“Apa kamu ada urusan dengannya? Sampai-sampai dia terus menghubungimu seperti ini?” tanya Ayana sambil menunjukkan rasa tidak sukanya.“Tidak ada. Aku pun tidak tahu kenapa dia menghubungiku terus,” jawab Deon meyakinkan.Ayana menyodorkan ponselnya ke Deon, hingga kemudian berkata, “Jawab dulu, jangan sampai dia terus menghubungimu. Jujur, aku terganggu.”Ayana menyodorkan paksa, meminta agar Deon menerima panggilan itu.Deon menatap Ayana, melihat kekesalan di wajah istrinya itu. Dia masih belum menerima panggilan itu meski ponselnya terus berdering.“Kenapa tidak dijawab? Dia menghubungimu pasti karena ada sesuatu yang dibicarakan. Selesaikan urusan kalian agar dia tidak terus menghubungimu.”Ayana mengambil tangan Deon, lantas memberikan paksa ponsel itu sebelum kemudian memilih meninggalkan Deon di kamar sendiri. Dia juga tidak berniat mendengarkan apa yang akan dibicarakan oleh suaminya dengan Hyuna.Deon menghela napas frustasi. Dia mencoba mengabaikan dan berharap Hyuna menyad
Ayana membuka kelopak matanya perlahan. Kepalanya terasa pusing, hingga dia menekan kepala kuat-kuat dengan tangan.“Kenapa kepalaku sangat sakit?” Ayana menggerutu sambil terus menekan kepala.Dia mencoba membuka mata yang terasa berat, bahkan tubuhnya pun terasa berat seolah ada sesuatu yang menimpa. Hingga Ayana baru menyadari jika ada tangan yang melingkar di perut, membuatnya melirik ke bawah. Dia pun baru menyadari jika tidur tanpa busana.“Tunggu!” Ayana mencoba mengumpulkan kesadaran yang baru saja datang.“Kamu sudah bangun? Mau jus?” Suara serak dan sedikit berat itu mengalun di telinga Ayana.Ayana menggeser posisi tubuh, melihat Deon yang masih memejamkan mata sambil memeluk posesif.“Kenapa? Tunggu?” Ayana masih mencoba mencerna apa yang terjadi.Deon membuka mata, melihat Ayana yang sedang menatapnya bingung.“Kepalamu pusing? Mau aku buatkan jus lemon untuk meredakan efek alkohol agar kepalamu tidak pusing?” tanya Deon sambil terus menatap Ayana.Ayana kembali melirik k
“Apa ini sudah semua?” tanya Ayana saat berjalan di lorong sebuah supermarket bersama Deon.Ayana dan Deon berbelanja bersama, menghabiskan waktu bersama berdua untuk mempererat hubungan mereka.“Kita belum membeli buah. Kamu suka semangka, kan?” Deon menjawab sambil mendorong troli yang dibawa.Ayana terkejut Deon langsung bisa menebak buah kesukaannya, padahal dia tidak memberitahu, di rumah pun tidak hanya menyimpan buah semangka, bahkan ada buah lainnya.Deon mengambil satu buah semangka berukuran sedang, mencoba memastikan buah itu sudah matang sempurna dan berwarna merah.“Apa yang sedang kamu lakukan?” tanya Ayana saat memperhatikan Deon mengetuk-ngetuk semangka.“Memastikan semangka ini bagus dan siap konsumsi,” jawab Deon masih memilih.“Memangnya kamu paham? Bukankah yang di sini tandanya sudah layak konsumsi?” tanya Ayana keheranan.Deon menurunkan semangka dari samping telinga, kemudian menjawab pertanyaan Ayana.“Ya, memang sudah layak makan. Tapi terkadang ada yang warna
Ayana pergi ke perusahaan seperti biasa. Namun, kali ini dia harus mengatur jadwalnya hanya dibantu Amel karena Kyle ambil cuti. Ayana sendiri tidak ingin mengambil asisten sementara karena baginya tidak ada yang memiliki kinerja bagus selain Kyle.“Bu, siang ini Anda ada makan siang dengan perwakilan dari Lne Group. Sorenya meeting dengan staf marketing,” ujar Amel membacakan kegiatan Ayana sambil berjalan di lobi.Keduanya baru saja menghadiri rapat di salah satu perusahaan besar yang bekerjasama dengan perusahaan Ayana. Baru saja sampai sudah membahas pertemuan lain yang bisa dikatakan tidak akan ada habisnya.“Ingatkan aku satu jam sebelum pertemuan,” ujar Ayana ke Amel.“Baik, Bu.” Amel mencatat di buku agenda, bahkan menyalakan alarm agar tidak lupa untuk mengingatkan Ayana.Saat Ayana menunggu lift terbuka, tiba-tiba ada yang memanggil membuatnya dan Amel langsung menoleh.Rey lagi-lagi datang menemui Ayana, membuat wanita itu merasa kesal dan malas.“Kita perlu bicara, Ay.” Re
