Saat acara usai, Luna langsung berhambur dan memeluk Matteo dengan erat. Dia telah melihat hal yang sangat menyakitkan secara bersamaan malam itu. Ayah kandungnya yang menatapnya penuh kebencian dan saudara tiri bersama mantan tunangannya yang terlihat mesra di hadapannya. Luna seolah bukan siapa-siapa bagi mereka. Gadis itu benar-benar merasa kecil sekarang. Matteo menarik nafas dalam lalu membalas pelukan Luna. Gadis itu pasti merasa sangat tersiksa di sepanjang acara. "Jangan menangis, Luna. Kau tidak sendiri." bisik Matteo dengan suara lembut yang menenangkan hati Luna. "Terima kasih, Matteo. Seandainya tadi aku tidak melihatmu tersenyum dan memberi semangat padaku, mungkin aku tidak bisa melakukannya. Aku begitu gugup dan tidak memiliki sedikitpun rasa percaya diri." Luna tertawa ringan, menutupi alasan sesungguhnya yang membuatnya bersedih. "Kau tidak perlu berterima kasih, Sweetheart. Sudah menjadi kewajibanku untuk selalu menyemangatimu," Matteo mengelus kepala Luna
"Apa kau baik-baik saja, Luna?" tanya Stefano berbasa-basi saat berjalan mendekat ke arah mereka. Bulu mata lentik gadis itu masih basah oleh air mata. Tanpa mendengar penjelasan dari Luna, Stefano sudah tahu apa yang membuat gadis itu menangis. Tatapan Stefano dan Matteo saling bertabrakan. Sebagai seorang sahabat, mereka bisa membaca tatapan satu sama lain. Matteo mengartikan tatapan Stefano kali ini dengan kalimat; "Tenangkan gadis itu, Matteo. Dia sangat membutuhkan ketenagan darimu." yang Matteo balas dengan senyum samar. Matteo kembali menarik tubuh Luna agar kembali bersandar di dadanya. Gadis itu tampak tersenyum tulus, kendati kesedihan tetap terlihat jelas di wajah rupawannya. "Saya baik-baik saja, Tuan Stefano. Untung saja dia ada untuk melindungiku." Luna mendongak dan melihat ke belakang untuk dapat menatap wajah Matteo yang lebih tinggi darinya. "Saya tidak tahu apa yang akan terjadi jika pria ini tidak bersamaku tadi." "Kau dan keluarga Tuan Alexander terlih
Sepanjang perjalanan Luna tidak berhenti menatap ke arah luar jendela yang memperlihatkan jajaran gedung. Pikirannya tidak berhenti berkelana pada kejadian di Magnolia spring Resort malam itu. Dia telah menerima penolakan dari ayah kandungnya sendiri. Apakah dia sanggup membenci ayahnya? Meskipun hubungan mereka telah berubah atau mungkin sudah berakhir, ikatan darah dan kenangan tetap ada, dan tidak bisa dihapus begitu saja. Alis Luna bertaut saat menyadari bahwa Matteo mengendarai mobil melalui jalan yang Luna tahu bahwa itu bukan rute menuju apartmen mereka. "Kita mau kemana?" Luna menoleh ke arah Matteo dengan tatapan bertanya. "Nanti kau akan tahu." Matteo menoleh sekilas sembari tersenyum kepada Luna. Gadis itu menarik siku untuk melihat jam yang melingkar di pegelangan tangannya. Waktu sudah sangat larut untuk bepergian. "Tetapi ini sudah pukul 11.45 malam," "Besok akhir pekan, Luna. Kau tidak perlu khawatir jika terlambat bangun keesokan harinya." Luna terd
Luna terkesiap saat Matteo tiba-tiba membopong tubuhnya. Tidak ada pilihan lain bagi Luna selain mengalungkan lengannya pada leher Matteo. Pria itu menunjukan raut wajah serius yang membuat Luna merasa terintimidasi. Matteo langsung membawa Luna ke kamar mandi hotel. Pria itu menyiapkan air hangat untuk memenuhi bathtub. "Maaf, aku langsung membawamu kesini. Mungkin aku terlalu egois telah membatasi keinginanmu untuk bersenang-senang dengan air pantai. Tetapi aku tidak bisa menahannya lebih lama." ucap Matteo sembari melepas kancing kemeja Luna. "Aku sudah berkata padamu, kau bisa melakukannya kapanpun kau mau," jawab Luna yang saat itu pasrah dengan perbuatan Matteo yang melucuti pakaiannya. Dalam hitungan menit semua pakaian Luna telah tanggal di atas lantai, memperlihatkan tubuh polosnya yang membuat jantung Matteo berdetak kencang. Gadis itu bahkan tidak malu menunjukan ketertarikannya pada Matteo. Luna mengalungkan tangan pada leher Matteo dan sedikit berjinjit, sebelum
