“Apakah kamu merindukan seseorang?”
Pertanyaan itu terniang-niang di kepala mungil Latasha, ia heran kenapa Evan bertanya seperti itu. Sesaat Evan pergi, wanita itu tidak berbicara lagi dan hanya menunduk. Tidak kuat menatap Evan terlalu lama. Sifat Evan semakin terlihat oleh Latasha jika lelaki itu sudah sedikit berubah, tidak kasar seperti dulu.
Ingatan delapan tahun lalu kembali muncul saat Evan beberapa kali sudah menampar Latasha karena masalah kecil. Evan yang dulu sangatlah sensetif dan hanya Latasha yang bisa bertahan cukup lama dengan lelaki mata elang itu. Berbanding terbalik dengan mantan-mantan Evan sebelumnya, belum genap sebulan mereka sudah meninggalkan Evan lantaran tidak kuat. Evan SMA egonya masih tinggi, tetapi ia terpilih jadi ketua osis karena kepintaran lelaki itu serta ide-ide brilian dalam mengembangkan kedisiplinan para siswa.
Tak heran Evan di pandang baik oleh guru-guru, tetapi di pandang buruk oleh teman-temannya karena attitude. Baik buruknya Evan di kesampingan dengan otaknya yang cerdas, sudah terbukti Oliver tidak main-main dalam mendidik anak, meski harus merasakan pahitnya.
“Hei, bengong aja pagi-pagi.” Rumi datang seraya menyenggol bahu Latasha pelan.
“Rumi, kukira kamu udah datang duluan.”
“Gue nggak serajin lo juga, Ta.”
Latasha hanya tersenyum tipis, kemudian ia bergegas untuk mulai bekerja.
***
“Kak Evan!”
Suara menyebalkan itu datang dari balik pintu di ruangan Evan. Cowok itu masuk dengan santai tanpa menunggu jawaban dari Evan. Ia duduk di sofa milik Kakak keduanya itu. Ya, Erick Fernando Geutama, cowok itu hanya cengar-cengir tak jelas. Membuat Evan muak di pagi hari melihat tingkahnya.
“Mau apa?”
“Kenapa sudah dua hari ini Kakak nggak pulang?”
“Sibuk.”
Erick memutar kedua bola matanya kesal, Evan salah satu anak yang jarang sekali pulang semenjak bekerja dan di karenakan ia sudah mempunyai apartemen. Jarak antara rumah dan kantor pun terbilang tidak terlalu jauh.
“Mama dan Lily rindu sama Kakak." jedanya, “Aku juga.”
Evan melirik tajam ke arah Erick yang sekarang sedang tersenyum tak jelas. Adik satu-satunya itu memang sudah bisa di tebak, tak pernah sekalipun Erick serius jika ia rindu dengan kakaknya. Melainkan ada sesuatu yang ingin ia pinta dari lelaki tersebut.
“Mau apa?”
Erick menggaruk belakang lehernya yang tak gatal, ia mulai sedikit salah tingkah saat Evan mengetahui maksud kedatangannya.
“Aku ingin laptop baru, Kak.”
Evan berdecak, “Ke mana laptop yang di beri ayah?”
“Ada, tapi aku sudah bosan. Lagi pula memorinya sudah full.”
“Buat apa?”
“Tugas kuliahku, Kak.”
Evan tersenyum devil, ia tak percaya jika Erick serajin itu.
“You're liar. Palingan penuh karena video dewasa.”
“Ng—nggaklah.”
“Yakin?”
“Ada sedikit. T-tapi aku mau laptop baru!” Kekeh Erick.
Evan hanya menggelengkan kepalanya, jika Oliver mengetahui tingkah Erick pasti lelaki tua itu tak segan-segan menghukum bocah itu dengan tidak memberi uang jajan selama tiga bulan. Evan pernah merasakan hal tersebut saat kuliah, bukan karena ia menyimpan video dewasa, melainkan Evan kedapatan bolos beberapa hari. Evan saat kuliah belum memiliki banyak uang, pertemanannya dengan Tan membuat dirinya sedikit terbantu untuk bisa mendapatkan uang jajan.
