Suasana canggung lagi-lagi tercipta. Setelah, makan malam yang gagal, akhirnya Dennis dan Azyan pulang, karena Baby Danish terus menangis.
Sekarang sudah pukul 10 malam, memang bukan waktu yang bagus, karena bayi yang masih merah, tak boleh kena angin malam.
Azyan mengendong Baby Danish yang mendadak menangis, padahal bayi merah itu sempat tertidur saat dalam mobil. Dan sekarang, ketika menginjak udara rumah, auranya menjadi ribut. Dennis membuka pintu rumah berwarna putih gading tersebut, dan mempersilahkan Azyan masuk terlebih dahulu.
Azyan sempat duduk di sofa, sambil menimang Danish yang terus menangis. Bahkan, sudah diberi ASI, bayi itu terus menangis.
"Udah ya baby. Neny sedih, kalau baby nangis terus." bisik Azyan lembut. Ia tak tega, melihat bayi merah itu terus menangis. Ia berharap Danish bisa berbicara, agar ia tahu, apa yang bayi itu keluhkan.
Sudah diberi ASI berkali-kali, Danish tetap menolak. Bayi itu terus menangis, membuat Azyan ikut meneteskan air mata. Gadis itu merasa sedih, tak bisa mengerti bahasa bayi.
"Sayang... sayang..." Azyan mendekap dengan sayang Danish, dan terus menggerakan badannya, berharap Danish diam. Tapi, tangisan bayi makin kencang. Azyan akhirnya hanya bisa meneteskan air mata, merasa tak berguna, tak bisa menenangkan Baby Danish.
"Masuk angin tuh." Azyan berlonjak kaget, ketika melihat Dennis sudah berdiri di depannya. Lelaki ini, selalu saja membuat jangtungnya nyaris copot, karena suka hadir tiba-tiba.
"I-iya." jawab Azyan gugup.
"Coba beri minyak angin." Azyan menerima minyak angin yang diberi Dennis. Lelaki itu terus memperhatikan dirinya, yang sedang menggosokan minyak angin di perut Danish.
"Di kamar aja." perintah Dennis. Akhirnya, Azyan memindahkan Danish dan meletakan di kamarnya.
Dengan hati-hati, Azyan membuka baju Danish dan mengosokan minyak angin di perutnya. Apa iya kembung. Azyan menepuk-nepuk kecil perut Baby Danish, tubuh bayi itu merah semua, karena terlalu banyak menangis.
Dennis hanya memperhatikan lidah kecil Baby Danish yang melurus karena, menangis dengan sekuat tenaga.
"Udah, cepat tutup nanti masuk angin lagi." Azyan dengan gugup mengancingkan lagi baju Danish. Ia selalu kikuk, jika Dennis berada di sekelilingnya dan merasa tak nyaman.
Segala cara Azyan lakukan, mulai dari menimang, menyanyikan, dan menggerak-gerakan, beri ASI dan tak ada respon yang berarti dari Baby Danish. Dan Dennis hanya berdiri di sudut memperhatikan bagaimana Azyan yang kewalahan. Dennis hanya memajangkan dirinya disana, tanpa ada tindakan apa-apa.
"Sini." Azyan yang sedang mengerakan tubuh Baby Azyan dengan gugup, memberi bayi merah itu pada Dennis.
Dennis mendekap bayi merah itu dan melihat wajahnya. Sangat merah, dan lagi-lagi Dennis perhatikan lidahnya. Dennis menatap lama bayi itu, sambil mencium aroma bayi yang membuatnya ketagihan sekarang.
Setelah merasai tangan Dennis, secara ajaib bayi itu diam. Dennis menghembuskan napas gusar, apa artinya bayi merah ini akan diam, jika terkena tangannya?
Azyan membiarkan Dennis menenangkan Baby Danish. Perlahan, bayi itu tertidur. Mungkin juga kelelan, karena kebanyakan menangis.
"T-tidur bang." Azyan menunjuk ke tengah ranjang. Menandakan agar Dennis memindahkan Baby Danish. Karena laki-laki utu berdiri lebih dari 30 menit, sambil menimang Baby Danish.
