"Pram!" panggil ibu yang telah duduk di tikar ruang tamu.
Kami memang tidak mempunyai meja dan kursi di ruang tamu. Lebih asyik duduk di tikar. Kadang ruang tamu yang sempit itu bisa untuk tiduran dan kegiatan lainnya.
Mendengar panggilan ibu, aku segera keluar kamar dan menghampirinya. Kucium tangan ibu yang sudah renta. Aku duduk bersimpuh di hadapannya.
Wajah ibu nampak lebih ceria dibanding hari-hari kemarin. Walaupun beliau masih belum mau menerima hadiah kalung dariku. Aku tidak mau memaksa ibu.
"Pram, kalungmu coba lihat bawa sini," kata ibu dengan tersenyum.
Sedikit kaget tapi hati ini senang karena ibu menanyakan kalung. Segera aku bangkit masuk ke kamar untuk mengambil kot
"Pram, dari mana, Nak?" tanya ibu yang duduk bersama seorang gadis di ruang tamu.Gadis berhijab yang cantik dan pakaian yang sederhana. Aku tersenyum pada gadis itu. Dia tampak malu-malu melihat kedatanganku."Ini Siti, anaknya Pad De Darno yang ibu ceritakan kemaren, Pram," ujar ibu sambil memegang tangan gadis itu.Aku mencium tangan ibu dan duduk di sebelahnya. Sempat pandangan mata ini beradu dengan mata bulat gadis itu."Siti, perkenalkan ini Pram. Kamu pasti sudah tau. Waktu kecil dia sering main ke rumahmu," kata ibu dengan tersenyum.Siti hanya menunduk sopan dan menelungkupkan kedua tangannya di depan dada. Dia tidak mau menyalami tanganku. Aku jadi malu sendiri dengan kesopanan gadis itu.&n
Bab 55Sore itu aku ingin menenangkan pikiran dengan main ke bukit kapur di dekat kampung. Aku hanya memakai kaos oblong dan celana pendek hitam dengan sepatu sport warna hitam.Bukit itu tidak terlalu jauh dari rumah. Hanya 20 menit waktu yang dibutuhkan untuk sampai di tempat itu.Sejak kejadian sore itu, Sarah tidak menghubungi aku lagi. Pikiranku menjadi kacau. Apalagi ibu nampak bahagia mempersiapkan lamaran untuk Siti. Sementara aku tidak mau mengganggu ibu.Setiap pesan yang kukirim kepada Sarah tidak pernah dia balas. Apalagi panggilan telpon. Dia hanya membacanya tanpa mengirimkan pesan balik.Jelas dia sangat marah kepadaku. Laki-laki yang dipujanya ternyata hanya seorang pecundang. Lalu apa salahku. Seringkali aku mengajak Sar
Bab 56 Panggilan dari Bi Iyem mendadak mati. Mungkin sinyalku yang tidak bagus karena sedang di kampung. Segera aku berdiri dan keluar dari kamar Nita."Ada apa, Mas Pram?" tanya Nita curiga."Sebentar, Nit. Aku ada urusan penting," jawabku segera keluar dari kamar Nita.Dengan wajah panik, aku memanggil ulang nomer Bi Iyem. Berkali-kali tidak ada jawaban. Pikiran mulai kacau dan hati tidak tenang. Sebenarnya apa yang terjadi dengan Sarah.Aku mencari nomer Aska. Siapa tahu remaja itu bisa menjawab kegalauan hati. Tetapi sama. Nomer Aska juga susah untuk dihubungi.Kubanting ponsel yang tidak bersalah itu di atas kasur tipis. Dengan kasar kuhempaskan tubuh yang mulai lelah ini. Seolah Tuhan akan mengh
Bab 57Mobil rental yang kusewa melaju sangat cepat ke arah Bandara Ahmad Yani. Pagi ini lalu lintas di Kota Semarang sangat padat. Maklum jam kerja. Sehingga agak macet. Hatiku tidak tenang. Terkadang melihat arloji yang melingkar di tangan. Masih pukul sembilan pagi.Mendadak mobil berhenti. Sebuah antrian panjang. Mobil tidak bisa bergerak sama sekali. Kutengok sebentar dan bertanya kepada supir."Ada apa, Pak?" tanyaku." Aduh, Mas. Di depan ada kecelakaan. Gak tau deh, kita bisa nyampai bandara tepat waktu apa gak," jawab Pak Supir.Duh. Aku mengacak rambut yang tidak gatal. Pikiran menjadi kalut. Perlahan kubuka kaca mencoba bertanya kepada penumpang yang sama-sama terjebak macet.
