AUTHOR POV
Anastasia terlihat bahagia berlarian dipinggir pantai bersama Arcila, mereka berlarian menghindari ombak sambil sesekali tertawa menertawakan ekspresi lucu satu sama lain.
Pantai, merupakan hal terfavorit untuk Anastasia. Dia memiliki angan-angan suatu hari nanti, akan menikah dibawah sinar bintang, dengan ditemani suara deburan ombak dan angin yang tak henti menerpa wajahnya. Impian seorang gadis akan pernikahan idamannya.
Seketika gelak tawanya berhenti, saat melihat seseorang Anastasia membeku. Dia bahkan tidak menghindar saat ombak besar menerpa betisnya. Dari kejauhan bisa dilihat bagaimana ekspresi bahagia Anastasia sirna dalam sekejap, senyumnya perlahan menghilang saat ia melihat laki-laki yang pernah menjadi masa lalu gilanya.
Laki-laki yang dulu dia fikir akan menikahinya,
Laki-laki yang diharapkan mengwujudkan impiannya,
Laki-laki yang menjadi alasan untuk setiap mimpi dimasa depannya,
Nathan Erlangga.
-
ANASTASIA POV
"Auntie."
Panggilan Arcila mengejutkanku, Aku tersenyum menunduk kearahnya, "Yes Sweety." Dia berdiri beberapa meter didepanku, berkacak pinggang seakan protes dengan perubahan mood-ku yang mendadak.
"Kok Auntie diam aja, ayo dong kejar Cila."
"Cila udahan yuk mainnya." Aku berjalan beberapa langkah kearahnya, "Auntie, capek banget." aku merasa badanku tidak enak, teras lemas dan nafasku terasa berat.
"Auntie, masuk angin ya?" Tanya Alcila dengan wajah polosnya.
Aku tersenyum sekilas, mengangguk lemah seakan mengiyakan tebakkannya, "Iya nih, kamu sih larinya kecepatan." ujarku sedikit meledeknya,
Arcila meraih tanganku, "Ayo, pulang. Cila nda mau Auntie sakit."
Aku tersenyum sekali lagi, membiarkan bocah 5 tahun itu menggandeng tanganku menuju balkon vila, tempat dimana laki-laki dan pendampingnya masih bercengkrama dengan sanak saudara yang ada.
Menarik nafasku dalam, berharap jika nafasku bisa kembali teratur seperti sebelumnya.
Aku bisa melihat beberapa keluarga-ku berbincang dibalkon vila, dan aku masih belum bisa mengalihkan pandanganku dari laki-laki dan perempuan pengantin baru yang baru saja datang untuk bergabung.
Sepertinya mereka baru sampai, melihat koper berukuran sedang masih berada disamping laki-laki itu, dia tersenyum cerah menanggapi berbagai pertanyaan yang sulit kudengar.
Pikiranku mengatakan untuk lari sekarang juga, lari sejauh yang aku bisa tapi hati dan tubuhku menolak.
Seperti biasanya, aku melangkah mendekatinya.
Dia seperti magnet yang menarikku mendekat.
Sesuatu yang tidak bisa aku hindarkan, suka atau tidak aku mengakui jika aku merindukannya.
Aku semakin berjalan mendekati balkon vila, dadaku semakin sesak. Dibimbing Arcila yang masih mengenggam tanganku erat.
"Mommy!"
Teriakkan Arcila menghentikan aktivitas perbincangan seru mereka, Arcila melepaskan tanganku dan berlari pada Mbak Rini yang duduk disamping suaminya.
Aku menahan nafas-ku, saat mata hitam legam itu menatapku setelah sekian lama.
Mata yang selalu menatapku teduh,
Mata yang dulu selalu kukecup ringan.
Pandangan kami bertemu, aku mencoba dengan sekuat tenaga agar terlihat biasa saja dan tidak berpengaruh.
Berharap usaha kerasku berhasil, untuk kesekian kalinya tidak ada yang bisa aku lakukan selain terlihat baik-baik saja.
