Menilik panjang, sejarah terlahirnya manusia yang memiliki sudut pandang beragam. Menurut ilmuwan, manusia pada zaman dahulu adalah seekor kera. Namun pada titik di mana kau memeluk sebuah agama, pandangan tentang dari mana asal manusia pasti telah berbeda. Pada titik akhir, semua orang memiliki pemikiran masing-masing. Lalu semua orang hidup dengan ketakutannya masing-masing.
Seperti Satara yang masih takut melihat garis-garis zebra cross.
Layaknya Juna yang takut Tara beralih kepada laki-laki lain.
Atau mungkin pula seperti Jeno yang takut, tiba-tiba kehilangan sesuatu yang berharga tanpa sempat mengucapkan kalimat perpisahan.
Satara, Renjuna maupun Jeno sendiri sudah melewati tahap satu untuk mengatasi ketakutan akan masa kelam: yakni ikhlas.
Mereka sudah ikhlas. Tapi Tara dan Juna berhenti di sana. Dua-duanya berputar-putar dalam labirin penuh kegamangan. Lalu berhenti di tempat karena
Momen ini terasa dejavu berat bagi Tara.Bukan satu, atau dua kali. Namun sangat sering Juna seperti ini.Juna menarik ia keluar dari ruko Jeno, tak peduli mau sesusah apa Tara menyamai cara berjalannya yang terlampau cepat."Jun ... sakit," rintih gadis itu, yang sama sekali tak digubris oleh laki-laki di depannya.Sampai di area parkir, mereka langsung saja menuju mobil hitam andalan Juna. Laki-laki itu membukakan pintu penumpang untuk Tara, setelah memastikan gadisnya masuk ke dalam, barulah ia berjalan setengah memutar lewat depan, duduk di kursi pengemudi.Hening lama yang mereka temui. Tatkala lagu Putus atau Terus milik Judika mengudara dengan volume paling kecil, Tara diam sambil memasukkan kedua tangannya ke saku hoodie.Dia tak punya nyali untuk sekedar mengalihkan pandangannya dari luar jendela.Rintik-rintik air mulai turun, kecil-kecil dan tiba-tiba grasak seperti perasaan Juna sa
[Kalau ada tanda: *** artinya kejadian itu terjadi dalam hari yang sama. Kalau ada tanda - oOo - artinya sudah berganti hari.] *** Seperti yang sudah berlalu, tak peduli sehebat apa mereka bertengkar. Selama apa mereka saling diam, dan betapa tajam tatapan mereka menghujam satu sama lain—mereka tetap kembali. Tetap di sini, untuk saling memeluk. Untuk bertahan dan mencintai sebagaimana mesti. Juna tak tahu apa yang dipikirkan oleh Tara, pun sebaliknya. Tapi setidaknya mereka sama-sama tahu, apa pun keadaannya, mereka saling mencintai. Itu saja. Sudah cukup untuk membuat mereka tetap tidur dalam satu selimut yang sama malam ini. Setelah drama air murahan yang mereka lakukan di bawah hujan, Juna dan Tara kembali masuk ke dalam mobil. Pergi, pulang. Mereka kembali seperti biasa, Juna menghang
Pukul satu siang, mereka kehabisan bahan seru-seruan. Bahkan sekarang Martin dan Dava tengah tertidur di atas sofa, berselimutkan sarung bekas sholat dhuhur.Jeno dan Deva, si tidak banyak bicara namun kompetitif sekarang sedang berusaha saling mengalahkan."Yes! Lo kalah." Jeno mengangkat kepalan tangannya tinggi-tinggi, berbangga diri sebab telah mengalahkan Si kompetitif dari jurusan farmasi, Aldeva!Deva mengeram kesal, dia membuang stick begitu saja. Lantas mengacak rambut sebab merasa gagal. Sekompetitif itulah Deva, sangat berbeda dengan Dava yang santai.Jay dan Elendra sedang bergulat sengit melalui tatapan mata masing-masing, mereka sedang bermain catur secara sengit dan panas. Orang-orang selalu bertanya, kenapa pertandingan mereka tidak pernah selesai sejak masih kuliah?Ini alasannya ..."Gue bakal menang wahai
