"Sambutan selamat datang yang memang sedikit di luar kebiasaan. Tapi setidaknya dengan cara demikian aku jadi tahu kau punya kemampuan luar biasa. Mungkin juga yang paling hebat di rimba ini.""Jangan memuji terlalu tinggi. Aku takut jatuh terlalu rendah. Biasa-biasa saja, Nay. " Suri menggeser tubuhnya ke kanan. Terlihat bejana emas miliknya berkilauan."Kau pasti sudah tahu maksud kedatanganku, bukan?""Apa kau sudah siap dengan semua kenyataan yang akan kau lihat nanti?"Nay mengangguk kemudian Suri mempersilakannya mendekati bejana. Air di dalamnya tetap terlihat jernih. Artinya Nay akan tahu semua tentang Rasendriya. Ia meletakkan tangannya di atas permukaan air. Suhu air yang hangat membuatnya sangat nyaman hingga tidak terasa dia sudah terbawa ke suatu masa di mana Rasendriya berada. Ia sedang bersama Rawindra di suatu tempat di Astramaya. Terlihat dari batu-batu besar yang berada di sekitar mereka. "Kau adalah saudaraku satu-satunya. Kemungkinan terbesar kau tidak akan bisa
"Rey bisa melihat kami, Nay!" Suara Prita hampir terpekik."Kau benar. Dia bukan lagi Rey yang dulu," sambung Sri seraya duduk di pinggir tempat tidur Nay. Nay mengangkat tubuhnya ke posisi duduk. Bergerak sedikit mundur agar bisa bersandar pada sandaran tempat tidurnya dengan leluasa. "Apa dia mengatakan sesuatu pada kalian?""Tidak, Nay. Tapi sorot matanya itu, bagiku terasa seperti puluhan anak panah yang siap dilepaskan.""Aku sampai menggigil ketakutan," sambar Prita. "Aku bahkan bisa melihat api yang menyala-nyala di sana.""Rey tidak memberiku kabar sama sekali sampai malam ini. Kebenaran tentang hal yang baru kalian sampaikan aku ingin secepatnya dibuktikan.""Caranya sudah kau pikirkan, Nay?""Sudah, Sri. Aku akan meloncat dari atap gedung ini."Mata Prita mendelik. "Kau mau bunuh diri sepertiku?""Prita, Prita … gak mungkinlah Nay mau bunuh diri. Kupingmu ini harus sering-sering dibersihkan. Nay bilang mau meloncat dari atas gedung ini, bukan mau bunuh diri. Bedakan itu!"
Sebuah anak panah terlihat melesat dan tepat mendarat di samping Nay. Berpendar membawa untaian cahaya yang seketika berpendar menerangi sekitar. Ujung runcingnya menyentuh lapisan air yang membeku hingga menimbulkan suara retakan yang merambat cepat. Dari bentuk dan energinya, anak panah itu bulan milik Wirabadra. Bersamaan dengan retaknya lapisan es, jiwa Nay mulai bisa bergerak. Walaupun belum leluasa ia sudah bisa menggunakan jemarinya untuk mengumpulkan energi. Ia tetap harus waspada. Terlebih berada di tempat yang asing dengan sedikit cahaya yang membuat jarak pandangnya terbatas. "Akhirnya kau berada di Banyuputih, Nayara." Suara seorang laki-laki terdengar begitu dekat. Nay, berusaha bangkit dengan susah payah. Energinya belum cukup untuk melenturkan tubuhnya. Ya, pada dimensi lain jiwa terlihat tak ubahnya seperti tubuh kasar yang sebenarnya. "Apakah Anda raja Sudwika?" tanya Nayara setelah melihat dengan jelas sosok yang berdiri hanya beberapa jengkal darinya. "Kau menge
Sudwika tidak mengelak untuk tidak mengiakan pertanyaan Nay. Karena memang kenyataannya seperti itu. "Begitu pentingkah kekuasaan bagi kalian para penguasa dunia bawah? Apa kalian terbiasa memanfaatkan orang lain untuk mencapai tujuan?" tanya Nay tidak suka. "Ini bukan tentang kekuasaan tapi keseimbangan dunia bawah, Nay.""Keseimbangan seperti apa lagi? Alasan yang sudah pernah kudengar dan terkesan kalian buat-buat saja." Nay mendesah kasar. "Kembalikan aku ke duniaku. Masih ada urusanku dengan Rasendriya yang tidak perlu orang lain ikut campur.""Aku mengatakan yang sebenarnya, Nay. Naga sasra harusnya dibenamkan di dalam bejana emas milik ayahku agar energinya tetap. Tidak besar juga tidak kecil. Seimbang." Sudwika berusaha meyakinkan Nay. "Entahlah, aku sudah sulit mempercayai para penguasa. Di mulut berucap manis, tapi kenyataan terkecap pahit.""Sekarang kita pergi ke tempat di mana kau menancapkan naga sasra. Kau lihat dan rasakan apakah energi kerusi itu masih ada atau sud