"Mommy, Auntie Ana masuk angin." Kata Arcila setelah berdiri tepat didepan Mbak Rini.
Mbak Rini bangkit dari Kursinya, berjalan kearahku dengan langkah lebar, meraih tanganku, "Kamu masuk angin, muka kamu juga pucat banget. Mbak bilang apa, kamu tuh pakai baju jangan minim begini." Kata Mbak Rini memukul pelan lenganku, "Angin sorenya lagi kencang banget kamu malah pakai baju kaya gini."
Aku tersenyum, berusaha tidak menghiraukan tatapan tajam dari laki-laki yang ada disebrangku.
Dia memang tidak pernah suka jika aku berpakaian minim,
Melihat bagaimana reaksinya, aku yakin aku masih mempengaruhinya,
Hal itu membuatku senang.
Persetan dengan statusnya!
"Oh come on Mbak, ini gak minim kok. inikan bukan bikini." Aku meliriknya sekilas, ekspresinya masih sama, dan aku merindukannya. "Aku memang lagi gak enak badan aja."
Mbak Rini lagi-lagi menepuk tanganku pelan, "Ya kalau gitu istirahat, ayo Mbak antar ke kamar kamu." Mbak Rini menoleh pada Arcila yang sudah ada dipangkuan Daddy-nya, "Cila nanti gak boleh ganggu Auntie dikamarnya ya. Jangan ajak main Auntie-nya dulu, Auntie mau istirahat."
"Iya Mommy, Auntie cepat sembuh ya, minum obat nanti kalau gak sembuh dikerokin Mommy loh." Sahut Arcila dengan polosnya,
Aku tersenyum sekenanya menanggapi perkataan polos Arcila, lalu aku melihat laki-laki yang membuat kondisi fisik dan mood-ku drop beberapa saat sebelum beralih pada wanita yang menunggu kusapa.
Dia masih terlihat sama, bagaimana aku bisa melihat kekhawatirannya setiap kali berhadapanku.
Aku tahu, dia tidak bahagia.
Tapi aku tidak tahu bagaimana membantunya,
Tidak ada jalan lagi untuk kembali dengannya.
"Hi Mbak Katherine, Apa kabar?" Sapaku dengan senyuman selebar yang kubisa, aku harus tetap menghargainya,
Genggaman tangan Mbak Rini menengang, aku bisa merasakan bagaimana Mbak Rini menekan jemarinya ditanganku. Aku tidak menghiraukannya.
Dengan senyum canggung Katherine menyahutiku, "Baik, Kamu gimana? Lama ya kita gak ketemu."
Lama ya, kita gak ketemu.
Tanpa sadar aku mengulangi kata-katanya dikepalaku.
Lagi-lagi Aku tersenyum berusaha tulus, "Iya, Mbak Katherine sih gak nge-Save nomor aku. Aku kira, Mbak gak datang."
"Yaudah lanjut nanti ya ngobrolnya." Kata Mbak Rini menyahuti saat Katherine berniat membuka mulatnya untuk menimpali perkataanku sebelumnya, "Ana kamu gak bisa sakit, lusakan kamu harus jadi pengiring Daddy kamu."
"Aku antar Ana kekamarnya dulu ya." Kata Mbak Rini langsung menarikku pergi,
Aku tersenyum samar saat menyadari bagaimana atmosphere keluarga-ku tadi, jika saja Daddy ikut bergabung. Aku yakin semua orang memilih untuk mencari cara agar pergi dari situasi itu.
"Ana." Mbak Rini membuka suara saat sudah sampai didepan pintu kamarku, dia tidak tahan untuk menceramahiku.
Aku tersenyum jahil, "Apa sih Mbak?" Sahutku dengan nada manja, "Mbak mau tanya aku butuh dikerokkin atau engga?"
Mbak Rini menepuk bahuku pelan lagi, "Kamu ini.." tersenyum mendengar perkataanku.
Aku berhasil mencairkan suasana.
"Ih Mbak, mukul-mukul mulu, lama-lama sakit tau Mbak." Protesku.