Bugh! Mata Luna yang terpejam saat menanti kecupan bibir dari Adrian seketika terbuka lebar saat melihat kekasihnya, Adrian, sudah tersungkur di atas tanah. Seolah belum puas melihat Adrian kesakitan dengan pukulan yang baru saja Matteo daratkan, Matteo Vicenzo yang merupakan bodyguard Luna, kembali menghujani pukulan di perut Adrian. "Teo, hentikan!" pekik Luna Winterbourne yang berhasil membuat Matteo menghentikan pukulannya, sehingga tangan mengepal pria itu berhenti di udara. Gadis itu mendekati Adrian yang susah payah berusaha bangkit ke posisi duduk. Sentuhan Luna pada wajah Adrian yang memar seketika mendapat tepisan kasar dari kekasihnya. "Aku sudah berulang kali mengatakan padamu untuk tidak membawa bodyguardmu saat kita bertemu! Dia selalu saja mengacaukan segalanya!" geram Adrian sebelum akhirnya bangkit perlahan dan pergi meninggalkan Luna. Alis Luna bertaut, dia sendiri tidak tau dari mana arah datangnya Matteo. Pria itu muncul tiba-tiba tanpa terdengar suara derap
"Apa yang membuat wajahmu babak belur begitu?" tanya Emily saat mendapati wajah Adrian memar. "Bodyguard bodoh Luna menghajarku tanpa sebab." jawab Adrian berbohong dan memasang raut wajah polos, karena tidak mungkin dia mengaku kepada Emily bahwa memar di wajahnya terjadi karena dia berusaha mencium Luna, yang tak lain adalah saudara tiri Emily. Bisa-bisa Emily marah saat itu juga. Pria itu menyesap minuman yang sudah Emily pesan beberapa menit sebelum pria itu datang ke cafe tempat mereka berada saat ini. Di kursi seberang meja, Emily menatap lekat pada wajah kekasihnya tesebut. Karena sedingin apa pun pembawaan Matteo, tetapi menurutnya pria itu bukanlah orang dengan gangguan jiwa yang akan menyerang siapa pun tanpa alasan. Emily meragukan jawaban Adrian. “Kau pasti berbohong! Pasti kau melakukan sesuatu yang membuat amarahnya tersulut.” desak Emily dengan tatapan penuh selidik.Andrian pun menarik nafas berat dan menghembuskannya perlahan sebelum akhirnya mengakui kesalahannya
"Bastard!" geram Matteo saat mendapati tubuhnya terjerembab di atas lantai tanpa menyadari siapa pelaku yang mendorongnya.Pria 32 tahun itu berjalan gontai menuju ke sebuah ranjang, karena dalam keadaan mabuk berat pun dia tau bahwa berbaring di ranjang jauh lebih nyaman dari pada di atas lantai yang dingin.Dibawah pengaruh psikedelik yang Adrian masukkan ke dalam minumannya, menjadikan Matteo berhalusinasi dan mulai bereuforia saat melihat gadis yang dia sukai terlelap di atas ranjang hanya menggunakan pakaian dalam, sementara gaun indah yang melekat pada tubuhnya tergeletak di atas lantai."Ah, Luna, aku nyaris berpikir bahwa harapanku akan pupus malam ini." gumam Matteo sembari menyentuh pipi Luna yang sehalus porseline cina. "Ternyata aku salah, kau datang dan menyerahkan tubuhmu sepenuhnya padaku! Sekarang aku sadar, cintaku tidak bertepuk sebelah tangan!" Dalam halusinasinya, Matteo melihat Luna seolah sangat berhasrat padanya, sehingga ia pun tertawa renyah karenannya."Baik
Diliputi perasaan gelisah, Luna ahirnya memenuhi panggilan ayahnya ke ruang tamu diikuti oleh Matteo yang juga memenuhi panggilan Alex.Ternyata tidak hanya Alex yang ada di sana, ada Adrian dan juga kedua orang tuanya, Robert Carter dan Sarah Carter. Semua orang yang ada di sana menatap Matteo dan Luna dengan tatapan benci. Seketika atmosfer di ruangan tersebut terasa berat bagi Luna. "Ada apa Ayah memanggilku?" tanya Luna yang sama sekali tidak tahu apa tujuan Alex memanggilnya. Raut wajah polos Luna seketika menambah kemarahan Alex. "Jangan berpura-pura bodoh di hadapanku!" gram Alex dengan kedua tangan mengepal di atas pangkuan. "Apa maksudmu, Ayah?" dahi Luna mengerut dalam, dia benar-benar tidak tahu apa yang sebenarnya dibicarakan oleh ayahnya. "Kau masih saja tanya apa maksudku?" Alex bertanya dengan seringai tajam yang membuat bulu kuduk Luna meremang. Itu adalah kali pertama dia melihat raut menyeramkan sang ayah. "Ayah melihatmu melakukan hal yang tak pantas bersama Ma