Gadis dengan rambut yang sudah dicepol asal, wajah lesu, dan pikiran yang hampir saja meledak seandainya dia adalah mesin. Menjadi mahasiswi tahun ketiga tidak pernah mudah, praktik dan makalahnya sering ditolak. Tara jadi menyesal tidak giat belajar sejak lalu-lalu.Dia membuang bungkus permen lewat celah jendela, dengan lagu ballad berbahasa Mandarin—yang Tara mau tidak mau suka, karena Juna juga suka—mengalun lembut di setiap inci mobil Juna.Tara memperhatikan air embun di jendela mobil yang ia dan Juna kendarai saat ini, dalam hati ia bertanya-tanya: apakah sebab sekarang hujan, jadi embun datang, kalau iya, ia suka."Jun." Tara mengalihkan pandangannya pada Juna yang fokus menyetir.Mereka baru saja pulang dari kafe, lebih tepatnya Juna menjemput Tara yang sedang berada di kafe. Gadis itu tengah mengerjakan tugas kelompok."Hm, kena
Tara melihat tangan kecilnya digenggam erat-erat. Dia terserang panik berlebihan saat bunyi klakson bersahut-sahutan di telinga, ditambah lagi suara ayahnya yang meneriakkan nama Tara dan seorang wanita di sebelahnya keras-keras.Begitupun yang dilakukan oleh Tirta, Kakaknya.Mereka bersiap untuk menyebrang. Tidak ada yang bisa ia lakukan selain menuruti langkah orang itu. Tenaganya tak cukup besar untuk menolak.Tin!!! Tin!!!Sebuah truk pengangkut pasir terang-terangan menabrak tubuhnya, ia terpelanting jauh. Tubuh kecil itu terseret beberapa meter di atas material aspal yang kasar.Selesai.Tubuhnya sudah tergolek tak bernyawa. Bersimbah darah di kanan kiri dengan luka memenuhi setiap inci.Tara terbangun dengan napas tersengal-sengal, keringat mengucur deras lewat pelipisnya. Rambut basah oleh keringat dengan tangan gemetar hebat.Buru-buru ia membuka nakas yang berada tepat d
"Ra cepet turun sini, cepet!""Ih bentar!!" Tara balas berteriak.Dia sedang mencari antingnya yang tinggal sebelah. Hari ini mau berangkat kuliah bareng ayahnya karena dia masih kesal terhadap Juna.Bahkan gadis itu sama sekali tak membuka ponsel sebab tahu, Juna pasti sudah menghubungi berkali-kali dan mengirim pesan spam sambil marah-marah."Ih cepetan."Tara sontak menoleh saat mendapati ayahnya sudah berdiri di daun pintu kamarnya yang berwarna biru langit."Bentar, ih! Anting aku kemana ya, Pa?" Tara kembali mengacak-acak ranjangnya, siapa tahu anting berhiaskan permata mini itu menyelip di sana."Anting?""Iya. Papa liat nggak?""Anting yang ada permatanya?"Tara kembali melihat Papanya yang sudah berpakaian rapi, hendak mengurus masalah penyewaan gedung."Iya," balas gadis itu penu
Bagi orang-orang kalimat "Aku tak bisa hidup tanpanya" adalah bualan semata. Tapi bagi Juna, rangkaian kata itu bukan sekedar rayuan. Itu nyata adanya.Juna tak bisa hidup tanpa Tara. Tak ada hari tanpa Tara dan tak ada napas tanpa memikirkan gadis itu.Semua. Semua napas, setiap butir nasi yang masuk ke dalam tubuh, setiap inci tubuh dan jiwanya, Juna merasa; itu semua untuk Tara. Milik Tara.Juna merasa ... dia bisa melawan semuanya termasuk semesta untuk mendapatkan Tara.Pada hari-hari penuh kebimbangan, Juna berusaha mati-matian untuk menerima Tara. Tak mudah memang, tapi gadis itu berhasil.Mereka akhirnya saling mencintai.Tapi tak ada yang berubah, Juna tetap Juna yang dulu dan Tara semakin parah. Tapi mereka bersikap abai terhadap kenyataan tersebut.Mereka berdua hanya berderap pada jala
Hari ini semua orang kembali sibuk, Tirta sebagai pemegang predikat manusia ganteng yang tak pernah pacaran tapi sangat populer di kalangan para penyewa gedung—harus kembali ke kantor untuk mengurus segalanya yang harus diurus.Pemuda itu telah siap dengan celana chinos hitam dan kemeja merah jambu yang sialnya tampak serasi-serasi saja dengan rambutnya yang baru dicat berwarna biru. Rambut yang sudah berganti warna sebanyak tiga kali dalam empat bulan terakhir.Pemuda itu membenarkan kacamatanya sebelum beranjak dari kursi bar, menyelesaikan sarapannya. Begitupun yang dilakukan oleh satu-satunya perempuan di rumah itu, Tara. Gadis tersebut sudah siap dengan kemeja biru muda dan celana jeans senada, wajahnya yang selalu ceria kini kontras dengan kepribadiannya. Terlihat sangat frustasi serta kelelahan, kantung mata terlihat jelas seperti digambar dengan eyeshadow.Kantor Tirta tidak jauh-jauh amat