Akhirnya, Dennis memindahkan Baby Danish dan membiarkan bayi itu tertidur di pelukannya. Merasa lelah, Dennis ikut tertidur. Azyan serba salah, ia tak mungkin satu ranjang bersama Dennis. Ia bolak-balik, harus tidur di mana. Ia tak mungkin, di kamar lelaki itu, nanti Dennis mengira ia akan, mencuri barang laki-laki itu. Tak ada pilihan lain, Akhirnya, Azyan mengalah dan memilih tidur di sofa. Azyan memeluk dirinya karena kedinginan, ia yang sudah terbiasa memeluk Baby Danish, merasa kehilangan, karena kehangatan dan aroma bayi itu telah diambil oleh Dennis. Azyan juga mengantuk dan capek sejujurnya, ia tak pernah berpengelaman mengasuh bayi, dan sekarang mengemban amanah yang sangat besar.
Azyan sempat melihat Dennis yang tertidur dalam damai, seperti potret ayah dan anak, minus ibu. Tanpa sadar, Azyan menyungingkan senyum.
Azyan menutup intu kamar, dan ia tertidur di sofa. Sambil berjaga-jaga, jika Baby Danish terbangun di tengah malam, minta makan, atau buang air.
________________________
Mata Azyan begitu berat. Ia sampai bermimpi, sedang pergi ke pasar, membeli balon, dengan keadaan begitu ramai.
"Zyan.."
"Zyan.."
"Zyan.."
Azyan merasakan ada yang memanggil namanya di tengah keramaian pasar, tapi Azyan tak bisa merasakan itu siapa.
"Zyan!" Kali ini lebih keras. Azyan langsung terbangun. Gadis merasakan, tangan Dennis masih berada di pipinya. Dengan mata yang berat, Azyan melihat Dennis yang berjongkok di depannya.
"Jangan tidur di sofa." Azyan masih diam. Kesadarannya belum kembali. Kepala gadis itu terasa berdenyut.
"Nih, makan dulu. Kamu harus banyak makan, nanti nggak ada makanan buat Danish." Dennis memberikan ayam goreng sekotak lengkap dengan nasi dan minuman.
"A-bang makan." ujar Azyan gugup.
"Ya, saya juga lapar." Dennis ke belakang mencuci tangannya. Lelaki itu tersadar, sekitar jam 11. Karena perutnya melilit minta isi. Akhirnya, ia keluar dan membeli ayam goreng 24 jam, sekalian nasi dan airnya.
Setelah Dennis mencuci tangan, Azyan bergilir mencuci tangannya di wastafel.
Dennis mengeluarkan nasi, ia mengumpulkan dua nasi jadi satu, dan menumpuk beberapa potong ayam, dan sambal. Padahal Dennis akan melarang Azyan tak boleh makan sambal, kasian Danish harus sakit perut nanti. Sebagai orang pintar, harusnya Dennis tak menelan mentah-mentah mitos tersebut. Tapi, Dennis tak ingin, ada apa-apa yang terjadi pada Baby Danish. Azyan belum terlalu telaten mengurus anak.
"I-ini makan berdua bang?" Dennis mengalihkan pandangannya pada Azyan.
"Makan Zyan." perintah Dennis, tanpa menjawab pertanyaan gadis itu.
Akhirnya, Azyan duduk di hadapan Dennis, duduk bersila dihalangi oleh meja, dan makan sepiring berdua. Sebenarnya Azyan merasa kurang nyaman, tapi ia melihat Dennis begitu santai, akhirnya ia ikut menikmati makanan tersebut.
"Jangan colek-colek sambal." Cegat Dennis, ketika ingin mengambil sedikit sambal pada potongan ayam yang akan masuk ke mulut.
"T-tapi."
"Jangan bantah Zyan. Saya nggak mau, Danish sakit perut." Akhirnya dengan muka merah, Azyan memasukan nasi dan ayam dalam mulutnya, walau rasanya kurang nikmat karena tak ada sambal.
Keduanya makan dalam diam, bahkan Dennis makan begitu lahap, begitupun Azyan.
"Kamu ngantuk nggak, besok ke kampus?" Azyan dengan malu mengeleng. Dennis terus melanjutkan menggigit tulang ayam, dan menyingkirkan tulang-tulang.
Ketika Dennis lengah, Azyan mencuri sambal sedikit-sedikit.
"Saya lihat Zyan." Akhirnya Azyan dan Dennis tertawa bersama. Dennis yang terlalu overproctive, dan Azyan yang kepala batu.
"Awas ya, kalau sakit perut." Keduanya tersenyum lugas tanpa beban. Seperti suami istri.
Menyadari, keduanya terlewat akrab, bahkan bisa tertawa bersama, merupakan suatu kemajuan pesat.
"Ehem." Dennis membersihkan tenggorokannya. Ia sudah lama tak pernah tertawa, namun karena hal sepeleh seperti itu saja ia bisa tertawa. Azyan hanya makan sambil senyum-senyum.
