Dengan langkah gontai, Evan berjalan cepat menuju tempat dimana wanita itu di rawat. Pikiran Evan sudah tidak bisa di kontrol lagi, satu yang akan Evan lakukan, menemukan Alvin kemudian membunuhnya. Setelah berada di lantai tiga, ia langsung menuju lorong yang di sana sudah terdapat empat bodyguard suruhan Evan di awal. Tanpa berkata lagi, Evan ingin mendobrak kamar inap Latasha dan hal itu di tahan oleh dua bodyguard lainnya. "Bos, Ibu Latasha masih di tangani. Dia habis melewati perawatan intens karena lukanya, bos." Evan menghempaskan tubuh kedua bodyguard itu sehingga mereka terjatuh di lantai. Belum sempat Evan bergerak, dua bodyguard lainnya menahan tubuh besar Evan agar tidak masuk keruangan tersebut. "Bos, tahan dulu. Masih ada dokter di dalam, kita belum boleh masuk." "Bangsat! Siapa yang berani ngatur gue!" Sentak Evan bersamaan ia mendorong kedua tubuh bodyguardnya. Napasnya memburu, wajahnya merah padam serta rahangnya mengeras, benar-benar menandakan betapa emosinya
"Om... ini Itha dimana? Itha mau pulang, mau ketemu Mama sama Tante Lea." Sudah sekian kalinya Gaitha mengeluarkan kata-kata tersebut kepada Alvin, dan Alvin hanya diam saja seraya mengelus puncak kepala gadis kecil itu. Di lubuk hatinya, Alvin senang meski dulu ia mencampakan istri dan anaknya. Bahkan sosok Gaitha membuat hatinya tenang, wajah Gaitha begitu mirip dengan Latasha. Bahkan cara bicaranya pun sangat mirip dengan mantan istrinya itu, hanya warna mata dan rambut sedikit ikalnya yang mirip dengan Alvin. "Itha... Itha mau punya, Ayah?" Tanya Alvin lembut. Gaitha tampak berpikir, kemudian menjawab dengan polosnya, "Mau. Tapi Itha udah ada Ayah." "Siapa?" "Om." Alvin tampak bingung, "Om?" Gaitha mengangguk, "Om teman Mama, namanya Om Epan!" Seru bocah itu girang. Tatapan Alvin berubah menjadi dingin ketika nama Evan di sebutkan, tetapi Gaitha tidak menyadari itu yang membuatnya kembali normal. "Itha mau tau sesuatu?" "Apa?" Alvin beranjak dari duduknya, ia mengambil
“Pak Evan...” Panggil seorang wanita berusia sekitar tiga puluh tahun. Dengan suara terkesan hati-hati, kepala wanita itu melongo masuk yang membuat Evan sedikit terkejut.Evan hanya meliriknya sekilas. Berusaha biasa saja dan mengizinkan wanita itu masuk keruangannya.Kemudian Evan mempersilahkan wanita itu duduk. Renatta, yang sekarang sudah di depan Evan Farraz Geutama, dengan raut wajah ketakutan. Renatta tidak berani menatap bosnya itu. Lantaran baru dua hari lalu ia membuat kesalahan, memproses PO barang yang salah hingga Evan rugi berpuluh juta. Sejak tamat SMA ia mengikuti jejak sang Ayah di dunia Perbisnisan, yang saat ini bisnis Cafe yang di dirikan sang Ayah sudah sudah ada hampir di penjuru kota, ditambah ia ikut berinvestasi dengan perusahaan-perusahaan besar. Tak main-main, Evan s
Dandelion's Cafe. Tempat ternyaman bagi para pujangga untuk sekedar mampir, menyeruput hangatnya kopi serta aroma cake yang begitu khas dengan resep kopi buatan Oliver. Mencurahkan segala keluh kesah pada hari itu dengan alunan musik jazz sebagai pendukung. Cafe yang terletak sangat strategis di kota besar tersebut tak pernah sepi pengunjung. Lebih banyak saat sore dan malam hari. Tak sedikit juga pengunjung setia mampir hanya untuk mencicipi kopi racikan Oliver tersebut. Hebatnya lelaki itu membuat para anak-anaknya iri sebanarnya, tetapi gengsilah yang menutupi semua itu. Di ujung ruangan, terdapat seorang wanita berumur sekitar 26 tahun. Duduk dengan setelan santai dengan sedikit gugup, seperti sedang menunggu seseorang yang entah kapan datang. Warna kulit putih bersih, bibir tipis berwarna merah muda dan tak lupa wajah baby facenya yang membuat para lelaki melirik ke arah sang wanita. Tentu saja mengira jika ia masih anak sekolah. Di samping itu, terl
