Pemuda itu mungkin berpikir aku tidak menyadari keberadaannya. Dia mengira kalau aku tidak tahu bahwa dia sudah mengawasiku seharian dan melaporkan segala kegiatanku—mungkin kepada kakakku. Begitu juga rekan-rekannya yang lain selama seminggu ini. Aku tahu kalau kakakku khawatir aku akan kabur lagi. Aku ingin menegur mereka dan mengatakan bahwa aku tidak suka dikuntit seperti itu. Aku tidak suka privasiku dilanggar. Namun, setelah kuperhatikan, mereka selalu menjaga jarak dariku meskipun jarak mereka tidak pernah lebih dari sepuluh meter dariku. (Pengecualian ketika aku sedang berada di kamar.)
Tidak ada yang istimewa dengan kegiatanku selama di hotel. Hanya makan, membaca buku, menonton televisi, merenung, tidur, dan sesekali pergi ke mall untuk melepas penat. Gamma belum mengunjungiku sejak pertemuan kami seminggu yang lalu dan aku tidak me
Segala amarah serta kekecewaanku menguap. Pertanyaan yang sudah kususun seketika terlupakan. Digantikan oleh rasa takut serta penyesalan yang perlahan-lahan menjalari hatiku. Mata ayahku terpejam. Dia tampak sangat pucat dan rapuh. Seiring langkahku yang semakin mendekat, aku tak bisa membendung air mataku yang mengalir semakin deras. Kubekap mulutku untuk menahan suara isakanku agar tidak keluar. Mungkin Papa mendengar suaraku karena ayahku bergerak, kemudian matanya terbuka. Ketika melihat kedatanganku, dia seperti berusaha untuk terlihat baik-baik saja dengan menyunggingkan senyum jailnya yang sering kulihat, tetapi aku tahu dia kesakitan. Tangannya terulur meraih tanganku. Aku balas menggenggam tangannya, kemudian meremasnya lembut. “Nara sayang,” panggilnya lemah. “Akhirnya kamu pulang, Sayang. Papa sangat merindukanmu.”
Aku meregangkan tubuh seraya mengeluarkan suara erangan yang terdengar tak pantas dan nggak cewek banget. Kemudian mengerjap-ngerjap dan menatap nyalang langit-langit tempatku berada. Aku merasakan disorientasi. Butuh beberapa saat untukku menyadari bahwa aku tidur di kamarku sendiri—di rumahku. Aku mendesah kecewa dan penuh kesengsaraan. Andai tak mendengar sendiri penjelasan dokter mengenai kondisi kesehatan Papa, sebenarnya aku masih enggan pulang. Itu berarti aku sudah menyerah. Namun, kenyataannya di sinilah aku sekarang. Aku sempat bertanya-tanya mengapa mereka akhirnya mau memberitahuku mengenai kondisi Papa setelah bertahun-tahun merahasiakanya dariku? Mungkin mereka memanfaatkannya supaya aku mau pulang, atau karena mereka akhirnya sadar bahwa aku sudah cukup dewasa dan berhak mengetahui tentang semua ini
“Bukannya tadi lo bilang kalau lo sibuk?” tanyaku tanpa menatap pada Xabi. “Tadi,” ujarnya seolah satu kata itu bisa menjelaskan segalanya. Aku menggerutu atas jawabannya yang tidak menjelaskan apa pun, kemudian mulai melamun lagi. Sekitar satu jam lalu, dia datang ke rumah sakit dengan alasan ingin menjenguk Papa. Kemudian, dengan ekspresi tak acuh mengajakku pulang bersama. “Sekalian kita mampir ke hotel,” ujarnya, kemudian menambahkan dengan berbisik, “gue tahu lo sudah nggak sabar.” Ingin sekali aku menempeleng pemuda tidak tahu malu ini untuk menghapus