“Nggak semudah itu, bocah. Kamu harus dapatkan nilai A di semester ini. Baru Kakak belikan!”
“Kak, Evan…”
“Enough!”
Erick hanya mendesah pasrah. Evan kembali melanjutkan pekerjaannya sementara Erick memainkan ponselnya. Evan tahu jika Erick menghampirinya berarti sedang tidak ada kuliah. Meski Erick sedikit bandel, tetapi Evan bersi keras untuk tidak mengizinkan Erick bolos dalam kuliah. Erick anak terakhir dan satu-satunya harapan keluarga Geutama untuk meneruskan bisnis-bisnis Oliver kelak atau mungkin dengan pilihan hidup Erick sendiri ingin menjadi apa.
Selesai perdebatan kecil itu, Latasha masuk setelah Evan menyuruhnya. Dengan sedikit gugup, Latasha berjalan ke meja kerja Evan seraya membawa nampan berisi kopi. Tak menyadari kehadiran Erick di sana, bocah itu mulai sok kenal dengan Latasha.
“Wah! Ini karyawan baru, ya?” Erick menghampiri Latasha yang mulai terkejut dengan kehadirannya.
“I-iya.” jawab Latasha gugup.
“Cantik banget! Pasti Kak Evan betah, deh.”
“Berisik.” Evan mulai terganggu dengan Erick.
“Saya permisi dulu.” Latasha langsung pamit setelah menaruh secangkir kopi untuk Evan.
“Mba, aku juga mau! Tolong bikinkan aku teh aja, ya. Terus sam-“
“Erick!” Evan mulai tak mengerti dengan adiknya itu.
“Aku mau minum haus.”
“Ada kulkas di sini, ambil aja apa yang kamu mau! Lastasha kamu boleh pergi… Makasih kopinya.” Ada senyum tipis yang terukir di akhir katanya.
Latasha hanya mengangguk dan pergi. Jantungnya mulai berdebar tak karuan setiap kali Evan tersenyum kepadanya. Dulu Latasha merasakan hal yang sama, tetapi sekarang begitu berbeda. Latasha berpikir, apakah Evan sudah berubah dan merasa menyesal?
***
“Halo, iya kenapa Lea?”
“Kak Tata udah pulang? Kayanya gue nggak bisa jemput Gaitha di sekolah, lembur sampai malam.”
“Oh begitu, ya udah nggak apa-apa. Kakak udah mau pulang ko.”
“Oke, hati-hati, Kak.”
Percakapan di tutup. Latasha menaruh ponselnya lalu bergegas untuk pulang setelah menerima telepon dari Lea. Sesaat keluar dari pantry, Latasha berpapasan dengan Evan yang sedang memainkan ponselnya dengan serius. Evan sedikit terkejut melihat Latasha yang sudah ingin pulang.
“Mau ke mana?” tanya Evan dengan nada dingin. Seraya memasukan ponsel ke saku celana, Evan mulai menatap intens ke arah Latasha.
“Pulang. Sudah waktunya pulang.”
“Biar ku antar.”
Latasha terkejut. Dengan melihat status mereka Latasha takut jika ada salah satu orang kantor yang melihat. Memang tidak ada yang tahu jika mereka berdua dulunya sepasang kekasih.
“T-tapi nanti ka—“
“Nggak ada penolakan.”
“T-tapi, Van…”
“Tunggu aku di parkiran.”
Evan berlalu meninggalkan Latasha yang bengong sendirian di lorong kantor. Wanita itu menoleh kanan kirinya untuk memastikan tidak ada orang yang memperhatikan. Melihat sudah aman, ia langsung menuju parkiran sesuai intruksi Evan.
