Latasha terbangun dari tidurnya. Ia melihat jam dinding dengan panik saat jarum itu menunjukkan pukul delapan pagi.
“Astaga!”
Latasha langsung bersiap diri dengan terburu-buru, ia bahkan mengabaikan ucapan pagi dari Gaitha. Lea yang menyadari itu merasa aneh melihat Latasha hampir terjatuh saat masuk ke kamar mandi. Niat ingin bertanya, hal itu Lea urungkan saat Gaitha merengek meminta sarapannya.
“Sebentar, bocah. Nanti Tante Lea antar ke depan, ya.”
Setengah jam sudah berlalu Lea langsung bertanya kepada Latasha saat keluar dari kamar mandi.
“Kak Tata kesurupan apa pagi-pagi?”
Latasha mengerutkan kening, “Lea! Kamu nggak bangunin Kakak, ya. Kakak telat masuk kerja!”
“Hah? Sekaran
Latasha memasuki rumah dengan langkah terburu-buru hingga ia tak membalas sapaan Gaitha yang kegirangan melihat mamanya pulang. Wanita itu bergegas masuk kamar mandi untuk segera bebersih sejenak, kemudian langsung membenahi barang belanjaannya. Pikiran Latasha melayang entah kemana, tanpa ia sadari bulir air mata itu turun dengan sendirinya. “Mama," panggil Gaitha seraya menarik lembut ujung baju Latasha, seketika ia tersadar lalu menghapus air mata itu dan menoleh ke anaknya. “Kenapa sayang?” “Manggil-manggil mama nggak jawab,” omel bocah itu. Latasha terkekeh, ia jongkok agar bisa setara dengan Gaitha lalu memasang wajah memelas untuk meminta maaf. “Maaf ya, tadi mama kebelet pipis,” dusta Latasha. Gaitha yang awalnya diam kemudian mengangguk, “Kue mana?” tanyanya sambil mengadahkan kedua tangan mungilnya. Latasha
Latasha melepaskan genggaman Evan dengan cukup kasar, kemudian ia merapihkan pakaiannya lalu pergi meninggalkan Evan tanpa kata permisi. Pertama kalinya bagi seorang Evan merasakan pedih ketika seseorang acuh tak acuh kepadanya. Selama ini Evan merasa dirinya cukup berkuasa dan tidak pernah menerima penolakan dari siapapun. Ia sendiri pintar dalam hal itu hingga lawan bicaranya bisa bertekuk lutut dengannya. Tetapi kali ini, semua persepsi ia adalah seorang yang tidak mudah di tolak, di patahkan langsung oleh perubahan sikap Latasha kepadanya. Latasha yang dulu dan sekarang begitu beda di pandangan Evan. Kepolosan wanita itu masih menjadi ciri khasnya, tetapi sikapnya bisa menjadi dingin dengan caranya sendiri.“Shit!” Umpat Evan kesal. Ia hampir mendorong kursi kesayangannya itu ke arah jendela.“Siapa dia? Siapa yang sudah menyakitinya lebih dari aku?&r
Lea mundar-mandir hingga Gaitha heran melihat dirinya, telfon yang di genggamnya sesekali di banting karena lawannya tidak menjawab panggilannya.“Tante, main apa?” Dengan polosnya bocah itu bertanya seraya memakan bolu di tangan sebelahnya.Lea berhenti dari kegiatannya dan menoleh ke arah Gaitha dengan wajah menahan amarah, “Tante telfon mama kamu, tapi nggak di angkat. Ke mana mama kamu, ya? Udah jam lima belum pulang.”“Mama kelja, tadi salim sama, Itha.”Lea menghela napas, ia menghampiri Gaitha dan berjongkok, “Itha nonton film kartun aja, ya.”