Setelah selesai, keduanya duduk sebentar, dan melanjutkan tidur.
"Tidur sama saya malam ini." tukas Dennis. Azyan tiba-tiba membatu, apa maksudnya?
"Tidur di kamar Danish Azyan. Itu kan, kamar kamu." Azyan berlalu dan membereskan makanan mereka, dan mencuci tangannya.
"Jangan takut, nggak saya apa-apain." Azyan berlonjak kaget, tiba-tiba Dennis sudah berdiri di pintu, pembatas antara ruang makan dan dapur.
"I-iya bang." jawab Azyan gugup sambil mencuci tangannya.
Azyan membereskan semuanya dan menunggu Dennis di sofa. Lelaki tinggi tegap itu mengelap tangannya dan melihat Azyan yang menunggu di sofa.
"Ayo." ajak Dennis. Dengan gugup Azyan mengikut langkah kaki Dennis di belakang.
"Saya tidur nggak bisa lampu terang." Dennis sudah berbaring. Azyan masih berdiri di tepi ranjang.
"B-baby nggak bisa tidur gelap." Azyan sudah terbiasa lampu terang, karena ia akan repot jika Baby Danish terjaga tengah malam, dan harus bolak-balik menghidupkan lampu.
"Yaudah." Dennis mengambil bantal dan menutup seluruh wajahnya.
Dengan perlahan, Azyan naik ke atas ranjang luas yang terasa dingin. Baby Danish yang tidur di tengah tak terpengaruh sama sekali, dengan dua orang dewasa di sampingnya.
Azyan tak bisa menutup matanya. Begitupun Dennis. Lelaki itu bolak-balik juga tak bisa tidur. Azyan hanya memandang Baby Danish, yang menyedot-nyedot bibirnya. Dan tangan kecilnya yang memakai sarung terlihat begitu lemah dan mengemaskan disaat bersamaan.
Azyan menowel-nowel lembut pipi Danish. Berharap bayi itu terbangun, karena ia tak bisa seranjang bersama Dennis. Jantung Azyan berpacu lebih kerasa. Bukan ia suudzon pada Dennis yang akan memperkosanya, Azyan tahu, Dennis bukan lelaki seperti itu, tapi ia hanya merasa tak tenang.
Tiba-tiba mata Azyan menangkap iris Dennis yang menatapnya. Azyan jadi bertingkah gugup.
"Saya nggak bisa tidur." curhat Dennis.
"I-iya."
"Besok di kantor pasti ngantuk." Dennis menyugar rambutnya yang hitam legam. Azyan memperhatikan semua gerak-gerik lelaki itu.
"Hah. Dia nggak sadar ya." puji Dennish memperhatikan Baby Danish. Tanpa sadar, Azyan juga tersenyum memperhatikan bagaimana bayi merah itu tertidur.
Tangan Dennis dan Azyan sama-sama terulur membeli pipi Baby Danish sebelah kiri dan kanan.
"Sebenarnya, dia lucu bangat. Seperti tak ada dosa sama sekali. Kenapa orang tuanya membuangnya?"
Azyan hanya tersenyum. Ia tak punya alasan pasti untuk pertanyaan Dennis.
"Tidak apa-apa dengan begini, abang bisa secepatnya cari istri." Dennis hanya terdiam. Entah kenapa, ia tak ingin ada kata istri di hidupnya Apa artinya hidup Dennis sudah nyaman dengan kehadiran Baby Danish dan Azyan? Entalah. Lelaki itu sendiri tak bisa menjawab isi hatinya.
"Saya nggak pernah mikir nikah Zyan." Dennis menggaruk rambutnya. Cowok itu bangun dan duduk di ranjang. Azyan terus menopang kepalanya.
"Kamu tahu kenapa?" tanya Dennis. Azyan menggeleng. Memangnya siapa yang tahu, lelaki itu tak mau menikah? Bahkan, bundanya saja tak tahu pasti, alasan Dennis tak pernah memikirkan pasangan.
"Argh... mungkin suatu saat kamu akan tahu." Azyan hanya diam. Itu masalah pribadi Dennis, ia tak berhak tahu hidup lelaki itu. Tugasnya sekarang, menjadi nanny dan merawat Baby Danish sepenuh hati.
Dennis tiba-tiba terdiam. Ia tak pernah seterbuka ini pada orang lain, bahkan bundanya sendiri. Apa artinya, Dennis nyaman bersama Azyan? Entalah, lelaki itu tak dapat menjawabnya.