Esoknya, hari pertama pekerjaan yang di lakukan oleh Latasha tidak begitu berat seperti di tempat kerja lamanya. Banyak hal-hal baru yang tidak ia lakukan sebelumnya, lebih banyak keluar masuk ke ruangan Oliver. Benar apa kata Renatta, jika pekerjaan wanita itu menjadi Office Girl pribadi Oliver. Latasha sendiri banyak memiliki teman baru yang sebaya dengan dirinya. Tak susah untuk Latasha bertukar cerita.Evan sendiri terkejut bila pertemuan dengan Latasha begitu tak terduga. Dulu, saat SMA, Evan menjadi incaran banyak gadis di sana. Tetapi Evan memilih Latasha yang kuper. Bahkan setelah dua tahun kelulusan, Latasha saja yang tidak hadir di acara reuni. Evan tidak bisa mengekpresikan dirinya saat bertemu Latasha. Ia kikuk dan memilih pergi dari ruangan Oliver. Sesampai di ruangannya, Evan terduduk lemas lantaran masih tidak percaya jika seorang Latasha dari dulu hingga sekarang tidak pernah berubah. Aura kelembut
Evan berjalan cepat menuju club malam seorang diri. Setelah seharian bekerja membuat lelaki itu menginginkan sedikit hiburan. Sesampainya, Evan langsung di sambut oleh penjaga club seperti biasanya. Club milik Tan, temen kuliahnya dulu adalah seorang duda tanpa anak. Kehidupan Tan begitu bebas sehingga status menikah hanyalah pajangan bagi dirinya, Tan sendiri sudah menikah sebanyak empat kali dan tentu saja semua itu tidak bertahan lama. Kecintaan Tan terhadap club membuat istrinya tidak tahan dan memilih untuk cerai. Tan memang pandai dalam menggoda perempuan, ketampanan Tan tidak beda jauh dengan Evan yang anak seorang CEO. Pun kekayaan Tan setara dengan Oliver. “Hi, bro!” Tan menyapa Evan saat ia sedang duduk di sofa bersama wanita malam yang di pilihnya. Evan tak m
“Apakah kamu merindukan seseorang?”Pertanyaan itu terniang-niang di kepala mungil Latasha, ia heran kenapa Evan bertanya seperti itu. Sesaat Evan pergi, wanita itu tidak berbicara lagi dan hanya menunduk. Tidak kuat menatap Evan terlalu lama. Sifat Evan semakin terlihat oleh Latasha jika lelaki itu sudah sedikit berubah, tidak kasar seperti dulu.Ingatan delapan tahun lalu kembali muncul saat Evan beberapa kali sudah menampar Latasha karena masalah kecil. Evan yang dulu sangatlah sensetif dan hanya Latasha yang bisa bertahan cukup lama dengan lelaki mata elang itu. Berbanding terbalik dengan mantan-mantan Evan sebelumnya, belum genap sebulan mereka sudah meninggalkan Evan lantaran tidak kuat. Evan SMA egonya masih tinggi, tetapi ia terpilih jadi ketua osis karena kepintaran lelaki itu serta ide-ide brilian dalam mengembangkan kedisiplinan para siswa.
“Itha langsung ke kamar mandi, ya.” “Mama, tadi om cakep. Milip sama temen iItha.” Ucapan bocah itu sontak membuat Latasha terkejut. Ia hanya tersenyum dan menyuruh Gaitha untuk segera ke kamar mandi. Dari balik jendela, Latasha masih memperhatikan mobil donker itu diam di depan rumahnya. Merasa ada kepingan hati yang tak boleh pergi, Latasha tersenyum tipis tanpa ia sadari. Kesakitan yang ia rasakan dulu seperti sudah terhapus dengan sedikit perubahan Evan meski tanpa sentuhan. Sekali lagi, Latasha mencoba menyadarkan dirinya. “Kalian udah beda status! Stop it, Ta!” *** Di perjalanan Evan menelpon Tan, sebagai orang yang sudah pernah menikah, mungkin Tan tahu alasan-alasan apa yang membuat dua sejoli memutuskan untuk bercerai. Maklum saja, Evan belum memikirkan untuk menikah, sudah menikmati tubuh be