Ayana menutup laptop dan berdiri dari kursinya. Dia harus pergi menghadiri makan siang dengan salah satu klien pentingnya siang itu.“Apa sudah disiapkan semua, Mel?” tanya Ayana yang akan pergi bersama Amel dan salah satu staff.“Sudah, Bu. Saya sudah membawa draft yang dibutuhkan,” jawab Amel.Ayana mengangguk lantas berjalan lebih dulu dan disusul Amel juga temannya yang diberi tanggung jawab ikut menemui klien Ayana.Mereka sudah berada di lift, menunggu sampai pintu terbuka di lobi.“Apa kamu sudah meminta sopir perusahaan untuk menyiapkan mobil?” tanya Ayana ke Amel yang berdiri di belakangnya.“Sudah, Bu. Mobilnya pun sudah siap di depan lobi,” jawab Amel.Ayana pun tidak kembali bicara, memilih menunggu lift terbuka. Beginilah sikapnya saat di kantor, tegas bahkan terlihat judes dan menakutkan saat dipandang para staffnya.Ayana melangkahkan kaki keluar dari lift. Beberapa staff yang berpapasan dengannya pun langsung membungkuk memberi hormat.Saat baru saja menginjakkan kaki
“Kamu tidak apa-apa?” Klien Ayana langsung mengulurkan tisu ke wanita itu.Ayana mengambil tisu dari tangan kliennya, tapi tatapannya terus tertuju ke pelayan yang berdiri di depannya. Pelayan yang tak lain adalah suaminya.Saat masuk tadi, Deon sudah terkejut dan panik melihat Ayana di ruangan itu. Dia tidak mungkin putar balik karena akan membuat semua orang curiga. Deon berusaha menunduk agar Ayana tidak menyadari keberadaannya, tapi tetap saja ketahuan.Ayana gelagapan antara panik dan syok, suaminya berkata jika bekerja di kafe, bagaimana bisa sekarang di restoran.Deon melirik Ayana, melihat istrinya yang terlihat kesal. Dia dan pelayan lain meninggalkan ruangan itu setelah selesai menyajikan, sedangkan Ayana benar-benar kesal dan marah karena Deon membohonginya.Deon kembali ke ruang tunggu pelayan dengan perasaan campur aduk. Dia cemas jika Ayana marah karena akhirnya ketahuan jika tidak bekerja di kafe.“Bagaimana ini? Habislah kalau dia marah.” Deon bingung sambil mondar-man
Deon terlihat berulang kali mengecek ponsel, bahkan melihat ke jam dinding yang menunjukkan pukul tujuh malam. Dia mengirimkan beberapa pesan sejak diminta Ayana pulang, tapi istrinya itu tetap tidak membalas pesannya. “Dia sepertinya benar-benar marah.” Deon menatap ponselnya, tidak ada satu pun pesan yang dibaca Ayana. Deon lupa jika Ayana berkata akan sibuk seharian dan mungkin akan pulang terlambat. Dia terlalu fokus dengan kesalahannya, sampai tidak ingat akan ucapan Ayana. “Aku coba hubungi dulu saja,” gumam Deon sambil berpikir. Jika dia tidak berinisiatif menghubungi, Ayana pasti mengira jika Deon ikut marah karena diminta keluar dari pekerjaannya. Deon pun akhirnya menghubungi Ayana, tapi ternyata hanya panggilan terhubung saja yang didengar. Wanita itu tidak menjawab sama sekali panggilan dari Deon. “Dia benar-benar marah,” gumamnya. Deon menyandarkan punggung dengan kasar ke sandaran sofa, menengadahkan wajah menatap langit-langit ruang tamu. Namun, sedetik kemudian
Deon melangkah mendekat ke Ayana, sedangkan wanita itu berdiri sambil melipat kedua tangan di depan dada.Ayana sendiri tidak bermaksud memperpanjang masalah, apalagi tadi sudah bisa tersenyum karena pesan dari Deon yang dianggapnya lucu. Namun, Ayana juga harus memberi efek jera ke suami berondongnya itu, jika ada akibat akan sebuah kesalahan yang dilakukan, terutama saat berusaha membohongi Ayana.“Apa?” tanya Ayana masih dengan ekspresi wajah datar.“Maaf, aku sudah minta maaf dari tadi tapi belum kamu maafkan,” jawab Deon mencoba memelas. Rasanya aneh saat Ayana marah seperti ini kepadanya.“Memangnya semudah itu minta maaf? Kalau kata maaf saja bisa bikin orang bersalah bebas hukuman, untuk apa dibuat kantor polisi beserta selnya? Maling cukup dimaafkan, kelar!” Ayana bicara dengan sedikit melotot, satu tangan bergerak seirama dengan nada bicaranya.Deon memasang wajah memelas, bahkan tidak tampak seperti pria dewasa yang sudah beristri. Lebih cocok disebut anak remaja sedang ter