"Semuanya terasa rumit. Dan tak seorangpun yang mengerti dan tahu hal ini." Lagi-lagi Azyan diam dan memandang Baby Danish, sesekali, cewek itu melirik punggung tegap Dennis. Dan membiarkan perasaan asing terus menganggu dirinya.
"M-mungkin ada saatnya abang berbagi, biar tak menyimpannya sendirian."
"Benar." ujar Dennis membenarkan ucapan Azyan. Ia hanya perlu berbagi, pada orang yang bisa ia percaya dan membuatnya nyaman. Ia juga, tak mungkin terus dihantui oleh masa lalu. Keadaan yang seharusnya membuat ia hidup tenang, tanpa ada bayang-bayang masa lalu yang terus menganggu hidupnya. Tujuan utama Dennis sekarang adalah, membesarkan Baby Danish. Bahkan, sampai besar, Baby Danish harus tahu orang tua Danish, bukan bayi yang diadopsi dari panti asuhan.
"Tidur?" Azyan mengeleng. Bahkan, matanya terasa segar sekarang.
"Bahkan, jika Danish besar, dia akan tahu kamu ibunya." Perasaan bersalah dan sedih begelayut di dada Azyan. Demi apapun, gadis ini tak rela jika pada akhirnya ia harus berpisah dengan bayi megemaskan ini. Baby Danish berhak bahagia, dan ialah saksi pertumbuhan bayi ini sampai dewasa. Bahkan, Ayzan rela menjadi nanny Baby Azyan seumur hidup. Ia terlampui menyanyangi Baby Danish seperti anak sendiri, naluri keibuan muncul ketika melihat Baby Danish yang polos dan lemah.
"S-saya akan tetap jadi Ibu Danish. Walau orang lain tahu, saya hanya pengasuh." Dennis mengangguk. Ia lega, akhirnya Azyan punya pemikiran yang sama dengannya.
"Ya, Danish butuh kasih sayang dan perhatian."
Azyan dan Dennis sama-sama terdiam. Tak menyangka, waktu begadang mereka dihabiskan dengan pillow talk semacam ini. Deeptalk penuh makna. Dan hanya, mereka yang tahu arti dari masing-masing perkataan tersebut.
"Kamu nggak ngantuk?"
"Nggak bang." Azyan menggigit bibirnya, ketika menyadari ia tak lagi gugup berinterkasi bersama Dennis.
"Coba tutup mata." Azyan akhirnya menurut. Gadis menurunkan kepalanya di bantal bersampul kuning tersebut, dan menutup matanya. Tiba-tiba ia merasakan sebuh tangan besar menggengam tangannya jantung Azyan mau copot. Ia ingin berteriak minta tolong. Tapi tubuhnya seolah kaku, yang ia lakukan hanya merasakan tangan hangat itu menggengamnya.
"Begini lebih baik?" tanya Dennis. Azyan hanya diam. Ia semakin merasakan, ketika tangan besar itu mengelus-elus lembut tangannya. Bahkan, Azyan mengintip sedikit apa yang dilakukan lelaki itu.
Azyan bisa melihat, Dennis yang memeriksa kuku-kuku jarinya. Bersyukur, ia sudah memotong kuku kemarin, jika tidak, ia yakin, lelaki itu akan menegurnya jorok.
"Saya harap, kamu bisa jadi Ibu Danish selamanya."
Cup!
Dennis mengecup tangan Azyan. Gadis itu langsung melotot. Dan berharap, Baby Danish tak bangun dan melihat adegan tak senonoh di depannya.
"Goodnight Mommy Danish." ucapan itu mengalun merdu di telinga Azyan. Membuat kerja jantung gadis itu tak sehat, bahkan mau meloncat dari sarangnya. Perlakuan Dennis yang tiba-tiba dan tak diduga, membuat Azyan selalu was-was.
Ucapan goodnight bukannya membuat Azyan tertidur, nyatanya gadis itu tak bisa tidur sampai pagi, karena perlukan Dennis yang tiba-tiba.
Dan Azyan menantikan perlakukan ajaib Dennis yang lain. Sangat!
_________________________
We come to the chapter 2. Hope you guys, enjoy the story. Don't forget to rate this story with 5 stars.