Lea terdiam di sebuah ruangan serba abu-abu dengan mata menahan tangis. Tak hanya dia, beberapa orang di sana juga sedang gelidah menunggu seseorang yang sebentar lagi akan datang untuk memberi berita. Entah apa itu, yang jelas nasib meraka yang di ruang tersebut sedang di ujung tanduk.“Le,” panggil seorang cowok klimis di samping Lea.“Ngapa?”“Bagaimana, ya, Le?”Lea masih belum mau menatap siapapun, ia hanya tertunduk seraya memainkan jari-jarinya, “Apaan, sih? Nggak jelas banget lo.”“Nasib kita. Gue sedih, nanti buat pulang kampung bagaimana kalau kita semua di pecat.”Ya. Permasalahan seorang k
Senin. Hari di mana semua aktifitas bermula. Semua kerjaan dari hari ke hari menumpuk di hari tersebut. Lagi-lagi Evan di tegur oleh Oliver untuk segera menyelesaikan proyek cafe baru yang tengah ia kerjakan. Tetapi bukan Evan namanya jika tidak punya ide B. Diam-diam proyek itu sudah selesai berkat bantuan tangan kanannya Evan, Renatta dan dua orang karyawan terpercayanya. Bukan Evan malas, lantaran ia juga memiliki bisnis sendiri di luar perusahaan Gtama Group itu. Cuan yang Evan incar sampai-sampai beberapa hari lalu ia melewatkan kunjungannya ke proyek cafe tersebut.“Bagaimana? Lusa kita siap buka cafe baru itu?” Pertanyaan serius itu mengarah kepada Renatta.“Siap, Pak. Semua karyawan baru juga sudah saya rekrut, tetapi masih kurang satu karyawan wanita lagi.”
"Aku membutuhkan ini, Latasha.” Napas Latasha seketika berhenti, ia tidak tahu harus berbuat apa. Takut jika ada salah satu karyawan yang mengetahui perbuatan mereka, pasti Latasha lah yang akan di cap buruk. Akan di cap wanita murahan atau penggoda. Mana ada yang percaya bukan jika Latasha dan Evan dulunya pernah kenal? Bahkan Oliver sendiri pun tidak pernah tahu jika anaknya pernah pacaran atau tidak.Latasha melepaskan pelukan Evan, ada desiran kecewa yang Evan rasakan tetapi ia masih bisa bersikap biasa saja.“Maaf, Van… t-tapi ini kantor. Aku takut kalau—-““Oke. Kamu boleh keluar dari ruangan saya.”Latasha menghel napas, tidak begitu terkejut melihat Evan yang tiba-tiba berubah menjadi dingin. Evan yang sekarang memang tid
Setelah kegiatan diam-diam itu akhirnya makan malam yang Latasha buat telah siap. Sebelumnya ia sudah menyuruh Evan untuk pulang saja, wanita itu merasa tidak pantas memberi hidangan yang amat sederhana kepada anak konglomerat seperti Evan, di tambah rumah kecil Latasha tidak memiliki meja dan kursi makan, yang membuat mereka harus duduk lesehan beralas permadani yang mulai lusuh. Tetapi Evan tetaplah Evan, apa yang dia mau harus terlaksanakan. Mungkin selagi itu masih Latasha oranganya, lelaki tampan itu tidak akan mempermasalahkan.“Makanan ini enak, seumur-umur aku baru coba masakan kamu,” komentar Evan saat melahap sayurnya.Gaitha yang di sampingnya tersenyum girang mendengar komentar Evan. Ia memahami kalau Evan sedang memuji mamanya.“Mama masaknya enak, Itha suka bawa sekolah,” sahut bocah itu.
"Bolehkah kita memulai dari awal lagi?”Latasha tidak bisa berkutik jika tubuhnya sudah dalam pelukan Evan. Tetapi karena ini adalah kantor, wanita itu mencoba untuk melepaskannya dengan lembut.Ada rasa kecewa di mata Evan, tetapi ia masih pandai menyembunyikan hal itu. Beberapa detik setelahnya lelaki itu langsung menyodorkan ciuman ke leher putih Latasha. Sontak wanita itu menghindar yang membuat Evan lagi-lagi kecewa, hanya tawa renyah yang menjadi pengganti susana.“M-maaf Evan, tapi ini kantor aku takut kal—““Ya, aku paham. Sorry.”“Aku permisi dulu.”“Wait, kamu belum jawab pertanyaan aku.”Latasha m