Share

BAB : 3

Jam satu siang bel berbunyi ... itu tandanya kegiatan Sekolah untuk hari ini pun berakhir. Semua penghuni sekolah berhamburan keluar layaknya anak ayam yang baru saja keluar kandang.

"Kalian berdua mau jalan?'' tanya Kim.

"Nggak, gue mau tidur siang. Sumpah, ini mata gue ngantuk berat, guys. Tadi aja pas pelajarannya Bu Tini, gue nyaris ketiduran," jelas Hani dengan wajah lesunya. 

"Iya, gue juga mau pulang aja," tambah Jeje.

''Kalau gitu gue duluan, ya. Mau nyusulin orang tua gue,'' ujar Kim.

"Oke, bye." 

Kim pamit dan segera menuju mobilnya, begitupun dengan Hani dan Jeje yang menuju mobil mereka masing-masing.

[][][][]

Ia segera menuju Cafe yang sudah diberitahukan mamanya tadi lewat pesan singkat. Setibanya di tempat yang di maksud, ia menghampiri meja receptionist.

"Maaf, Mbak, saya mau cari meja atas nama Bapak William Affandi. Di sebelah mana, ya?'' tanya Kim pada receptionis.

Si Mbak itu langsung mengecek nama yang disebutkan Kim dan mencari list nama pada sebuah buku.

"Meja atas nama Bapak William Affandi, ada di nomer 13, di lantai dua, sebelah kiri, Mbak," jelasnya mengarahkan dengan ramah.

"Makasih, ya, Mbak," ucap Kim  berlalu dan segera menuju ke arah yang dimaksudkan oleh receptionist .

Ya, tak lama mencari ... bahkan tak perlu ia cari, karena dengan sekali lirik kedua orang tuanya langsung ketemu. 

 "Ma, Pa," panggil Kim sambil berjalan menghampiri papa dan mamanya yang berada tak jauh dari posisinya.

"Sayang," balas mamanya sambil melambaikan tangan. 

Ia segera menghampiri dengan sedikit berlari.

"Kok, lama ... keluyuran dulu, ya?" tanya William yang lebih tepat disebut tuduhan.

"Ih, Papa, curigaan amat, sih, sama anak. Aku langsung kesini dari Sekolah. Ini aja masih pake seragam," jelasnya sambil duduk di kursi yang ada di samping Mamanya dengan memasang wajah cemberut.

"Papa cuma becanda kali, Kim."

"O, iya, Sayang ... kenalin, ini Om Doni dan Tante Mila," ujar Jessica memperkenalkan sepasang suami istri yang juga duduk diantara mereka.

Kim ikut mengarahkan pandangan pada sepasang suami istri yang usianya tak jauh beda dengan orang tuanya, kemudian tersenyum manis.

"Hai, Om, Tante. Kenalin aku, Kim," ujarnya menghampiri dan memperkenalkan diri sambil mencium punggung tangan keduanya secara bergantian.

"Hai, Sayang," Sapa Doni.

"Kamu cantik banget," puji Mila.

"Makasih, Tante," jawab Kim malu- malu meong.

 Menurut penerawangan otak kirinya, Mila ini orangnya riang, keibuan, jelas sekali dari wajah lembutnya itu. Tapi kalau Doni, orangnya agak cuek, dari raut mukanya, sih, beliau bukan termasuk sosok Ayah yang humoris. Lebih terlihat dingin, kayak si Guru killer. Lah, ini kenapa ia malah keingetan sama itu Guru. Ada yang aneh dnegan otaknya.

"Ma, Aku ketoilet bentar, ya," ujar Kim pada mamanya.

"Ya udah, sana, jangan lama-lama." 

"Iya, aku ke toilet bukan buat bobok cantik, kok, Ma. Jadi, nggak akan lama. Oke," canda Kim sambil berlalu pergi.

"Kamu ini," gerutu Jessica menaggapi ocehan putrinya.

"Ini anak, kok lama banget, ya, datangnya," ujar Mila pada suaminya.

"Coba ditelepon." 

Pada saat ia hendak menelepon, tiba-tiba pandangannya mengarah pada seseorang yang sedang ditunggu-tunggu.

"Ah, itu dia sudah datang," seru Mila yang melihat sang anak dari kejauhan yang sedang berjalan mengarah padanya.

Seorang pemuda berperawakan tinggi, menghampiri Mila dan Doni ... kemudian mencium punggung tangan keduanya. Begitupun hal yang sama dilakukannya pada William dan Jessica. 