See you :*
"Selamat pagi." Azyan mendengar suara bariton yang mengantar tidurnya. Gadis itu tersadar, ia baru tertidur selama 45 menit. Ia tak bisa tidur karena perlakuan Dennis yang tiba-tiba, dan sekarang ia harus bangun lagi.Sebenarnya, Azyan masih mengantuk, tapi ia sadar diri. Akhirnya dengan senyuman ia terbangun. Keduanya saling menyapa dengan senyuman pagi."Dia nggak sadar-sadar." Dennis melihat ke arah Baby Danish, dan tersenyum. Azyan hanya tersenyum, ia juga heran, Baby Danish begitu nyenyak. Biasanya bayi merah itu terbangun 2-4 kali karena pampers penuh atau ingin makan. Tapi, tidak sama sekali. Sepertinya, ia kelelahan karena menangis.Dennis bangun dari ranjang. Dan menggaruk rambutnya sambil menguap, semua hal itu tak pernah lepas dari pandangan Azyan."Saya mau buat sarapan. Kalau ngantuk tidur aja." Dennis pun keluar. Meninggalkan Azyan yang memerah. Hey, ia hanya seorang pengasuh tapi kenapa ia bersi
"Bang, makan." Dennis mengepalkan tangannya. Ia masih ingat, mereka berasal dari kandungan yang sama. Berasal dari satu perut. Kalau saja, Darris bukan anak Ilona, Dennis akan menendang Darris ke sungai dekat rumahnya.Cowok itu tanpa malu, duduk di meja makan, dan membuka tudung saji, rupanya kosong. Ia sudah terbiasa, di rumahnya disajikan berbagai makanan berbagai macam oleh bundanya."Disini bukan warung makan.""Aelah bang. Tinggal pesan aja, yaudah aku suruh bini masak dulu ya.""Bella!" Suara Darris mengema di seluruh ruangan. Benar-benar gen raja hutan. Di manapun berada, pasti teriak-teriak seperti Tarzan."Saya usir kamu! Jangan teriak-teriak, disini ada bayi!" peringat Dennis. Darris hanya nyegir. Cowok tampan itu melihat abangnya dan tersenyum. Jarak usia yang lumayan jauh, membuat kedua cowok dalam keluarga raja hutan tak terlalu dekat. Darris lebih dekat dengan kembarannya.
"Kok, Bunda nggak pernah lihat, kamu bawa pasangan ya bang? Apa adopsi bayi juga kurang? Apa perlu, bunda cari cewek juga nih?" Dennis menghembuskan napas gusar. Minggu pagi yang cerah, rencana ingin menghabiskan waktu dengan bersantai, atau memanjakan diri, dengan pergi gym, atau berenang untuk meregangkan otot-ototnya. Malah, diundang sang raja hutan ke rumah, alhasil ia harus membiasakan telinganya mendengar kata-kata ini setiap saat.Dennis sedang duduk di teras samping rumahnya, dengan sang Papah yang juga duduk di depannya. Dan sang bunda yang masih segar dan cantik, sedang memakai masker sepagi buta ini, tapi sudah sibuk masalah jodoh."Udahlah bun. Yang penting Dennis udah ada tanggung jawab sekarang." jawab Darren menenangkan istrinya. Ia tahu, wanita yang telah ia kenal puluhan tahun ini sangat ambisius orangnya."Oh tidak bisa! Bunda mau gendong cucu sekarang, bunda mau punya banyak cucu." Dennis hanya diam, dan me
Terdiam. Berdiri kaku.Dennis melakulan hal ini dalam waktu yang ia sendiri tidak memastikan, ia hanya berdiri di kuburan. Ya, kuburan seseorang yang takkan pernah ia lupakan hingga sekarang, bayangan dan penyesalan terus menghantuinya.Laki-laki minim ekspresi itu hanya berdiri disana, sambil membaca berulang-ulang nama yang tertulis dan batu nisan tersebut, dan berharap ketika hitungan ke 100, nama itu bisa berubah. Nyatanya, sudah 342 kali Dennis membaca nama itu, tetap sama. Nama seseorang yang sangat membekas hingga sekarang. Teman masa kecil, yang membuat Dennis terus belajar agar menunjukan pada 'sosok' tersebut, ia layak diperhatikan. Tapi, saat gadis itu meinggalkan dunia fana itu, apa yang ia rasakan hanya tertahan dan tiggal di angan.Bahkan, sudah berdiri lama, lelaki itu tak pernah dapat melupakan bayang-bayang dan penyesalan. Dennis berjongkok, dan hanya mengelus-elus kuburan, ia tak bisa berbicara sekata-pata,
