Drap Drap Drap!Theo berjalan menuju mobil itu dengan Santoso. Santoso mendekat dan tampaknya ia ingin menanyakan sesuatu. Tetapi, entah angin apa yang membuatnya mengurungkan niat tersebut.Pada akhirnya, ia hanya bicara mengenai sesuatu yang mendasar saja."Nak, biar Papa saja yang mengemudi! Papa lihat, kondisi kamu sedang kurang baik!" ujar Santoso meminta kunci mobil yang ada di tangan menantunya tersebut.Dengan wajah tampak kusut, Theo menoleh lalu memberikan kunci mobil. "Terima kasih, Pa," ucapnya dengan singkat. "Apa yang terjadi? Sepertinya dia tengah memikirkan sesuatu dengan serius? Apa ada masalah yang begitu memberatkan pikirannya?" batin Santoso sembari menatap wajah Theo."Terima kasih buat apa?" tanya Santoso sembari memasuki mobil. Begitu juga dengan Theo yang masuk ke dalam mobil tersebut. Tetapi, kali ini mereka pindah posisi, karena yang mengemudikan mobil itu saat ini adalah Santoso."Terima kasih karena Papa sudah mengerti keadaan saya," sahutnya, singkat.San
Di sebuah ballroom hotel Paradise, tepatnya pada sebuah acara pertunangan Amilie dan Stephen. Saat itu acara berjalan dengan meriah, Amilie mengenakan kebaya cantik -- panjang yang menyapu lantai berwarna merah muda sedangkan Stephen mengenakan setelan jas berwarna abu-abu. Lirikan matanya terus tertuju pada setelan jas yang dipakai oleh Stephen dan Amanda. Lalu, ia pun melihat ke pakaian yang melingkar di tubuhnya sendiri."Kenapa jasnya lebih serasi dengan Kak Manda?" Amilie menggelengkan kepalanya, berusaha yakin bahwa ini hanyalah sebuah kebetulan saja."Tidak. Aku tidak boleh berprasangka buruk. Lagi pula, kami akan bertunangan. Dan ... Tak lama lagi kami akan menikah," ucap Amilie.Meskipun samar, tetapi cukup terlihat dari raut wajah Amilie yang tampak gelisah dan hati kecilnya seolah mengatakan sesuatu hal yang buruk. "Ada apa ini? Kenapa hatiku merasa tidak tenang? Ya Tuhan, ada apa ini?" gumam Amilie sembari sesekali mengigit kuku tangannya dengan kaki yang terus melangkah
"Sebenarnya aku tahu ini akan terjadi. Jadi, maaf karena aku tidak memberitahumu," ucap Theo menatap jauh ke depan.Sontak, Amilie pun langsung memalingkan wajahnya ke arah Theo. "Tidak apa-apa, ini mungkin sudah takdirku. Lagi pula, kalau memang dia tulus mencintai pasti akan memperjuangkanku. Tidak mungkin dia mau menikahi wanita lain begitu saja," tutur Amilie.Kini, Amilie sadar bahwa Stephen tidak mencintainya. Seberapa besar pengorbanannya, tetap saja itu menjadi sia-sia.Air mata kembali menetes, Amilie menyekanya. Namun, mengingat ulang kejadian tadi ketika tak satupun peduli padanya sampai diusir security. Ia tambah sedih. Dadanya sesak dan hatinya seolah remuk tak beraturan. Theo menoleh, ia pun menyeka air mata Amilie secara perlahan dengan lembut.Amilie terdiam sejenak saat ada seseorang yang terlihat peduli padanya. Lantas, ia pun memalingkan wajahnya ke arah lain seakan menghindari Theo."Sudah, tidak apa-apa, Kak. Lebih baik sekarang kamu ke dalam, mereka pasti mencar
"Apa-apaan anak itu, kenapa tidak izin pada kita," umpat Dania kesal. Namun, Dania -- Ibu kandung Amilie pun tak bisa berbuat apapun lagi selain hanya diam sembari menyaksikan Amilie menikah dengan Theo. Ini sungguh diluar dugaan mereka. Akad nikah pun berlangsung sekitar sepuluh menit. Lalu, keduanya pun saling bertukar cincin dan setelah itu Amilie mencium punggung tangan Theo. "Apa aku sungguh menikah dengannya? Kenapa aku malah menerima ajakan menikah itu. Tapi, aku harap dia tidak seperti lelaki brengsek lainnya," batin Amilie. Pilihannya hari ini membuat hatinya ragu tentang apa yang akan terjadi di masa depan nanti. Tetapi, Amilie berharap bahwa kebahagiaan datang kepadanya setelah pernikahan. Walaupun, trauma cinta itu masih membekas dengan luka yang begitu parah. Namun, karena dirinya telah menerima Theo menjadi bagian dari hidupnya. Ia pun berusaha untuk memulai awal yang baru, agar bisa melanjutkan hidupnya dengan nyaman. Setelah akad nikah itu sudah terlaksana, Steph
