Share

4. Ijin Bunda

Pulang sekolah, tentu saja menjadi saat-saat yang ditunggu hampir semua murid, tapi ada juga beberapa murid yang tidak ingin pulang.

Namun, tidak dengan Nadira, gadis itu dengan riang dan suka cita melangkah ke arah gerbang, rambutnya sudah diikat tinggi, tas maronnya melekat santai di punggungnya.

Sesekali bibir mungilnya bersenandung.

"Stop." 

Langkah Nadira berhenti kala mendengar seruan dan seseorang berdiri di depannya. Dengan reflek dia bersenandung.

"Kau mencuri hatiku, eaaaak," kekehnya ketika mendapati, Lukas, si kakak kelaslah yang menghadangnya.

"Yeeeee, malah nyanyi." Lukas menoyor kepalanya, lantas dengan kesal Nadira mencekal tangan cowok itu dan memilintirnya ke belakang.

Sudah dia bilang, dia paling tidak suka tubuhnya disentuh. 

"Dont touch me!" katanya tajam.

Lukas meneguk selvinanya, menyengir disela sakit ditangannya. "Iya-iya, enggak gue ulang, Dir," lirihnya menahan sakit, Nadira itu berbahaya.

Melepas kakak kelasnya, Nadira manyun. "Ngapain lu nyegat gue, bang?" tanyanya dengan alis terangkat.

Lukas menunjuk gerombolan satu timnya, Nadira melirik Lukas dan orang-orang di sana yang masih juga temannya, bergantian.

"Ke sana dulu, ada yang mau kita bahas, " jawab Lukas ketika sadar Nadira itu cerdas-cerdas-bloon.

"Oooooo, kuylah." hanya itu, setelahnya Nadira berlari kecil dan meninggalkan Lukas yang berdecak, "Untung cantik."

"Yuhuuu anak camtek ayah Arga dan bunda Alle, come back, what wrong, bro?" tanyanya ceria, matanya menatap satu-satu wajah tegang teman-temannya.

"SMA Jaya, Dir. Ngajak war." itu suara Alex, cowok itu bergerak was-was, cemas kalau kali ini Nadira tidak bisa ikut, pasalnya, war kali ini lawan membawa banyak anggota, dan seberapa banyak anggota mereka kalau Nadira tidak ikut sama saja, mereka akan tetap kalah.

Nadira masih mengeryit, dia itu pintar dimata pelajaran, tapi kalau sudah kode-kode seperti ini, otak cerdasnya tidak berfungsi.

"Terus?" tanya Nadira kelewat polos, tapi kata teman-temannya gadis itu kelewat lemot.

"Njir, kita mau lu ikut, Dir." kali ini, Rika ikut menyahut. Nadira mengangguk-anggukan kepalanya tanda dia mengerti.

"Jadi?" tanya Erlan, kembali dibuat gemas akan kelakuan teman sekelasnya itu.

"Jadi apa?" tanya Nadira kembali, dia itu lagi berpikir, tapi malah tidak tahu mau memikirkan apa.

"Ya tuhan ...." Nindia mengusap dadanya penuh duka, ingin rasanya dia menangis dan datang pada bunda Alle, kemudian bertanya tentang makanan apa yang dijadikan makanan ngidam wanita itu.

Asep berdecak, "Nadira Anjani Armaleo, kita mau tauran dan lu harus ikut, mau kan?"

"Okeh, gua ikut." final Nadira, semua teman-temannya bersorak. Lalu, sedetik kemudian diam kala Nadira meletakkan tangan di depan bibir.

"Mau ngapain lu?" tanya Lukas mewakili yang lain.

Nadira mengeluarkan ponsel dari dalam tasnya, di sela dia mengotak-atis benda pipih itu, dia menjawab, "Minta ijin sama bunda."

"Hah?" serentak mereka semua berucap, Nadira bahkan terkejut mendengarnya. Beberapa murid yang melewati mereka ikut kaget.

"Santai kambeng," maki Nadira masih kaget.

"Ngapain lu minta ijin segala, lu kira kita mau ngebela negara dan butuh doa restu?" tanya Asep menatap horor Nadira, yang lain mengangguk, sungguh, merasa aneh.

"Eh si anjir, woh jelas harus minta ijin, biar tauran kita berkah dan kita menang, doa ibu itu mujarab, langsung dijawab oleh Allah, jadi kudu minta ijin," ocehnya panjang pendek.