Pada saat hendak duduk, di saat yang bersamaan Kim yang juga baru balik dari toilet juga hendak kembali duduk ke kursinya.

'Brugghh!!'

"Aduh!!" teriak Kim hebohh.

"Astaga, Kim."

"Kalian nggak apa-apa?" tanya Mila.

"Jalan hati-hati, dong, Kim," omel William dengan tingkah putrinya.

Ya ampun, ia sangat yakin dengan pasti kalau ini bukanlah salahnya. Tapi, kenapa malah ia yang kena omel. Dan wah ... betapa kagetnya ia saat melihat siapa orang yang sudah menabraknya. Bahkan, dia jugalah yang menabraknya di sekolah, tapi malah tak mengaku.

"Kamu."

"Bapak," kaget mereka barengan.

"Aduh ... Bapak kok hobby banget, ya, nabrak saya. Nggak di Sekolah, nggak di sini," semprot Kim langsung sambil kembali berdiri dari duduk manisnya di lantai.

"Kamu nuduh saya nabrak kamu lagi?'' tanya Alvin tak kalah sewotnya.

''Ah, terserah Bapak lah ... toh, Bapak juga nggak akan mau disalahkan," cerocos Kim. 

"Ehem." 

Deheman Doni membuat semuanya kembali duduk ke kursi masing-masing, termasuk Kim dan Alvin sendiri.

"Lah, ini Bapak kenapa juga ikut- ikutan duduk di sini?'' tanya Kim heran.

"Tenang dulu, Sayang," sergah Jessica.

"Kimmy, Sayang ... apa kamu kenal dengan dia?'' tanya Mila pada Kim sambil menunjuk ke arah Alvin yang masih duduk bersandar di kursi dengan tampang dinginnya.

"Ya, dia Guru di Sekolah aku, Tan," jawab Kim seadanya.

"Menurut pendapat kamu, dia gimana?" tanya Jessica ikut-ikutan.

"Hah?'' Pertanyaan macam apa itu.

Kim agak bingung. Masa ia ditanya mengenai pendapatnya tentang Alvin yang baru dia kenal beberapa jam saja. Tapi setidaknya bisa ia pastikan kalau Alvin adalah tipe cowok yang menyebalkan.

"Iya, menurut kamu Alvin itu gimana?'' ulang Jessica.

"Jujur, nih, ya ... meskipun saya baru ketemu hari ini, tapi menurut saya Pak Alvin itu, hmm ... nyebelin pake banget, ngeselin, dingin dan muka tembok. Rasanya pengen saya cakar-cakar dan jambak-jambakin," jelas Kim dengan semangat menggebu gebu, yang dibalas tatapan membunuh dari Alvin dan itu benar-benar menakutkan.

Ia tertawa receh. "Sorry ya, Pak. Ini jangan disangkut pautin sama nilai saya loh, harus profesional," ingatkan dirinya tentang keprofesionalan seorang guru. "Eh, ngomong-ngomong ini Bapak kenapa di sini?'' tanyanya kembali menyadari.

Baru sadar kenapa dari tadi si Guru killer juga ikut-ikutan duduk di sini. Nggak mungkin juga, kan, kalau ini guru mengikutinya. Kalau benar begitu, jelas saja ia sangat kekurangan pekerjaan. 

"Kim, Alvin ini anaknya Tante Mila, sama Om Doni," jelas Jessica.

"Apa?!"

Jujur, ia sangat kaget mendengar penuturan mamanya. Itu berarti, dari tadi ia sudah menjelek-jelekkan anaknya Tante Mila sama Om Doni. Oh astaga, ini memalukan .

"Jadi?'' Kim mengedarkan pandangannya pada Alvin, Mila, dan Doni secara bergantian.

"Iya, Sayang. Alvin adalah putra kami," ungkap Mila.

"Dan Alvin jugalah yang akan kami jodohkan sama kamu, Sayang," sambung Jessica menambahkan.

"Whattt!!!'' 

Astaga naga, belum reda rasa kagetnya kalau Alvin adalah anak dari Doni dan Mila, sekarang ditambah lagi dengan ucapan mamanya barusan. Demi apa ia mesti dijodohin sama Alvin, yang jelas-jelas adalah gurunya sendiri.

"Mama, bercandanya nggak lucu," ujar Kim dengan senyuman terpaksanya.

"Ini serius," tegas Jessica.

"Omaigat!!!" Kim seolah menahan  rasa kagetnya agar tak terlalu histeris. Gelas gelas di meja seakan mau retak mendengar suara kagetnya itu. "Kok, cuma aku yang kaget, Bapak nggak kaget gitu dengernya?'' tanya Kim pada Alvin yang masih duduk dengan santainya, seolah-olah tak kaget ataupun sejenisnya. 

