Hari ini Mas Bagas sedang pergi bersama teman sekolahnya dulu. Seharian mengurung diri di dalam kamar ini terasa begitu membosankan.Kuputuskan untuk berjalan-jalan melihat lihat rumah yang ibu Mas Bagas tempati ini. Menurutku rumah ini cukup mewah dan terawat. Sepertinya Yasmin benar-benar merangkap jadi pembantu di sini. Selain menjaga ibu, wanita berkulit sawo matang itu juga rajin membersihkan rumah. Mungkin sebagian tanda balas budi sebagai biaya ganti tinggal gratis di rumah ini.Namun, rumah ini sering sekali sepi. Hanya ada ibu dan Aska. Kata Mas Bagas setiap pagi hingga petang Yasmin baru akan kembali ke rumah setelah berjualan baju.Ah, ternyata dia hanya jualan baju saja toh. Mana mungkin Mas Bagas akan tergoda. Aku kan tau betul selera Mas Bagas. Wanita yang sepadan dengannya tentunya. Berpendidikan dan memiliki title. Dia itu tidak akan berminat dengan wanita yang ecek ecek apalagi
"Dek, sarapanmu udah aku taruh di situ ya!"Suara Mas Bagas terdengar masuk ke dalam telingaku. Netraku yang masih lengket perlahan kubuka paksa. Manangkap sosok pria yang tengah sibuk mengenakan sepatunya di tepi ranjang."Mau kemana sih Mas pagi-pagi begini?" tanyaku malas dengan mengusap lembut kedua netraku yang masih berkabut."Aska badannya panas Dek dari semalam. Jadi Mas harus segera bawa ke rumah sakit," sahutnya terburu-buru."Aska!" sahutku bangkit duduk di atas ranjang dengan pandangan yang semakin jelas melihat Mas Bagas."Tapi kan Mas ...." ucapku terhenti ketika teriakan ibu dari lantai bawah mengema memanggil nama Mas Bagas."Nanti saja ya Dek, Mas buru-buru!" sahut Mas Bagas berlalu secepat kilat meninggalkanku sendirian di kamar."Ah!"Aku mendengus kasar melihat kepergian Mas Bagas keluar dari kamar. Kubanting kasa
Netraku membeliak memanas, air mataku runtuh berjatuhan tanpa mampu kutahan saat melihat sebuah bingkai foto yang berada di dalam kamar Yasmin.Sebuah foto pernikahan terpasang jelas pada dinding kamar Yasmin. Iya, foto Mas Bagas dengan perempuan berkulit sawo matang itu dengan balutan baju pengantin adat daerah Purwodadi.Lututku seketika lamas, jantungku telah melompat dari tempurungnya. Kepalaku teras nyut-nyutan sesaat tatapanku pun menjadi kabur dan tubuhku terhuyun jatuh di atas lantai.'Mas Bagas Setega ini kamu denganku, tenyata benar firasatku selama ini. Kamu telah mengkhianati cinta kita, Mas! 'Aku tergugu dalam tangisan tak bersuara. Hatiku sakit, bahkan sangat sakit sekali.Sepersekian detik aku hanyut dalam lukaku. Seperti orang yang kehilangan akal, aku tidak tahu lagi apa yang harus kuperbuat. Aku tidak ingin melepaskan M
"Nak, ibu ingin sekali kamu segera meminang Reza. Ibu rasa kamu sudah saatnya memiliki seorang pendamping," ucap Ibu dengan wajah penuh binar.Tidak bisa aku pungkiri, menginjak usaiku yang ke 28 tahun pasti ibu merasa dilema. Mungkin juga malu karena diriku yang tak kunjung menikah. Karena sudah banyak diantara teman-temanku justru sudah ada yang memiliki anak, bahkan ada yang memiliki anak lebih dari satu."Iya Bu, nanti aku coba bicara sama Reza ya!" hiburku pada Ibu.Ibu menolehkan wajahnya menatapku. "Loh, memangnya selama ini hubungan kalian itu bukan pacaran toh?" tanya ibu dengan netra menyelidik."Ya, kami pacaran Bu. Tapi, sudahlah Bu nanti saja aku ceritanya," ucapku lesu berajak meninggalkan Ibu di meja makan.Kubenamkan tubuhku di atas rajang, menatap langit-langit kamar yang telah dipenuhi rumah laba-laba. Pasti wanita itu t