"Kamukan cantik." Mbak Rini mengusap wajahku penuh kasih sayang.
Iya, bisa dibilang Mbak Rini satu-satunya orang yang paling deket-ku dari keluarga Daddy. Walaupun dia sudah memiliki seorang anak tapi sebenarnya kami seumuran. Mbak Rini hanya berhenti untuk meraih gelas pasca sarjana dan menikah.
"Duh pasti ujungnya Zonk nih." Sahutku jahil,
Kali ini Mbak Rini hanya tersenyum, "Sudah cantik, pintar, baik-"
"Rajin menabung gak?" Selaku, masih berusaha untuk bercanda,
Jujur saja, aku bisa menebak kata apa yang akan keluar selanjutnya dari Mbak Rini.
Dan itu tidak membuatku merasa lebih baik,
"Ih kamu, gak pernah bisa diajak serius." Rajuknya.
Aku meraih tangan Mbak Rini, mengusapnya perlahan. "Aku tahu, Mbak mau ngomong apa, aku sudah biasa aja kok Mbak, jadi Mbak gak perlu khawatir."
"Jangan bohong, Mbak bisa lihat dari cara kamu natap Nathan kaya tadi." Mbak Rini menghusap rambutku, "Mbak gak mau kamu kecewa lagi."
"Iya aku paham kok." Aku meraih kenop pintu kamarku, tidak mau berlarut-larut dalam percakapan ini, "Aku istirahat dulu ya Mbak."
Tanpa memperdulikan Mbak Rini aku langsung masuk ke kamarku,
Aku lelah membahas masalah ini terus menerus.
Semua beranggapan aku orang jahat, padahal mereka tidak tahu siapa yang merebut siapa disini.
-
EDER POV
Aku berjalan kearah kitchen set, mengambil sebotol air mineral.
Sudah Jam 11 malam, dan semua orang sudah berada dikamar masing-masing untuk beristirahat.
Seharian aku hanya mendekam didalam kamar, berfikir Jika aku tidak perlu berbaur dengan keluarga yang akan menjadi Ayah Tiriku, toh pada akhirnya aku tidak akan tinggal bersama mereka lagi.
Lagi pula aku punya beberapa Video Call dengan Klien-ku, bisa menjadi alibi berdasarkan kenyataan Jika Mommy bertanya kenapa aku tidak ikut berkumpul.
Aku bukan pengangguran, aku punya beberapa hal yang harus kukerjakan dan itu membuatku tidak akan lama di Indonesia, mungkin tersisa satu minggu lagi sebelum aku kembali ke Amerika.
Melangkah keluar, terpaan angin laut langsung menyapaku, aku bisa melihat beberapa bintang bertebaran dilangit. Bali tempat yang Indah, aku menyukainya.
"Kamu anaknya Tante Yuli?"
Seketika Aku menoleh, melihat laki-laki duduk disofa dengan sebatang rokok ditangannya.
Aku menyipitkan mataku, berusaha mengingat apakah dia termasuk anggota keluarga Nugroho yang ikut rombongan tadi siang denganku.
Dan aku rasa, dia tidak ada dirombongan itu.
Dia bangkit setelah menyesap rokoknya dalam, menghembuskannya asapnya, dia mengulurkan tangannya, "Saya Nathan, Nathan Erlangga, Salah satu keluarga jauh Om Nugroho."
Jadi, dia yang namanya Nathan. Batin-ku bersuara.
Aku mengangguk sekilas, menerima tangannya, kami berjabat tangan beberapa saat. "Saya Eder Von Mirrendeff, anak pertama Tante Yuli." Aku merasa suaraku sedikit bergetar saat menyebutkan nama ibuku sendiri, aku harap dia tidak menyadarinya.
"Ah, pantas mukanya mirip Earl." Dia menawarkan sebungkus rokok, "Kamu ngerokok?"
Aku menggeleng, "Not at Night."