"Sekarang kau sudah tahu, Nay. Jadi, bagaimana selanjutnya?" Akhirnya Rey membuka pembicaraan setelah beberapa menit mereka tidak mengatakan apa-apa. Nay mendesah pelan lalu meletakkan cangkirnya di atas nakas. "Aku tidak bisa menjawabnya sekarang. Aku perlu berpikir dengan tenang agar keputusan yang kuambil tidak kusesali nantinya.""Aku tidak akan memaksamu menjawabnya sekarang. Yang kau butuhkan saat ini adalah Istirahat. Kalau perlu apa-apa, telepon saja," kata Rey. Ia lalu berdiri tetapi ketika hendak melangkah, Nay memegang pergelangan tangannya. Pria itu menoleh. "Di sini saja. Banyak hal yang ingin aku tanyakan." Nay mendongak, melihat ke arah mata Rey. Tanpa berkata apa pun, Rey kembali duduk. Ia sejujurnya senang Nay menahannya. "Bertanyalah, aku akan menjawabnya dengan jujur." Suara Rey datar dan tenang. "Kenapa kau melakukan ini?" tanya Nay dengan intonasi suara yang sama dengan Rey. "Mungkin bagimu terdengar klise, tapi aku melakukan ini semua karena cinta. Walaupun
Nay dan Rey memutuskan untuk menunda pernikahan sampai hati satu sama lain sudah merasa benar-benar yakin. Setidaknya dibutuhkan waktu beberapa bulan untuk saling melihat ke diri masing-masing. Mereka menyibukkan diri dengan aktivitas keseharian seperti biasa. Nay tetap dengan profesinya begitu pula Rey. Mereka sengaja membuat intensitas pertemuan menjadi sedikit. Cukup satu minggu sekali. "Apa kau yakin cara ini ampuh, Nay? Bukankah semakin jarang bertemu akan semakin jauh," tanya Sri yang sedang bersandar di lemari memperhatikan Nay. "Antara yakin dan tidak," jawab Nay sambil mengundurkan rambutnya di depan kaca wastafel. "Menurutku terlalu beresiko kalau kalian saling menjauh seperti sekarang. Yang ada ikatan batin kalian jadi longgar.""Kalau akhirnya semakin longgar artinya kami tidak berjodoh.""Enteng bener ngomong begitu. Kau harus ingat Nay, perjuangan kalian itu berat. Sudah sampai sejauh ini malah pisah.""Kalau memang itu takdirnya, kami bisa apa, Sri."Sri mendesah pe
"Maaf kalau pertanyaan saya membuat Tuan Hansen teringat tentang masa lalu," ujar Nay. Matanya bergerak ke arah jendela. Ia melihat bocah lelaki yang belum ia ketahui namanya itu sedang berdiri memandangi papanya dari balik kaca jendela. "Silakan Nona mengecek area ini. Saya kedalam dulu." Tuan Hansen berbicara tanpa menoleh ke arah Nay. Ia kemudian melangkah masuk dari pintu yang sama. Nay melambaikan tangan dan membuka komunikasi dengan putra Tuan Hansen. Ia meminta bocah itu keluar. Ia ingin mendengar langsung apa yang sebenarnya terjadi sebelum mencari tahu sendiri. "Kita belum kenalan. Siapa namamu?" tanya Nay mengusap bangku besi yang menempel di dinding pagar beton sekadar untuk menyingkirkan debu dan kotoran. "Bastian. Mama biasa memanggilku Tian," jawab bocah itu sambil melongok ke dalam kolam renang. Ia berhenti beberapa saat lalu berjalan menghampiri Nay yang sudah duduk di bangku sambil memeriksa ponselnya. "Duduklah di samping Kakak. Kita ngobrol-ngobrol sebentar." N
Setelah menyelesaikan tugasnya, Nay berpamitan pulang. Ekspresi wajah Tuan Hansen berubah muram. Sangat berbeda dengan raut wajahnya saat Nay datang. Hampir bisa dipastikan penyebabnya adalah pertanyaan Nay tentang anak lelakinya. "Pak Bos sudah kenal lama dengan Tuan Hansen?" tanya Nay begitu ia sampai di ruangan Pak Oey. "Lumayan lama. Kenapa, Nay?""Istrinya apa masih ada, Pak?""Setahu saya masih. Sejak kematian anak laki-lakinya, dia mengalami guncangan mental. Menurut desas-desus sampai sekarang masih seperti itu.""Jiwa anak lelaki Tuan Hansen masih menunggu mamanya di rumah itu. Saya tidak mungkin mengabaikannya, Pak.""Mungkin beberapa kenalan bisa membantu memberikan informasi. Nanti saya infokan ke kamu, Nay. Saya ada urusan di luar. Kau periksa berkas ini, kalau sudah selesai kau bebas." Pak Oey mengambil tumpukan berkas dari atas meja kemudian memberikannya pada Nay. "Baik, Bos." Nay menerima berkas tersebut lalu masuk ke ruangannya. Nay memeriksa berkas yang diberika