Mobil bak terbuka yang aku tumpangi telah tiba di depan halaman rumah minimalis berlantai dua. Rumah yang asri dengan aneka tanaman yang tumbuh di bagian halaman depan rumah."Wah, rumahnya besar sekali Bagas," decak kagum Pak lek Narto melihat rumah Reza. "Beruntungnya kamu dapat istri orang kaya!" imbuhnya menepuk lembut bahuku dengan tatapan bangga."Iya Pak lek!" sahutku dengan tersenyum kecil."Alhamdulillah ya Nak, akhirnya impianmu terkabul." Kini giliran ibu yang menepuk bahuku penuh haru.Aku segera mengajak Ibu dan Pak lek Narto menuju pintu utama rumah Reza. Aku yakin pasti kedua orang tua Reza telah menunggu kedatangan kami sedari tadi. Karena mobil butut Pak lek Narto tadi sempat beberapa kali mogok, hingga membuat kedatangan kami sedikit terlambat.Tok! Tok! Tok!"Assalamualaikum," sapaku dari lu
Sepanjang perjalanan ibu terus menghardikku. Wanita itu bahkan bersumpah akan secepat mungkin mencarikan jodoh untukku. Aku harap ucapan itu hanyalah karena rasa kesal ibu kepada Reza. Karena seumur hidupku aku hanya ingin mencintai gadis bernetra jeli itu.Kubenamkan tubuhku di atas kasur, menatap pada layar gawai, berharap Reza akan menghubungiku dan meminta maaf kepadaku atas kejadian yang terjadi tadi pagi. Namun, hingga malam menjelang, gadis itu sama sekali tidak menghubungiku.'Apakah Reza tidak mencintaiku. Lalu apa artinya dengan kalimat-kalimat cinta yang sering ia lontarkan kepadaku. Harusnya kan aku yang marah saat ini. Bukan dia.'Kuusap kasar rambut klimisku hingga berantakan. "Dasar keras kepala!" ucapku lirih membanting ponselku di atas kasur.
"Maksud kamu?" Ibu membulatkan netranya menatapku."Bagas hanya mau menikah siri dengan gadis pilihan ibu!" cetusku lantang mengulangi ucapanku.Ibu diam dan terlihat berfikir. Matanya manatap tajam ke arahku yang duduk di hadapannya."Kenapa harus menikah siri? Apakah kamu masih mengharapkan wanita itu lagi?" selidiknya."Ibu, Bagas sangat mencintai Reza Bu. Sampai kapanpun Bagas akan menunggu Reza sampai dia mau menjadi istri Bagas, Bu." ceritaku terdengar pilu dan penuh harap agar ibu mau mengerti dengan perasaanku.Ibu mendengus halus. Wanita itu terus memilin jari jemarinya seraya berfikir. Netranya tidak berhenti mengawasiku yang tertunduk lesu."Lalu bagaimana jika Reza tidak juga diangkat menj
Aku masih menatap wajah gadis yang mengenakan kerudung berwarna nude yang berdiri di hadapanku. Kulitnya sawo matang, tidak ada bagus-bagusnya sedikitpun. Beda jauh dengan Reza si gadis cantik dengan kulit putih bagaikan pualam.Tubuhnya pun mungil, hidungnya sedikit pesek dan tidak terlalu mancung. Ah, sangat tidak menarik sama sekali bagiku. Yang membuatku semakin ilfeel adalah, ternyata gadis di hadapanku ini cuma tamatan SMA. Sungguh jauh dari angan-anganku. Untung saja dia cuma istri siriku. Yang kapan saja bisa aku tinggalkan tanpa harus mengurus surat perceraian ke pengadilan."Iya, siapa namamu Nak?" tanya ibu pada gadis yang sama sekali tidak berani mengangkat wajahnya menatapku. Mungkin karena dia tidak terlalu cantik, sehingga dia merasa malu kepadaku. Pikirku sih begitu."Yasmin, Bu!" sahutnya terdengar lembut.