Nathan mengangguk, menyimpan kembali sebungkus rokok Marlboro yang sempat dia keluarkan dari saku, "Saya sudah ketemu Earl tadi sore, saya gak lihat kamu ikut kumpul tadi."
Aku tersenyum sekilas, "Iya, ada kerjaan yang harus di handle jadi gak bisa ikut kumpul."
"Bahasa Indonesia kamu fasih juga, pas pertama kali lihat, saya kira, saya harus pakai bahasa inggris untuk nyapa. Ternyata Saya salah."
Aku hanya terkekeh sekilas, Tidak tahu ingin menimpali apa dan hanya berusaha bersikap ramah. Sudah biasa dengan reaksi orang yang berlebihan sepertinya.
Don't judge by cover.
Well, mau tidak mau aku harus mengakui, aku memiliki darah Indonesia dari Ibuku. Jika, aku bisa berbicara dengan baha Indonesia bukankah itu wajar?
"Jadi perkerjaan kamu apa?"
"Saya mengurus bisnis, kalau anda sendiri?"
"Saya pengacara, lebih tepatnya pengacara keluarga besar ini."
Aku mengangguk, kembali mengingat beberapa kata yang tadi tanpa sengaja aku dengar, Dan entah kenapa penasaran muncul memenuhi benakku, aku meliriknya sekilas-
Nathan masih sibuk menghisap rokoknya sambil memandang lautan.
"Berarti anda kenal Anastasia Nugroho?"
Aku pintar membaca ekspresi seseorang, itu sudah bakat naluriah. Dan aku bisa melihat raut wajahnya berubah sendu, matanya menatap hamparan pantai-
Hening seketika, dan aku bisa melihat jika Nathan, dia sedang mengenang sesuatu.
Kali ini senyuman samar terlihat dari balik batang rokok yang masih bertengkreng dibibirnya, dia menyesapnya dalam, lalu menghembuskannya perlahan.
"Saya mengenal Anastasia."
Bohong, Aku tersenyum samar.
Nathan Erlangga, dia bukan hanya mengenal Anastasia, tapi dia sangat mengenal gadis itu.
Ada sesuatu antara mereka berdua dulu,
Mungkin masalalu yang cukup kelam hingga membuat gadis penuh semangat seperti Anastia berubah seketika saat melihat Nathan.
Nathan, cukup berpengaruh padanya.
-
EDER POVAku menghentikan langkahku saat melihat Anastasia berlari kecil kesana kemari ikut mengatur menata pesta makan malam antar keluarga nanti malam, sesekali dia berbicara pada pelayan seperti memberi intruksi.Sesuatu yang tidak pernah bisa aku lakukan, bersandiwara untuk terlihat baik-baik saja.Dengan gesitnya dia berlari kesana kemari, aku bisa melihat bahwa mendekorasi pesta ini membuatnya senang. Tapi entah kenapa aku kasihan melihatnya,Tak henti-hentinya dia tersenyum, dan berlari hingga tiba-tiba langkahnya berhenti.Anastasia mematung memeluk satu buket cukup besar berisi bunga Lily, membuatku mengerutkan kening karena keheran melihat keceriaannya menghilang persekian detik seperti tertiup angin. Aku berusaha mengikuti arah pandangnya, dan aku menangkap laki-laki bersama seorang perempuan berjalan bergandengan, berbincang ringan dan sesekali tertawa bersama.Nathan, dan entah siapa perempuan yang ada disampingnya.Aku kembali melihat kearah Anastasia, dia masih diposisi