Sesampainya, Latasha tidak melihat Evan bahkan ia pun tidak tahu mobil Evan yang mana. Dulu saat sekolah, Evan selalu memakai mobil berwarna donker dengan merk apa pun. Mungkin saja sekarang selera lelaki itu sudah berubah, di lihat dari status dan keuangan Evan yang sangat baik.
Suara klakson membuyarkan lamunan Latasha, ia menoleh dan melihat Evan yang memberi isyarat agar masuk ke mobil. Latasha mengikuti, ia ragu ingin duduk di samping Evan. Tetapi lelaki itu sudah membukakan pintunya dari dalam.
“Ke mana?”
“Eng… aku mau jemput Gaitha dulu di sekolah.”
“Di mana?” tanya Evan lagi tanpa melirik Latasha.
Latasha langsung memberi alamat yang di tuju, Evan langsung melaju dengan kecepatan sedang.
Di perjalanan sesekali Latasha curi-curi pandang ke Evan. Tak percaya jika lelaki itu akan mengantarnya pulang. Keheningan menyelimuti mereka hingga panggilan telepon masuk ke ponsel Evan, itu dari Renatta. Tetapi tak di gubris oleh Evan.
“Evan…,” Latasha mulai memberanikan diri.
“Hm?”
“Terima kasih, udah mau antarkan aku pulang.”
“He-em.”
“Bagaimana kabarmu?”
“Seperti yang kamu lihat.”
“Jauh lebih baik.” Latasha tersenyum setelah mengatakan seperti itu. Ia tidak menyesali berpisah dengan Evan dulu, mungkin saja pertemuan ini akan menjadi pertemanan. Entahlah.
“Suamimu?”
Latasha sedikit terkejut. Ia belum siap untuk menceritakan hal itu kepada Evan, Latasha berpikir jika hal itu tidak penting kalau lelaki itu mengetahuinya. Kehidupan mereka sudah berbeda, setiap kali pertanyaan itu muncul, detik itu juga hati Latasha seperti di hantam oleh belati besar. Hancur jika mengingat hal pahit yang ia rasakan.
“Maaf Evan, aku—“
“Lupakan.”
Hening. Sisa perjalanan hanya di temani suara musik dari mobil Evan, hingga mereka sampai pada tujuan.
“Sampai sini aja nggak apa-apa, rumahku dekat-“
“Jemput anakmu dan kita pulang.” Potong Evan cepat. Tentu saja Latasha menurut dan keluar dari mobil, menghampiri Gaitha kemudian kembali masuk mobil.
“Mama, itu siapa?” Saat mobil melaju bocah itu berbisik kepada Latasha menanyakan tentang Evan.
“Ini…”
“Hai gadis kecil, aku Evan. Panggilnya Om Evan, ya.” balas Evan ramah sambil sesekali melirik Gaitha.
Bocah itu tersenyum, kemudian memperkenalkan diri dengan bangganya, “aku Itha, anak mama.”
“I know you.” balas Evan seraya tekekeh pelan.
Gaitha hanya tertawa yang padahal ia sendiri tidak mengerti Evan berbicara apa. Di perjalanan Gaitha mulai bercerita jika ia belajar berhitung dan membuat huruf alfabet. Latasha senang mendengar itu lantaran anaknya mendapatkan nilai bagus.
Evan yang melirik kebahagian kecil di sampingnya merasa ada sayatan kecil yang menyentuh hatinya. Entah apa itu, Evan sendiri belum bisa memastikan.
“Di sini, sudah sampai.”
Mobil Even berhenti, ia melihat kanannya setelah Latasha memberitahu jika ia tinggal di sana. Evan merasa pedih meski ia tetap memasang wajah datar. Terakhir kali ia menjalin hubungan dengan Latasha, wanita itu tinggal di tempat yang sangat layak. Jauh dengan sekarang. Evan bisa memastikan kehidupan Latasha sudah berubah 180 derajar setelah mereka pisah.
“Telima kasih, Om.”