Dennis membersihkan tenggorokannya. Ia akhirnya menuruti, saran bundanya untuk bertemu Alena. Wanita yang akan ia jadikan masa depan.Hari ini, Dennis hanya memakai pakaian santai, kemeja kotak-kotak kecil garis merah dengan warna dasar dongker dan celana jeans belel. Dennis juga memakai topi, sebelum berangkat ke restoran yang dijanjikan, ia pergi dulu ke rumah bundanya, dan banyak mendapat wejangan."Bunda jadi ingat papah kamu saat masih muda. Sama persis." Dennis hanya berdiri kaku di sana, melihat mata bundanya yang sudah berkaca-kaca. Wanita yang sudah berumur tersebut, hanya memakai daster rumahan, dengan warna biru les merah. Dennis melihat ke arah ayahnya yang duduk tenang, tak banyak bicara sama seperti dirinya."Pokoknya bang, kali ini harus jadi. Jangan kaku-kaku amat jadi orang. Kalau bingung mau ngomong apa, chat bunda, biar bunda ajarkan kata-katanya." Darren terkekeh, pada tingkah istrinya. Ada saja, kelakuan
"Anjirrr lah." umpat Darris. Tiba-tiba ia merasakan sesuatu yang keras mendarat tepat di kepalanya. Sakit tentu saja. Lelaki itu melihat benda apa yang melayang ke kepalanya, dan itu kunci mobil. Ia melirik ke sana, dan melihat tatapan abangnya yang ingin membunuhnya."Papa pulang. Anak lagi tidur, tuh mama lagi nyusuin." canda Darris sambil meringis, karena rasa kepalanya seperti mau copot. Sakit sekali.Dennis masuk dan duduk di sofa ujung. Ia mengeluarkan ponselnya. Ia menelpon, dan menloudspeaker, ponsel tersebut."Gimana bang berhasil? Ah... bunda senang bangat nih, ada pencerahan." Darris menoleh pada abangnya, itu suara bundanya."Jangan kasih uang ke Darris selama seminggu. Dia bicara tak senonoh, bahkan mau buat mesum!""Ada apa ini?" suara Ilona di ujung terdengar panik. Darris hanya menganga. Gila! Abangnya nekat, dan jika ancamannya uang, ia tak bisa buat apa-apa. Karena ia tak puny
Familier.Dennis semakin menelan salivanya. Lelaki itu merasa dalam hidupnya, tak pernah berciuman dengan siapapun. Tapi, ia merasa seperti sudah pernah berciuman sebelumnya. Dengan siapakah? Mustahil, jika ia pernah berciuman dengan Azyan, padahal mereka baru kenal satu bulan terakhir.Dennis memiringkan wajahnya, meraup apa yang ada dalam mulut Azyan yang bisa ia sedot. Laki-laki itu meremas rambut tebal Azyan. Ia suka rambut Azyan."Em..." tanpa sadar Azyan mendesah. Ciuman ini membuatnya mabuk. Gadis polos dan pemalu dan tak melekat pada dirinya, Azyan menyambut ciuman dengan rakus. Gadis itu menutup matanya, membiarkan perasaannya makin mengakar. Walau tak ada yang tahu bagaimana perasaan Azyan pada Dennis.Keduanya tak ingin ada hari esok."Sorry." Azyan masih menunduk, ia tak berani menatap Dennis. Demi apa, ia terbawa perasaan membalas ciuman Dennis. Walau Dennis yang memulai, harusnya
Kedekatan Dennis dan Azyan sangat intens. Bahkan, tak ada rasa canggung di antara keduanya. Keduanya saling bertukar peran mengurus Baby Danish. Bayi berumur empat bulan, yang sedang belajar duduk. Semakin hari, Azyan dan Dennis semakin gemas dengan pertumbuhan bayi gendut tersebut.Seperti sekarang. Azyan sedang berjongkok, dengan Dennis yang berusaha menundukan Baby Danish walau bayi itu terjatuh lagi. Keduanya terus tertawa, ketika bayi merah itu hanya bisa mengikuti permintaan aneh-aneh orang dewasa yang sangat menyayanginya.Sekarang, Baby Danish sedang Dennis dudukan di sofa empuk dengan banyak bantal lembut yang mengelilinginya."Ahahaha nggak kuat, gendut bangat sih soalnya." Azyan menertawakan bayi merah yang membuat hari-harinya tak pernah sepi."Iya gendut." wajah Azyan memerah. Semakin hari, ia melihat Dennis semakin tampan. Terbesit rasa untuk memiliki lelaki itu begitu kuat. Tapi Azyan sadar, dir