"Saya sudah tahu," jawabnya singkat. 

Kim langsung memasang muka juteknya mendengar jawaban Alvin "Saya mau bicara sama Bapak," ujar Kim langsung menarik tangan Alvin dan membawanya keluar dari Cafe. Ia benar-benar geram dengan masalah ini.

"Hei, Lepas!'' bentak Alvin sambil menunjuk tangan Kim yang masih memegang pergelangan tangannya.

"Ih, Bapak kok nyebelin banget, sih," geram Kim melepaskan tangan Alvin dengan kasar.

"Kamu dari tadi terus memanggil saya dengan sebutan, Bapak. Memangnya saya sudah bapak-bapak," kesal Alvin tak terima.

"Kan, Bapak Guru saya.'' 

"Iya, kalau di Sekolah."

"Ah, terserahlah. Bapak sudah tahu dari awal, kan, kalau saya yang dijodohin sama Bapak?'' tanya Kim.

"Ya," jawabnya singkat.

"Pantesan, jutek," cetus Kim.

"Biasa saja."

"Oke, kalau gitu saya minta Bapak buat tolak perjodohan ini," pinta Kim.

"Maaf, saya bukan seorang anak yang mau hancurin keinginan orang tua saya. Kenapa bukan kamu saja?"

"Pak, kalau saya yang batalin, ntar semua fasilitas saya bakalan disita. Hancur dong hidup saya." Sudah jelas ia tak ingin mimpi buruk itu sampai terjadi.

"Ya sudah, kalau gitu jalani saja ... gampang, kan,'' ujar Alvin singkat sambil berlalu pergi meninggalkan Kim dan kembali ke dalam cafe .

"Aaaakkhh!!!" teriak Kim frustasi atas sikap Alvin yang menurutnya sangat-sangat menyebalkan. Mudah sekali ia berpikir dan menjawab se-simple itu. Masalah ini menyangkut kehidupannya selanjutnya.

"Jadi, semua fix, ya," ujar Mila.

"Iya atuh, Jeng. Alvin udah terima, Kim juga gitu, kita lanjutlah," sahut  mamanya Kim.

"Lanjut?" Bingung Kim.

"Kami sudah sepakat kalau kalian besok tunangan ... trus, hari minggu kalian menikah."

"Hah?''

 Semoga saja saat ini jantungnya dalam keadaan baik-baik saja. Meskipun ia tau dijodohkan, tapi nggak secepat ini juga kali nikahnya. Masa iya dalam beberapa hari ini statusnya bakalan berubah jadi seorang istri.   

"Tapi, Ma, Pa, Om dan Tante ... apa nggak cepet banget, ya. Ini nikah beneran, loh," ujar Kim mengingatkan. Ya, siapa tau aja ibu-ibu dan bapak-bapak ini lupa, apa itu, menikah.

"Iya, kami pingin cepet-cepet aja. Biar kamu ada yang jagain, Kim," ujar Jessica.

"Dan Alvin ada yang ngurusin." tambah Mila yang dibalas tatapan nggak jelas dari putranya itu. "Dan satu lagi, Kim. Jangan panggil Alvin dengan sebutan Bapak terus dong ... umur kalian cuma beda 5 tahun, panggil Kak Alvin aja," tambah Mila menjelaskan.

Kim hanya membalas dengan anggukan nggak jelas. Apalagi yang akan ia lakukan selain itu.

Setelah semuanya beres, Mila malah memaksanya pergi sama Alvin untuk membeli cincin tunangan. Dengan hati yang sangat dipaksakan lagi akhirnya ia turuti juga.

"Awas, ya, kalau Bapak sampe ngasih tau orang satu Sekolah tentang ini semua," peringat Kim yang saat itu sedang berjalan di belakang Alvin. Malahan ucapannya tak mendapakan respon apa-apa. Tapi ia yakin, kalau Alvin mendengar ucapannya barusan .

Setibanya di sebuah toko perhiasan, mereka berdua langsung disambut oleh pemilik Toko. 

"Eh, Mas Alvin. Mau ambil pesanannya, ya?''

"Iya," angguk Alvin mengiyakan.

"Ini siapanya, Mas?" tanyanya sambil menunjuk ke arah Kim yang berdiri disamping Alvin. "Adiknya, ya, Mas," tebaknya karna melihat Kim yang masih mengenakan  seragam SMA.