“Terima kasih, Evan. Hati-hati.”
Evan hanya mengangguk dan melambaikan tangan kepada Gaitha sambil tersenyum. Keduanya masuk dan menghilang di balik pintu. Ada rasa yang harus di bayar oleh Evan, tetapi tidak tahu cara untuk melunasinya.
“Maafkan aku, Latasha.” ucapnya pelan meski ia tahu jika Latasha tidak akan mendengarnya.
“Itha langsung ke kamar mandi, ya.” “Mama, tadi om cakep. Milip sama temen iItha.” Ucapan bocah itu sontak membuat Latasha terkejut. Ia hanya tersenyum dan menyuruh Gaitha untuk segera ke kamar mandi. Dari balik jendela, Latasha masih memperhatikan mobil donker itu diam di depan rumahnya. Merasa ada kepingan hati yang tak boleh pergi, Latasha tersenyum tipis tanpa ia sadari. Kesakitan yang ia rasakan dulu seperti sudah terhapus dengan sedikit perubahan Evan meski tanpa sentuhan. Sekali lagi, Latasha mencoba menyadarkan dirinya. “Kalian udah beda status! Stop it, Ta!” *** Di perjalanan Evan menelpon Tan, sebagai orang yang sudah pernah menikah, mungkin Tan tahu alasan-alasan apa yang membuat dua sejoli memutuskan untuk bercerai. Maklum saja, Evan belum memikirkan untuk menikah, sudah menikmati tubuh be
Latasha terbangun dari tidurnya. Ia melihat jam dinding dengan panik saat jarum itu menunjukkan pukul delapan pagi. “Astaga!” Latasha langsung bersiap diri dengan terburu-buru, ia bahkan mengabaikan ucapan pagi dari Gaitha. Lea yang menyadari itu merasa aneh melihat Latasha hampir terjatuh saat masuk ke kamar mandi. Niat ingin bertanya, hal itu Lea urungkan saat Gaitha merengek meminta sarapannya.“Sebentar, bocah. Nanti Tante Lea antar ke depan, ya.”Setengah jam sudah berlalu Lea langsung bertanya kepada Latasha saat keluar dari kamar mandi. “Kak Tata kesurupan apa pagi-pagi?”Latasha mengerutkan kening, “Lea! Kamu nggak bangunin Kakak, ya. Kakak telat masuk kerja!”“Hah? Sekaran
Latasha memasuki rumah dengan langkah terburu-buru hingga ia tak membalas sapaan Gaitha yang kegirangan melihat mamanya pulang. Wanita itu bergegas masuk kamar mandi untuk segera bebersih sejenak, kemudian langsung membenahi barang belanjaannya. Pikiran Latasha melayang entah kemana, tanpa ia sadari bulir air mata itu turun dengan sendirinya. “Mama," panggil Gaitha seraya menarik lembut ujung baju Latasha, seketika ia tersadar lalu menghapus air mata itu dan menoleh ke anaknya. “Kenapa sayang?” “Manggil-manggil mama nggak jawab,” omel bocah itu. Latasha terkekeh, ia jongkok agar bisa setara dengan Gaitha lalu memasang wajah memelas untuk meminta maaf. “Maaf ya, tadi mama kebelet pipis,” dusta Latasha. Gaitha yang awalnya diam kemudian mengangguk, “Kue mana?” tanyanya sambil mengadahkan kedua tangan mungilnya. Latasha
Latasha melepaskan genggaman Evan dengan cukup kasar, kemudian ia merapihkan pakaiannya lalu pergi meninggalkan Evan tanpa kata permisi. Pertama kalinya bagi seorang Evan merasakan pedih ketika seseorang acuh tak acuh kepadanya. Selama ini Evan merasa dirinya cukup berkuasa dan tidak pernah menerima penolakan dari siapapun. Ia sendiri pintar dalam hal itu hingga lawan bicaranya bisa bertekuk lutut dengannya. Tetapi kali ini, semua persepsi ia adalah seorang yang tidak mudah di tolak, di patahkan langsung oleh perubahan sikap Latasha kepadanya. Latasha yang dulu dan sekarang begitu beda di pandangan Evan. Kepolosan wanita itu masih menjadi ciri khasnya, tetapi sikapnya bisa menjadi dingin dengan caranya sendiri.“Shit!” Umpat Evan kesal. Ia hampir mendorong kursi kesayangannya itu ke arah jendela.“Siapa dia? Siapa yang sudah menyakitinya lebih dari aku?&r