Theo memegang kedua tangan Amilie untuk menghentikan istrinya yang hendak membuang cincin pernikahan itu. "Jangan coba-coba melepaskan cincin itu. Kita sudah menikah dan aku tidak mau ada yang mengira yang tidak-tidak," kata Theo mengingatkan. Lantas, Theo pun menarik pergelangan tangan Amilie -- memasukkan ke dalam mobil. "Kita pergi ke Welston Home!" perintah Theo kepada sopir pribadinya yang sudah stay menghadap setir mobil. "Baik, Tuan." Welston Home adalah nama rumah milik Theo yang mana memang selama ini ia selalu tinggal sendiri di sana. Menikmati sepi dan kesenangan sendirian tanpa keluarga ataupun teman yang ada di sampingnya. Namun, kini ia tidak lagi sendirian. Sebab, ada Amilie yang akan menemani hari-harinya di rumah. Amilie melirik ke arah Theo dan kemudian memalingkan wajahnya. Ia menarik tangannya dan menjaga jarak dari Theo. "Walaupun kita sudah menikah, itu bukan berarti kamu bebas menyentuhku!" ketusnya. "Aku tidak akan memaksaku untuk melayaniku. Tapi, aku t
Theo kembali menghentikan langkah kakinya begitu teringat Amilie yang baru saja bangun dari pingsan dalam keadaan tubuh basah kuyup itu. Ia mengambil handuk tebal berwarna putih dengan ukuran jumbo dan kembali pada Amilie yang masih terdiam di samping kolam karena pergelangan kakinya yang terasa sakit akibat mengenakan sepatu hak tinggi yang membuatnya tergelincir ke dalam kolam. "Ahh, sakit sekali ...!" Amilie meringis kesakitan sembari memijat kaki. Dari belakang, Theo menutup tubuh Amilie dengan handuk tadi dan memangkunya pergi masuk ke dalam rumah. Tubuh Amilie terhenyak begitu handuk itu ada di punggungnya. Terlebih lagi saat Theo memangkunya secara tiba-tiba. Meski Theo sudah menjadi suaminya, tetapi ia masih merasa gugup. "K-kak Theo, kenapa balik lagi?" tanya Amilie terbata-bata. Namun, saat itu Theo tidak menyahutnya. Ia terus berjalan lurus menuju pintu. Sampai akhirnya mereka berada di depan pintu. Perlahan, Theo membuka pintu kaca itu dan membawanya masuk. "Mandilah
Hampir satu jam Amilie berada di kamar mandi. Ia masih menangis meratapi hidupnya yang menyedihkan. Hatinya patah dan jiwanya bagai ditarik ke jurang masalah. Mentalnya benar-benar hancur. Walaupun kini ia sudah menikah dengan pria yang peduli dengan dirinya. Tetapi, ia merasa sangat bersalah karena ada janin di dalam kandungannya yang merupakan benih dari Stephen. "Apa yang harus aku katakan padanya sekarang? Dia Pasti akan sangat kecewa kalau tahu aku sedang mengandung anak orang lain?" Perlahan, Amilie menanggalkan bajunya satu persatu. Lalu, ia menyalakan shower yang kemudian membasahi seluruh tubuhnya. Sesekali Amilie menjambak rambutnya yang panjang dengan air mata yang tak henti-hentinya membanjiri pipi. Sedangkan, Theo khawatir dengan Amilie yang tak kunjung keluar membuatnya menghampiri kamar mandi itu. "Amilie! Kamu tidak apa-apa, 'kan?" Tok Tok Tok. Theo berseru sembari mengetuk-ngetuk pintu kamar mandi. Tetapi, Amilie tak kunjung menyahutnya. Ia hanya menoleh ke ara
Theo kembali ke hadapan Amilie setelah selesai berbicara lewat telepon dengan sekretarisnya. Pikirannya berkecamuk, tetapi ia menyembunyikan itu dibalik senyuman. Ia tidak mau Amilie mengetahui masalahnya. "Ada apa? Apa yang terjadi?" tanya Amilie. Ia merasa bahwa Theo ini memang sedang digencat kuat oleh masalah dalam hidupnya. Tidak tahu apa, tetapi perasaan Amilie mengatakan itu. Entah apa masalah yang menimpanya, Amilie tidak tahu. Namun, apapun itu ia harus membantu suaminya jika memang bisa. "Tidak apa-apa. Aku hanya akan pergi keluar sebentar. Nanti aku akan kembali," kata Theo sembari menatap sepasang mata Amilie dan beranjak pergi dari kamar tersebut. "Ah, baiklah." Meski khawatir, tetapi Theo pun tidak bisa meninggalkan masalahnya begitu saja. Walau saat ini ia masih ingin berada di samping Amilie. Tok Tok Tok! Suara ketukan pintu dari luar kamar terdengar begitu nyaring. Sontak Amilie dan Theo pun menoleh secara bersamaan. 'Siapa lagi itu? Apa itu orang tua Kak Theo'