia membuka mulutnya. Dengan tatapan mata yang mengunci seluruh wajahku. Meski aku tidak menemui bola matanya, tapi aku dapat mengetahui tatapannya yang seakan tidak mau berpaling dari wajahku. Aku melihat itu melalui ekor mataku.Tidak ada suara yang keluar dari mulut kami. Aku diam dan enggan memandangnya. Menyulanginya makan adalah hal terbodoh yang pernah aku lakukan. Bagaimana tidak, bisa-bisanya aku melayani orang yang telah memerkosaku. Merampas segalany
Bibir pria ini pernah menyapa bibirku. Melumatnya dengan kasar dan agresif. Bibir ini yang pertama kali menjelajahi seluruh tubuhku. Membuat bercak-bercak kemerahan di sana. Meninggalkan traumatis dalam diriku. Dan kini, bibir ini kembali menempel di bagian sensitifku. Membuatku tersadar, bahwa aku pun telah terhanyut dalam kehangatan yang dia ciptakan dengan sengaja.Euh!"Minggir kau!"Ku tolak dadanya dengan kasar, hingga dia terdorong ke belakang. Cepat aku berdiri. Mengusap bibirku yang baru saja dia kecup. Dan, leherku yang terasa perih karena gigitan kecilnya. Tanpa sadar, bulir bening dari mataku jatuh membasahi pipi. Batinku berteriak membodohi diriku sendiri."Anandita, maaf!""Diam kau!" bentakku. "Dasar laki-laki sialan! Taunya memanfaatkan keadaan! Apa kau tidak sadar dengan perbuatanmu ini!"Aku terisak. Emosiku melonjak seketika."Aku tidak bermaksud untuk membuatmu ....""Aku bilang diam!" bentakku lagi. K
Anandita masih belum sadar saat bagian tubuhnya dimasuki jarum infus. Aku membawanya ke rumah sakit terdekat. Suhu tubuhnya panas, dan kata bi Sumi demamnya sudah seminggu naik turun. Itu berarti semenjak dia bersamaku terakhir kalinya, Anandita belum juga sehat. Aku ingat saat itu dia juga sedang tidak enak badan sama sepertiku.Aku duduk di samping ranjangnya. Membelai-belai puncak kepalanya. Berharap gadis ini segera bangun dari tidurnya. Wajahnya terlihat sangat pucat. Dan kulihat berat badannya sedikit menurun. Dia terlihat kurus dari biasanya.Tak pernah terpikirkan olehku, aku akan menjadi seperti ini. Mengemis cinta pada seorang wanita yang telah aku tiduri. Selalu mengalah ketika dia menghendaki sesuatu. Bahkan, aku sendiri tidak mengerti kenapa perasaan sayangku kepadanya begitu dalam. Hingga rasa itu berubah menjadi ketakutan. Takut akan kehilangan dirinya. Atau aku hanya tidak ingin dia lepas dari genggamanku?Di kamar rawat inap ini hanya ada aku ya
Apakah ini yang disebut sebuah keberuntungan mendadak? Atau malah awal dari kehancuranku?Anandita Aldaina. Seorang gadis berwajah rupawan, yang kesuciannya telah aku renggut secara paksa beberapa minggu yang lalu, saat ini tengah mengandung bayiku. Benihku telah bersemayam di rahimnya. Pantas saja dia terlihat begitu pucat beberapa hari ini. Aku yakin, dan sangat yakin kalau janin yang berada di rahimnya adalah janinku. Karena aku laki-laki pertama yang menidurinya beberapa hari yang lalu.Aku menyentuh dadaku. Merasakan sebuah kebahagiaan yang tiba-tiba hadir menyapa. Ingin tersenyum, namun bibirku terasa berat untuk aku gerakkan. Aku bahagia, tapi disisi lain merasa tertantang untuk menyampaikan hal ini kepadanya. Kepada gadis yang sudah berani mencuri jiwaku.Aku tidak tahu nantinya Anandita mau menerimaku atau tidak. Yang jelas aku harus mengatakan ini kepadanya. Bagaimanapun juga dia harus tahu kalau dia sedang mengandung bayiku. Dan aku akan bertanggungja
"Bryan, kau ingin membuatku mati karena penasaran!!" Mataku melotot sempurna. Terus memaksanya agar membuka suara. Tapi dia bukannya menjawab, malah anteng membawa mangkuk bubur yang telah kosong dan meletakkannya di depan pintu."Kau penasaran?" Dia berjalan mendekati ku kembali. "Aku ingin tahu sampai sejauh mana rasa penasaranmu itu.""Bryan! Aku serius!" desisku."Sudah ku katakan padamu, kalau aku akan memberitahumu setelah kau baikkan, atau mungkin setelah kau keluar dari rumah sakit ini. Maka, segeralah sembuh dan sehat seperti biasa." Bryan menatapku dengan mata yang menyala.Apa maksud dari ucapannya? Kenapa dia begitu keras menyembunyikan apa yang dia ketahui dari dokter. Bukankah aku juga berhak tahu tentang penyakit yang aku derita?"Jika kau tidak mengatakannya, lalu bagaimana aku tahu tentang penyakitku!""Penyakitmu?" Dia menarik kursi, duduk kembali di sebelah ranjangku."Iya! Aku tahu kau sedang menyembunyikan v
Author POV~Dunia seakan berhenti berputar bagi gadis cantik bermata sendu itu. Dia berharap kalau tadi pendengarannya keliru. Namun, Bryan kembali meyakinkan dirinya. Membuat dirinya sadar kalau ini bukanlah mimpi.Anandita, harus menerima kenyataan bahwa dirinya sedang mengandung. Dia hamil. Dan itu bukanlah hal yang dia inginkan. Pernah bermimpi menjadi seorang ibu yang baik untuk anak-anaknya kelak, tapi tidak untuk saat ini. Saat dirinya sama sekali tidak memiliki ikatan pernikahan. Meski laki-laki yang menghamilinya bersedia bertanggungjawab atas perbuatannya. Tapi Anandita tetap tidak bisa menerimanya semudah itu.Dan, bulir-bulir bening itu pun lolos dari mata gadis itu tanpa dia harus susah-susah berkedip. Sorot matanya masih lurus memandang mata Bryan dengan luapan emosi yang berkecamuk. Sepasang manik matanya masih bergulat dalam kubangan mata Bryan yang membiarkan mata gadis itu seakan ingin menerkam.
Derai air mata Anandita tidak juga kunjung berhenti. Ditengah-tengah kefrustasiannya, dia terisak pilu. Tidak percaya kalau dirinya sedang berbadan dua. Tidak percaya kalau dia berstatus calon ibu. Namun, satu yang dia percaya, hidupnya kini sudah benar-benar HANCUR!Sempurna!Lengkap sudah penderitaan yang ditanggungnya. Menjadi korban pemerkosaan, harus menerima kenyataan bahwa mahkotanya sudah terenggut, dihina dan direndahkan oleh sang mantan pacar yang meski sekalipun tidak pernah ia akui sebagai kekasih. Dan kini kembali dihadapi dengan kenyataan pahit yang membuat dirinya kecewa. Secara terpaksa harus menerima kalau rahimnya sedang dihuni makhluk kecil.Ada janin yang berkembang dalam tubuhnya. Ada kehidupan di sana. Meski belum menunjukkan tanda-tanda pergerakan, tapi janin tersebut meresponnya dengan rasa tidak nyaman yang dia rasakan sejak dua minggu belakangan ini. Sebab itu, Anandita tidak dapat lagi mengelak. Anandita tidak bisa membohongi dirinya s