Lea mundar-mandir hingga Gaitha heran melihat dirinya, telfon yang di genggamnya sesekali di banting karena lawannya tidak menjawab panggilannya.“Tante, main apa?” Dengan polosnya bocah itu bertanya seraya memakan bolu di tangan sebelahnya.Lea berhenti dari kegiatannya dan menoleh ke arah Gaitha dengan wajah menahan amarah, “Tante telfon mama kamu, tapi nggak di angkat. Ke mana mama kamu, ya? Udah jam lima belum pulang.”“Mama kelja, tadi salim sama, Itha.”Lea menghela napas, ia menghampiri Gaitha dan berjongkok, “Itha nonton film kartun aja, ya.”
Lea terdiam di sebuah ruangan serba abu-abu dengan mata menahan tangis. Tak hanya dia, beberapa orang di sana juga sedang gelidah menunggu seseorang yang sebentar lagi akan datang untuk memberi berita. Entah apa itu, yang jelas nasib meraka yang di ruang tersebut sedang di ujung tanduk.“Le,” panggil seorang cowok klimis di samping Lea.“Ngapa?”“Bagaimana, ya, Le?”Lea masih belum mau menatap siapapun, ia hanya tertunduk seraya memainkan jari-jarinya, “Apaan, sih? Nggak jelas banget lo.”“Nasib kita. Gue sedih, nanti buat pulang kampung bagaimana kalau kita semua di pecat.”Ya. Permasalahan seorang k
Senin. Hari di mana semua aktifitas bermula. Semua kerjaan dari hari ke hari menumpuk di hari tersebut. Lagi-lagi Evan di tegur oleh Oliver untuk segera menyelesaikan proyek cafe baru yang tengah ia kerjakan. Tetapi bukan Evan namanya jika tidak punya ide B. Diam-diam proyek itu sudah selesai berkat bantuan tangan kanannya Evan, Renatta dan dua orang karyawan terpercayanya. Bukan Evan malas, lantaran ia juga memiliki bisnis sendiri di luar perusahaan Gtama Group itu. Cuan yang Evan incar sampai-sampai beberapa hari lalu ia melewatkan kunjungannya ke proyek cafe tersebut.“Bagaimana? Lusa kita siap buka cafe baru itu?” Pertanyaan serius itu mengarah kepada Renatta.“Siap, Pak. Semua karyawan baru juga sudah saya rekrut, tetapi masih kurang satu karyawan wanita lagi.”
"Aku membutuhkan ini, Latasha.” Napas Latasha seketika berhenti, ia tidak tahu harus berbuat apa. Takut jika ada salah satu karyawan yang mengetahui perbuatan mereka, pasti Latasha lah yang akan di cap buruk. Akan di cap wanita murahan atau penggoda. Mana ada yang percaya bukan jika Latasha dan Evan dulunya pernah kenal? Bahkan Oliver sendiri pun tidak pernah tahu jika anaknya pernah pacaran atau tidak.Latasha melepaskan pelukan Evan, ada desiran kecewa yang Evan rasakan tetapi ia masih bisa bersikap biasa saja.“Maaf, Van… t-tapi ini kantor. Aku takut kalau—-““Oke. Kamu boleh keluar dari ruangan saya.”Latasha menghel napas, tidak begitu terkejut melihat Evan yang tiba-tiba berubah menjadi dingin. Evan yang sekarang memang tid