EDER POVAku tidak terlalu suka berada dikeramaian, terlebih berada dilingkungan asing yang sama sekali tidak kukenal. Tapi saat ini aku tidak begitu merasa terbebani karena ada Anastasia yang dengan ringan memperkenalkanku dengan sanak saudaranya, membuatku bisa merasakan berada disebuah keluarga.Lebih tepatnya, keluarga besar.Anastasia memang benar seperti maskot keluarga Nugroho, dia peduli dan mengerti setiap keluarganya, Satu persatu.Mungkin, dia lebih paham bagaimana keluarganya dibandingkan dirinya sendiri."Itu namanya Bastian." Anastasia melambaikan tangannya saat laki-laki berjas hitam melambai lebih dulu kearahnya, "Dia baru selesai kuliah di Australia, padahal masuk kuliahnya barengan aku. Dulu waktu kecil dia gak seganteng itu, ingusan, gak mau pakai baju, gak tahu kenapa bisa secakep itu sekarang.""Lo sering kumpul-kumpul keluarga?" Tanyaku, masih memperhatikan satu persatu keluarga Anastasia yang super banyak itu.Jika aku Anastasia aku tidak yakin bisa mengingat ma
FLASHBACK"Sayang."Laki-laki tampan itu menoleh, dengan langkah cepat Anastasia mendekatinya lalu memeluknya dari belakang."Tunangan aku kok wangi banget, habis mandi ya?" Tanya Anastasia menghirup dalam kaos oblong putih yang dipakai laki-laki yang sudah bersamanya bertahun-tahun.Aroma favoritnya,"Kamu baru pulang? Gimana kuliahnya, kamu harus lulus tahun ini, emangnya kamu gak mau ikut Aku ke Landon buat nerusin kuliah Aku." Sahut laki-laki yang tak lain adalah Nathan, dia berbalik mengubah posisi memeluk gadisnya.Menghelus lembut rambut panjang gadis yang sangat berarti untuknya,"Iya, aku sudah berusaha keras kok, aku pasti Lulus tahun ini." sahut Anastasia dengan semangat,Nathan tersenyum, menghusap hidungnya dengan hidung Anastasia. "Jadi cuti dulu ya dari blog dan desain kamu. Om Nugroho gak akan bilang yes kalau kamu belum lulus.""Daddy pasti bilang yes buat aku, kamu gak perlu khawatir." sahut Anastasia, dia lebih mengenal Ayah-nya lebih daripada yang lain. Dia tau, ji
ANASTASIA POVRock bar, Ayana Resort, Bali.Aku masih menatap Eder yang dengan santainya duduk celingak-celinguk memperhatikan sekitar, aku masih tidak bisa percaya beberapa saat yang lalu dia menarikku pergi dari acara makan malam keluarga.Setiap kali mengingat hal itu jantungku masih berdegup kencang hingga sekarang.iPhone-ku kembali berbunyi, entah sudah keberapa kali Mbak Rini menghubungiku."Gak mau diangkat aja?" tanya Eder dengan santai sambil mengetuk-ngetuk meja dengan jamarinya, menikmati alunan DJ yang diputar. Seakan tidak ada beban.Apa-apaan itu?Apa dia tidak merasa bersalah?Liat dia baru saja membuat masalah tapi dia bisa sesantai ini dan pura-pura tidak terjadi apa-apa."Kamu sadar gak sih, kita habis ngapain."Aku benar-benar ingin memukul wajah sok bodohnya itu, pelanga-pelengo benar-benar tidak menyadari perbuatannya, "Memangnya apa?""Oh god.. Mr Eder, are you kidding me?" Aku berdiri dari tempat dudukku, sebal bukan main dengan tingkahnya."Ayo pulang!" sahutk
ANASTASIA POVAku membuka pintu mobil lalu menutupnya kembali dengan keras, mencoba untuk melampiaskan rasa kesal. Aku marah, dan merasa sangat bodoh, sekaligus malu.Mengepal tanganku erat. Aku ingin memukul sesuatu, mencabik apapun hingga tidak tersisa.Mencoba mengatakan pada dunia kalau aku tidak merasa baik-baik saja.Sulit merasa untuk baik-baik saja."Anastasia!" panggil seseorang yang ku tahu siapa,Aku mendengus, nafasku tidak teratur karena emosi yang tak terbendung. Aku hanya berdiri mematung beberapa langkah didepan villa tanpa berniat berbalik melihatnya.Beberapa lampu sudah padam menandakan bahwa pesta makan malam sudah selesai, hanya ada beberapa pekerja yang terlihat merapikan tatanan meja yang ada.Eder sialan!Tanpa sadar aku memakinya.Seseorang menarikku tanganku, merengkuhku erat.Dia adalah orang yang baru saja kumaki, aku tidak menyadari dia berjalan mendekatiku tadi.Aku berusaha mendorongnya tapi dia malah memelukku semakin erat. Berangsur-angsur amarah itu m