Bab 58 Tiba di Jakarta.Pesawat yang membawaku sudah mendarat di Jakarta. Tepat satu jam lebih sedikit. Aku menarik nafas lega. Bayangan Sarah yang tergolek di rumah sakit sudah menari-nari di pelupuk mata. Rasa bersalah yang teramat dalam. Entah mengapa setelah aku mengatakan kepada Sarah ingin dijodohkan dengan Siti oleh ibu. Mendadak Sarah kecelakaan.Wanita yang di sampingku tersenyum manis seakan menggodaku." Mas, ini kartu nama saya," ujar wanita itu sambil menyodorkan sebuah kartu nama berwarna merah muda.Untuk menghormatinya, kuterima kartu nama itu dan menyimpan dalam kantong celanaku." Mas ganteng deh. Kapan-kapan kita bisa ketemu dong. Aku akan memberikan apa yang kamu mau," godanya.
Tiba di Rumah Sakit langsung menuju ke pusat informasi untuk menanyakan kamar peralatan Sarah."Selamat siang, Mbak!" sapaku kepada staff rumah sakit."Siang, Mas. Ada yang bisa kami bantu?" tanya staff itu."Saya mau menanyakan pasien atas nama Sarah Athala Nanda yang kecelakaan,"ujarku."Sebentar ya, Mas. Saya cek dulu," kata staff itu.Dia membuka komputer dan mengecek nama pasien yang ada di rumah sakit itu. Setelah beberapa saat baru staff itu menatapku."Maaf Mas. Ibu Sarah sudah pulang. Baru saja," katanya."Oh ya sudah, Mbak. Terima kasih ya," ujarku.
Sarah menatapku malu-malu. Kesedihan yang menggunung seakan pecah dengan kehadiranku. Dasar dia memang paling senang membuatku khawatir. Rambut panjangnya dia ikat ke belakang."Kamu memang manja, Sayang. Berhasil membuatku kalang kabut. Hingga ingin terbang langsung Jakarta," gerutuku." Ponsel juga dimatikan. Bagaimana dengan rekan bisnismu?"Sarah masih senyum sendiri. Kedua lesung pipitnya nampak menyembul semakin membuat gemas aku melihatnya."Yuk, makan dulu!" pintaku dengan menyendok bubur yang ada di tanganku."Aaaaa!" perintahku seperti anak kecil.Sarah lalu membuka mulutnya ketika aku akan menyuapinya. Tapi kali ini aku ingin menggodanya. Aku makan bubur itu.
Bab 61Aku terperanjat ketika lampu di kamar menyala. Ternyata aku tertidur dengan pulas di kamar tamu rumah Sarah.Mata ini masih terasa berat. Siapa yang mengganggu tidur pulasku. Sudah seperti seorang raja yang tidur di kasur empuk dengan pendingin ruangan yang nyaman.Tangan halus menepuk pipiku. Perlahan nampak sosok wanita yang duduk di samping tempat tidur.Harumnya sudah sangat kukenal. Yang selalu hadir dalam hayalan indah dan ingin selalu meneguk manisnya candu.Sedikit memicingkan mata ketika melihat Sarah membelai pipiku. Aku tersenyum dan ingin menggodanya. Badanku menggeliyat dan memeluk tubuh rampingnya."Sayang, bangun! Udah malam nih.Katanya mau bikin spagetti," bisiknya di teli