'Ih, enak bener ni orang ngomongnya. Masa iya gue yang cantik, imut-imut gini dibilang adiknya si muka tembok," batin Kim merutuki perkataan si pemilik Toko.

"Kenapa? Biasa aja dong, mukanya,'' ujar Alvin yang melihat ekspressi muka kesal Kim yang tak terima kalau ia dikira adiknya.

"Ini, Mas, cincinnya," ujar pemilik toko yang kembali sambil membawa sepasang cincin.

Alvin tiba-tiba saja menarik tangan Kim dan itu membuatnya kaget. "Eh, eh ... mau ngapain?'' tanya Kim. Tapi Alvin tetap memegang tangannya dan tertuju pada jari manis.

"Udah pas atau belum?'' tanya Alvin.

'Oowh mau cobain cincin, kirain ...' 

''Gimana, udah pas atau belum?'' tanya Alvin lagi 

 tanpa menatap ke arah Kim.

"Iya."

"Duh, ini calon istrinya Mas Alvin. Maaf, saya kira tadi adiknya, Mas. Soalnya masih pake seragam SMA. Kok bisa, sih, Mas, apa kecelakaan, ya, Mas?" tanya-nya nggak berhenti-berhenti, yang hanya dijawab dengan tatapan tak suka dari Alvin.

'Kecelakaan? Maksudnya, gue bunting, gitu? Anjirr, mulut ni orang pengen ditabok kayaknya. Dia kira gue cewek apaan,' gerutu Kim dalam hati.

"Maaf, Mas," ujar si pemilik toko seolah tau arti dari ekspresi wajah Alvin.

Setelah selesai untuk urusan cincin, keduanya kembali ke mobil. Dalam keadaan berdua di mobil beginilah, Kim menjadi sangat canggung. 

"Ini kita mau kemana?'' tanya Kim yang menyadari kalau ini bukan arah jalan pulang ke rumahnya. 

''Makan, saya lapar,'' jawabnya dingin.

Bukan hanya Alvin yang merasa lapar, Kimmy pun juga begitu. Pada pertemuan di Cafe tadi, ia tak dipersilahkan untuk makan terlebih dahulu. Sungguh keterlaluan sekali orang tuanya.

"Saya pikir Bapak nggak punya rasa lapar," ledek Kim sambil tertawa lepas.

"Saya juga manusia." 

"Benarkah?'' tanya Kim becanda. Tapi Alvin malah membalasnya dengan tampang sangarnya. Auto ciut. "Becanda kali, Pak." Kim menyadari tatapan yang ia terima dari Alvin itu begitu menakutkan.

"Saya kan sudah bilang, jangan panggil saya dengan sebutan, Bapak," protes Alvin untuk yang kesekian kalinya masalah panggilan Kim padanya.

"Iya, iya, maaf, Pak. Eh, maksudnya, Kak," ulang Kim pada perkataannya, meskipun agak berat.

Keduanya sampai di restoran dan memilih untuk duduk di meja bagian paling ujung.

"Ini menu nya, Mas, Mbak," ujar seorang pelayan cafe sambil menyodorkan buku menu pada Alvin dan Kim.

"Saya pesen salad, sama minumnya green tea," ujar Alvin sambil menyodorkan kembali buku menu pada pelayan Cafe dan menatap Kim seolah bertanya mau makan apa? Tapi nggak mungkin juga seorang Alvin mengatakan itu langsung.

"Saya pesen chicken saos teriyaki," jawab Kim.

"Sebentar, Mas, Mbak," ucapnya sambil berlalu.

Saat makan pun, Alvin dan Kim tak bicara apa-apa. Apa yang akan di bicarakan, menurutnya, Alvin bukanlah lawan bicara yang baik. 

"Bapak vegetarian?'' tanya Kim membuka pembicaraan.

"Bukan,'' jawabnya singkat.

"Trus kenapa?" tanya Kim sambil menunjuk ke arah piring Alvin.

"Memangnya cuma seorang vegetarian yang boleh makan sayuran?'' tanya Alvin balik .

"Hehehe, iya, ya," balas Kim cengengesan. Tapi sebenarnya dalam hati ia malah memikirkan seekor kembing.

"Dan satu lagi. Jangan pernah bicara disaat makan, itu sangat tidak sopan," jelas Alvin mengingatkan, masih dengan tampang dinginnya yang menurut Kim sangat kelewat batas. Seperti tak punya eksressi saja.

"Peraturan apa itu?" tanya Kim. Tapi pertanyaannya malah dikacangin begitu saja oleh Alvin. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status