Angin menerpa wajahnya pelan, sesekali rambutnya melambai ke setiap arah mana saja begitu terpaan menghembus ke arahnya. Nissa terduduk di atas kursi panjang berwarna putih yang memang sengaja disediakan teruntuk para pengunjung yang mendatangi taman. Keberadaan di sana tidak begitu ramai, karena hari ini bukan hari libur. Dia menunggu kedatangan lelaki yang sudah menjanjikan jika dirinya akan segera datang menemuinya yang tengah kebingungan tidak jelas arah. Ponselnya terus saja dihidupkan barangkali ada pesan atau panggilan masuk dari lelaki yang tengah ditunggunya. Akan tetapi, sudah lama sekali dia tidak saja muncul memperlihatkan batang hidungnya. "Kamu ke mana sih, Delon?" tanyanya pelan. Dellon Anggara, kekasih Nissa yang selama ini dia sembunyikan keberadaannya. Dia tidak pernah mengumbar hubungannya dengan lelaki itu, karena terlalu banyak mata-mata yang berkeliaran. Gadis itu takut jika keluarganya memandang Dellon sebelah mata karena dari keluarga yang tidak berada.
"Aku enggak bisa nikahin kamu, Niss." Delon mengatakannya dengan tegas, rahangnya mengeras seolah ada tekanan yang selama ini terpendam. Di sisi lain gadis berambut panjang yang kini diikat dengan karet gelang berwarna hijau tua tertunduk dalam. Banyak prasangka buruk yang berkeliaran memenuhi kepalanya. Bagaimana jika tidak akan ada lelaki lain yang menerimanya selain Delon? "Kenapa? Kenapa, Delon?" tanya Nissa, suaranya terdengar serak karena sedari tadi dia terisak menangis. "Keluarga kamu mana mau menerimaku. Aku tidak mempunyai apa-apa." Delon membuang wajahnya ke arah lain, dia hanya tidak ingin menatap kedua bola mata gadis itu terlalu lama. "Urusan itu biar aku yang menjelaskan pada mereka." Nissa menyeka air matanya dengan kasar. Dia mencoba untuk tetap tegar meski hatinya sudah patah, hancur bahkan tidak lagi berbentuk. Lelaki yang mengenakan jaket berwarna hijau army itu memijat pelipisnya yang terasa pening. "Aku mana bisa menafkahimu, Nis.""Lalu, bagaimana dengan ba
Beberapa kali Kang Alvin mengerjapkan matanya, begitu pandangannya sudah jelas terbuka sempurna dia mendapati istrinya yang tengah tertunduk di samping brankar. Kedua tangannya dijadikan tumpuan sebagai bantal. Kang Alvin mengelus puncak kepalanya pelan, terlihat sekali wajah istrinya terlihat sangat lelah. Entah sudah berapa lama dia terbaring tidak berdaya di sana. Terakhir kali berkomunikasi dengan Rissa karena permasalahan Nissa disangkut pautkan dengan bercak darah di seprai mereka sewaktu malam pertama. Kisahnya diakhiri dengan tragedi kecelakaan yang nyaris merenggut nyawa, tapi bersyukurlah dia masih diberi kesempatan untuk hidup dan memandangi wajah cantik istrinya. Kedua mata Rissa perlahan terbuka begitu dia merasakan ada sentuhan hangat di pipinya. Begitu menoleh ke sampingnya dia mendapati Kang Alvin yang tengah tersenyum. "Kang, sudah bangun?" tanya Rissa. Suaminya mengangguk pelan, senyumannya tidak pudar dari bingkai wajahnya. Rissa pula membalas lengkungan sepert
"Nissa hilang. Dia kabur entah ke mana," ucap Nina frustasi. Baru kali ini Nissa berani kabur dari rumah, padahal sebenarnya dia tidak bisa jauh dari ibunya. "Nanti kita cari ya, Mah." Rissa mencoba untuk menenangkan ibu tirinya. Dia berusaha menangani masalah besar ini yang terus berdatangan. "Semuanya gara-gara Alvin suami kamu, Riss." Nina kembali bersuara, nadanya tinggi seolah sudah meyakini dirinya jika menantunya itu memang pria yang bejat. Meskipun Kang Alvin sudah menjelaskan jika bukan dirinya yang berbuat, tapi Nina tetap menyalahkannya. Dengan alasan, siapa lagi jika bukan Alvin yang melakukannya? Seorang pria di rumah itu hanya menantunya saja tidak akan mungkin jika penjaga rumahnya yang selalu di luar rumah tidak pernah sekali pun dia masuk ke dalam rumahnya. Akan sangat memungkinkan jika menantunya yang telah melecehkan putrinya. "Memangnya sudah ada bukti yang kuat, Mah?" tanya Rissa. Kali ini dia berusaha untuk membela suaminya. Mengingat perkataan Kang Alvin sa