Aku tersaruk-saruk ketika berusaha menyejajari langkah Xabi sembari menyeret koperku yang sepertinya bertambah berat kalau dibandingkan dengan saat aku datang ke hotel ini. Aku tidak tahu mengapa aku harus repot-repot mengejar Xabi dan berlarian di lobi hotel seakan-akan aku cinta setengah mati kepada pemuda itu. Padahal setelah dipikir-pikir lagi, apa yang kukatakan memang benar adanya. Jadi, aku sama sekali tidak tahu alasan mengapa bayi besar ini merajuk padaku. Setelah membuatku merasa bersalah dikarenakan caranya menatapku di kamar tadi, sekarang dia mendramatisir aksinya dengan mogok bicara padaku. Apalagi raut wajahnya sama sekali tidak sedap dipandang. Orang lain yang melihat kami mungkin akan mengira kami sepasang kekasih. Oke. Aku dan Xabi memang bertunangan, tapi bukan berarti kami bisa digo
Cowok Berlesung Pipi : Ra, bagaimana kabarmu? Seminggu yang lalu aku datang ke hotel tempatmu menginap, tetapi kata resepsionis kamu sudah lama check-out. Sekarang kamu di mana? Kamu baik-baik saja, ‘kan? Sebenarnya aku ragu mengirim pesan ke nomor ini, tapi aku mengkhawatirkanmu. Kalau kamu sudah pulang dan sudah membaca pesan ini, tolong balas secepatnya supaya aku tenang. Cowok Berlesung Pipi : Aku merindukanmu. Maaf karena waktu itu aku sudah bersikap seperti berengsek. Cowok Berlesung Pipi :
“Tante nggak menyangka kalau kalian akan datang lebih cepat, jadi masakannya belum selesai. Kamu jadi repot-repot bantuin masak.” Aku tersenyum meskipun kusadari bahwa Tante Rani tidak bisa melihatnya karena posisiku yang memunggunginya. Konsentrasiku hampir sepenuhnya terpusat pada capcay di hadapanku. Tante Rani memasukkan potongan sosis dan bakso, kemudian kuaduk masakan itu dengan penuh kehati-hatian dan kasih sayang.Bukannya aku sama sekali asing dengan dapur, tetapi biasanya aku datang ke dapur hanya untuk mengambil makanan. Paling banter aku memasak mi instan. Untuk memasak makanan sungguhan, ini pengalaman pertama bagiku. Aku berusaha agar tidak terlihat kikuk ketika memegang spatula. Singkat cerita, aku hanya membantu mengadu
Lagi-lagi nama Xabian yang tertera pada layar ponselku. Tanpa keraguan sedikit pun, aku menolak panggilan itu untuk yang kesekian kalinya. Sudah delapan hari berlalu sejak acara makan siang penuh bencana itu dan aku masih terus menghindari Xabian. Kemudian, terdengar denting notifikasi dari ponselku. Tampaknya Xabian masih tidak mau menyerah karena sekarang dia mengirimiku pesan. Tuan Perajuk : Ra, kita harus bicara. Ponselku berdenting lagi. Tuan Perajuk : Sampai kapan lo
Mereka menatapku seolah aku baru saja mengumumkan akan berparade di jalan raya sembari bertelanjang bulat. Rahang ketiganya ternganga. Ingin rasanya aku meleburkan diri dengan kursi yang tengah kududuki. Wajahku terasa panas, bisa dipastikan sekarang mulai memerah. Aku berdeham, lalu melanjutkan, “Aku … ada yang menawariku menjadi model untuk produk mereka. Aku ingin mencoba. Aku bosan setiap hari hanya di rumah tanpa mengerjakan apa pun yang berguna.” Yang terpenting, aku ingin terlepas dari bayang-bayang nama besar kedua orang tuaku.“Lo bisa kerja di kantor sama gue, Ra. Jadi sekretaris gue atau jadi salah satu desainer di perusahaan kita. Desain lo bagus-bagus,” ujar Gamma.“Atau kerja di butik Mama,” Mama menyahut.Aku sudah menduga hal ini. Mereka pasti akan berusaha