EDER POVHari H, hari pernikahan yang ditentukan.Entah kenapa aku menghela nafas, merasa perasaan berat yang aneh menyeruak di dada.Aku membenarkan dasi kupu-kupuku. Tuxedo bridesmaid, aku tidak pernah berfikir akan memakai perlengkapan seperti ini, tidak pernah berfikir bahwa aku akan menjadi pengiring pengantin seseorang mengingat aku tidak punya cukup teman baik untuk hal seperti ini, tapi ternyata takdir berkata lain.Aku menjadi bridesmaid Ibu kusendiri.Aku tersenyum kecut menyadari fakta tersebut, Mom memang belum tua untuk menikah lagi, tapi Apa itu diperbolehkan? Bukan, itu bukan pertanyaan yang tepat, Apa tidak terdengar lucu wanita berusia hampir setengah abad untuk menikah lagi? Bagiku itu terdengar seperti bualan.Well, sejak dulu Mom memang tidak pernah merasa bahagia, aku masih ingat bagaimana mereka bertengkar, menyalahkan dan mengatakan jika hidup bersama adalah sebuah kesalahan besar dan membuat Mom tidak bahagia.Entah itu benar karena tidak bahagia? Atau menuntut
REVERIE POV"Ana."Aku berbalik begitupun Eder yang berjalan beriringan denganku,NathanNathan berdiri beberapa meter didepanku, matanya menatap tajam diriku dan Eder bergantian."Kamu mau kemana?" tanyanya, berjalan mendekatiku dan Eder yang masih mematung tanpa menyahut, "Kamu mau pergi kemana? Memangnya acara pemberkatan sudah selesai?" tanyanya lagi, ada nada ketus diakhir kalimat membuatku mengernyit tak mengerti.Nathan marah?Apa yang membuatnya kesal?Aku melirik Eder yang menatap Nathan dingin, seakan tak berniat untuk menjawab pertanyaan yang Nathan berikan.Aku berdaham singkat, mencoba memecahkan keheningan, "Ini aku mau cari minum sama Eder." jawabku agak ragu.Nathan kembali menatapku, sengit, "Kamu kira aku bodoh." tanpa aba-aba dia meraih tanganku, menariknya sedikit kencang, membuatku mau tidak mau berdiri disampingnya.Tangan Nathan mencengkram tanganku erat, "Daddy kamu masih ada di Chapel dan kamu mau kelayaban entah kemana, kurang perginya?"Aku menatapnya tida
REVERIE POV"Ana."Aku berbalik begitupun Eder yang berjalan beriringan denganku,NathanNathan berdiri beberapa meter didepanku, matanya menatap tajam diriku dan Eder bergantian."Kamu mau kemana?" tanyanya, berjalan mendekatiku dan Eder yang masih mematung tanpa menyahut, "Kamu mau pergi kemana? Memangnya acara pemberkatan sudah selesai?" tanyanya lagi, ada nada ketus diakhir kalimat membuatku mengernyit tak mengerti.Nathan marah?Apa yang membuatnya kesal?Aku melirik Eder yang menatap Nathan dingin, seakan tak berniat untuk menjawab pertanyaan yang Nathan berikan.Aku berdaham singkat, mencoba memecahkan keheningan, "Ini aku mau cari minum sama Eder." jawabku agak ragu.Nathan kembali menatapku, sengit, "Kamu kira aku bodoh." tanpa aba-aba dia meraih tanganku, menariknya sedikit kencang, membuatku mau tidak mau berdiri disampingnya.Tangan Nathan mencengkram tanganku erat, "Daddy kamu masih ada di Chapel dan kamu mau kelayaban entah kemana, kurang perginya?"Aku menatapnya tida