Bukannya mengangguk paham, teman-temannya justru kembali melotot horor.

"Diem lu semua, gue mau nelpon bunda dulu."

Lalu tanpa ragu tangannnya menekan tombol memanggil. Dideringan kedua panggilannya diangkat.

"Hallo, Nda," sapanya ceria.

["Assalamualikum dulu, Kak, dih anak siapa sih kamu?"]

Nadira menyengir.

"Waalaikumsalam, Ndaku yang kyud sejagat alam kubur, Dira kan anak nda, lupa ya, 16 tahun lalu kan nda buat Dira, patnernya ayah Arga," balasnya.

Tatapan tidak percaya dari teman-temannya hanya di abaikan. 

Mana ada anak modelan Nadira-- batin mereka serempak.

["Dih kebiasaan ya kamu, kenapa nelpon nda, kangen ya? Iya, nda tau nda ini ngangenin."]

Lagi, teman-teman Nadira menganga tidak percaya, mulai paham dan maklum dari mana sikap menyebalkan dan percaya diri Nadira.

"Dih nda geer, ya kali Dira kangen, Dira nelpon Nda mau minta ijin, mau tauran, kan kemarin nda ada bilang kalau mau war harus ijin dulu ke nda." Nadira mulai menyampaikan maksudnya, di ujung sana suara bunda mengomel kembali terdengar

["Bukannya minggu kemarin udah tauran,ya?"]

Nadira hanya cengengesan, senang sekali kalau sudah di omelin. "Iya, tapi nda ini dadakan, musuhnya baru bilang ...," ucapnya menggantung lalu menoleh ke arah Lukas. "Kapan bang mereka bilang?" tanyanya.

Lukas yang di tanya di sela keadaan melongonyonya gelagapan, "Baru, sekitar 30 menit yang lalu."

Nadira mengangguk, "... Sekitar 30 menit yang lalu, Nda," sambungnya berbicara di telpon.

Di ujung sana bunda menghela napas. ["Ya udah, boleh, tapi kalau ada lecet dikit aja, semua fasilitas kamu nda sita, deal?"]

"Deal nda, laksanakan, assalamualikum," setelah mendapat balasan dari ujung sana, Nadira mematikan telponnya.

Lantas menoleh ke arah teman-temannya yang menganga, keningnya berlipat, tanda Nadira tengah bingung.

"Woy, lu semua kenapa? Di sihir nenek lampir asal mana sampe kaku gitu? Itu juga mulut, dijadiin tempat kemping lalat baru tau rasa," decaknya kesal menyadarkan delapan manusia tidak punya ahlak di depannya.

"Njir, jadi gimana?" Lukas, jadi orang pertama yang bisa mengendalikan diri. Seumur-umur kenal Nadira, mereka memang belum pernah ke rumah gadis itu, semua tentang keluarga Nadira hanya mereka dengar dari mulut gadis itu secara langsung. Jadi, ketika mereka mendengar bagaimana Nadira berbicara pada bundanya, mereka jadi bertanya-tanya; bagaimana sikap gadis itu di lingkungan keluarganya?

"Go sapi," cetus Nadira membuat bingung teman-temannya.

"Apaan njir, jadi gimana, diijinin, kagak?" tanya Erlan ngegas.

Nadira menampilkan wajah malu-malu minta ditaboknya, melakukan gerakan menyelip rambut ke belakang telinga, dan mta yang dikedip-kedip manja.

Seketika teman-temannya punya niat membuang Nadira ke selokan terdekat.

"Anjir, bisa stres gua lama-lama," pasrah Rika.

Nadira tertawa terbahak-bahak melihat ekspresi teman-temannya. "Gua diijinin lah, njir," jawabnya di sela tawanya.

"Bagus, ayok kita siap-siap di rumah gua, masih ada waktu 20 menit sebelum tauran di mulai," ajak Nindia yang diangguki oleh yang lain.

Jadilah sore itu Nadira dan teman-temannya membawa motor masing-masing ke rumah Nindia yang jauh dari sekolah.

Siang itu akan ada pertumpahan darah. Namun Nadira selalu berjanji pada dirinya, tuhan, keluarganya bahwa dia akan baik-baik saja, tanpa luka. 

Karena perasaan baik-baiknya akan berpengaruh pada sang kembaran, Nadila.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status