Nissa menangis sesegukan karena kekasihnya menolak permintaannya. Kedua kakinya melangkah entah ke arah mana dia harus pergi. Lalu, untuk apa Delon menjanjikan padanya jika dia akan terus bersama apapun yang terjadi padanya, tapi sekarang? Gadis itu menyusuri jalan aspal jika merasa lelah dia istirahat hanya sejenak saja. Sesekali melihat jajanan Nissa akan menyempatkan untuk singgah dan membelinya. Namanya orang hamil selalu saja ingin ini itu, begitu juga dengannya yang sedang berada di fase ngidam. Akan tetapi, setiap makanan yang sudah masuk ke dalam mulutnya dia kembali memuntahkannya karena terasa mual. "Ribet banget sih jadi orang hamil." Gadis itu menggerutu saat keluar dari WC umum. Dia memuntahkan kembali makanan yang semula masuk ke lambungnya, tapi ternyata penolakan tetap menjadi kebiasaannya akhir-akhir ini. Merasa kakinya lelah dia terduduk di sebuah Pos Ronda sekedar beristirahat sejenak setelah berjalan jauh. Keberadaannya di sana sangat mudah dijangkau oleh orang
"Kamu harus nikahkan Nissa, Kang," ucap Rissa. Nina yang sedari tadi tengah mengaduk secangkir teh melirik ke arah Rissa. Wanita itu memandangi Nissa yang menyembunyikan tangisannya dengan menundukkan pandangan. "Kenapa harus aku, Sayang?" tanya Kang Alvin menatap istrinya dengan lekat. "Karena kamu yang telah berbuat kan, Kang?" tanya Nissa, kedua matanya mulai berkaca-kaca dia berusaha untuk menahan pertahanannya agar tidak runtuh. "Untuk apa aku melakukan hal seperti itu pada Nissa? Dia sudah aku anggap sebagai adikku sendiri," jawab Kang Alvin, sesekali pria itu melirik ke arah Nissa yang terus menundukkan kepalanya seolah tidak berani memandangi kakak iparnya. "Nissa. Tolong kamu jelasin semuanya."Isak tangisnya tiada henti, Nissa terlalu lemah untuk menjelaskan semuanya. Pada akhirnya pertahanannya runtuh seketika begitu mengingat kejadian di hari itu yang merenggut kehormatannya. Delon, kekasihnya ternyata bukan lelaki baik-baik yang menjaganya, tapi dia malah mengambil ke
"Ada apa kamu meminta saya ke sini, Delon?" tanya Keyla, kedua matanya menatap tajam ke arah pria yang terduduk santai dengan menyilangkan sebelah kakinya. Secangkir coffe late tersaji di depannya, asapnya masih mengepul sepertinya barista baru saja menyuguhkan. Begitu Keyla mengambil posisi duduk di depannya, Delon menyambar cangkir itu sambil menyesapnya perlahan. "Saya hanya ingin berbincang saja, tidak lebih," jawabnya. "Lagipula kakak sepupu saya sedang bersenang-senang dengan istrinya kan?"Wanita itu terlihat sangat geram begitu Delon menekankan di akhir ucapannya. Dia memang tidak mempermasalahkan hal itu, tapi kenapa rasanya semakin sakit mengingat jika Kang Alvin mencintai perempuan lain. "Tolong jangan mencoba memancing emosi saya." Tanpa disadari tangannya mengepal dengan sangat kuat, sepertinya dia sangat kesal pada Delon hingga tersalurkan pada kepalan tangan yang kapan saja siap melayang ke udara. "Eits kenapa?" tanyanya, menaikkan alisnya sebelah. "Saya juga istri
"Kang? Kamu menyembunyikannya dari aku?" tanya Rissa terisak. Kang Alvin terdiam sangat lama, dia membungkam mulutnya sambil sesekali melirik ke arah adik iparnya yang kini menundukkan pandangannya. "Ya." "Kang, kenapa? Kenapa kamu menyembunyikannya?" Rissa menyeka air matanya yang meluncur dengan bebas begitu saja. "Nissa adik ipar kamu, masa kamu membiarkannya begitu saja bahkan sampai menutupi hal sebesar ini." Nissa yang sedari tadi terdiam kini menatap ke arah kakaknya yang memijat pelipisnya karena terasa pening. Di sisi lain, kakak iparnya terus memukuli kepalanya yang terasa berat sekali setelah banyak permasalahan yang sulit untuk dia pecahkan. "Apa ada suatu alasan yang membuat kamu membungkam masalah ini? Lalu, kenapa kamu Nissa tidak membicarakan apapun pada kakak?" tanya Rissa, melirik ke arahnya yang terus menunduk seolah tidak berani menatap ke arah kakaknya. "Bukan gitu, Sayang. Aku hanya tidak ingin acara kita hancur." "Tapi, apa yang terjadi, Kang? Acara kita