(POV Darian)Hari ini aku merasa bahagia karena telah dipertemukan dengan adikku. Rasanya seperti mimpi, aku masih memiliki keluarga kandung. Namun respon mama dan papa seperti kurang antusias menyambut adikku, terutama mama, mama memberitahu jika Davina sempat menyiramnya dengan minuman. Yang lebih parahnya, Davina juga sempat bersitegang dengan Dela, sampai dahi Dela terluka.Aku tak tahu ada masalah apa Dela dan Davina. Sehingga mereka ribut seperti itu. Tapi walaupun begitu, aku akan memaafkan Davina.“Darian, obati dahi Dela, kasihan dia. Sebentar lagi acara akan segera dimulai, kamu tidak usah menunggu Davina, karena acara ini untuk kalian berdua bukan untuk Davina,” imbuh mama.“Benar kata Mama kamu, Darian. Nanti Davina bisa menyusul setelah mandi dan berganti pakaian,” timpal papa.Aku pun mengangguk, walaupun aku ingin sekali menunggu Davina.Acara pun dimulai setelah dahi Dela diobati. Sekarang kami saling menyematkan cincin di jari manis kami. Acara ini cukup meriah, karen
(POV Darian)Melihat pemandangan yang tampak di depan mataku, aku segera berjalan cepat ke dalam kamarku untuk mengambil ponselku yang ketinggalan.“Kamu diam disini, jangan kemana-mana!” ujarku kepada Davina.Aku masuk ke dalam kamarku dan mengambil cepat ponselku.Aku pun berinisiatif mengirimkan pesan kepada satpam untuk menutup pintu gerbang dan menguncinya. Namun sebelum itu, aku menyuruhnya untuk memberitahu mama yang masih berada di dalam mobil di luar gerbang, supaya lebih dulu masuk.Aku kembali ke ruang tamu, dimana Davina masih berada disana.“Lepaskan, biarkan saya pergi!” teriak Davina dari arah luar. Ternyata benar, dia berusaha kabur namun beruntung pak satpam segera menghalanginya.Aku juga segera menghubungi polisi, supaya cepat datang kesini.“Papa!” teriak mama yang baru saja masuk ke dalam rumah. Mama teriak histeris saat mendapati Papa tak sadarkan diri dengan perut bersimbah darah.Kemudian satpam penjaga rumah datang dengan menyeret Davina. Dia dibantu oleh sop
(POV Rendi)“Dengan begitu, saudari Davina akan dijatuhkan hukuman selama 5 tahun!”Tok! Tok! Tok!Hakim mengetuk palu sebanyak tiga kali, itu artinya Davina sudah divonis hukuman penjara.Keputusan hakim membuatku hancur, bagaimana tidak, sudah dua bulan aku mencari Davina, tapi saat aku mendapat kabar, ternyata dia terkena kasus percobaan melenyapkan nyawa seseorang.Davina menunduk, perutnya mulai membesar. Terpaksa Davina harus melahirkan di dalam penjara. Aku tak kuasa mendengar kenyataan ini.Aku menoleh ke arah belakang, terlihat Risa dan Jona sedang duduk dengan keluarga Darian, karena sidang ini terbuka untuk umum. Aku baru tahu, jika Davina masih memiliki kakak. Dela yang memberitahu saat tak sengaja bertemu. Parahnya lagi, Davina sempat mengakui jika kami telah berpisah. Sungguh itu merupakan kebohongan yang besar.Setiap hari aku bela-belain keliling menjual makanan asongan demi mencukupi kebutuhan Davina, tapi Davina sungguh telah membuatku kecewa, sama sekali dia tak men
(POV Rendi)Keesokan paginya, sejak subuh tadi aku sudah bangun dan melaksanakan shalat subuh.Sudah terlalu lama aku meninggalkan kewajiban ku karena terlalu sibuk mengejar dunia. Namun setelah diberikan ujian bertubi-tubi, aku sadar, bahwa aku telah melupakan-Nya. Sungguh aku manusia tak tahu diri. Sudah diberi kenikmatan namun aku merasa selalu kurang, kurang dan kurang.Selesai melaksanakan shalat subuh, hatiku merasa tenang dan tentram. Aku melipat sajadah dan sarung lalu menaruhnya di atas meja.Kemudian aku mencuci baju-bajuku lalu memasak untukku sarapan pagi ini.Jam 07.00, semua pekerjaan rumah sudah selesai. Kini aku bersiap untuk pergi ke kios beras milik Bams.“Bismillahirrahmanirrahim.” Aku mengucap doa saat kaki kananku melangkah keluar. Semoga pekerjaan yang aku lakonin sekarang menjadi rezeki yang berkah.Dengan berbekal uang sepuluh ribu sisa membeli nasi aking kemarin, aku berjalan menuju jalan raya untuk menyetop angkutan umum.Aku berdiri dengan penuh percaya diri
"Terima kasih, Mas. Nasinya sangat lezat," ucapku dengan menahan tangis.Aku memasukkan suap demi suap nasi aking yang diberikan oleh mas Rendi, suamiku."Maafkan Mas ya, Ris. Mas belum bisa membahagiakan kamu. Hanya ini yang bisa Mas berikan untuk kamu. Kamu tahu sendiri, kan? Mas hanya seorang kuli serabutan. Penghasilan tidak tentu. Kadang Mas tidak mendapatkan uang sama sekali. Mas harap kamu bisa sabar ya, Ris! Untuk sementara kamu makan saja nasi aking ini, ya!" sahut mas Rendi memberi pengertian.Aku mengangguk sambil menatap nasi aking yang ada di atas piring."Habiskan, kamu mesti jaga kesehatan. Kania masih membutuhkan asi, jadi kamu jangan membiarkan perut kamu kosong," ujar mas Rendi.Aku kembali menyuap nasi aking ke dalam mulutku dengan perasaan getir."Kamu nggak makan, Mas? Ayo makan sama-sama!" ajakku.Mas Rendi menggeleng sambil tersenyum kecil lalu menjawab, "Tidak, Mas belum lapar. Kamu saja yang makan, nanti kalau Mas lapar Mas pasti makan."Aku mengangguk, aku sa
Mataku menatap getir isi dalam kantong kresek hitam itu. Ternyata semua tak sesuai ekspektasi. Isi dari dalam kantong kresek hitam itu ternyata berupa butiran nasi aking kering."Syukurlah, hari ini Mas bisa beli nasi aking lebih banyak dari kemarin. Maaf ya, Ris, Mas hanya bisa membelikan ini lagi buat kamu. Mau beli beras tapi uangnya tidak cukup. Bisa saja sih di cukup-cukupi, tapi nanti kamu tidak ada lauk buat teman nasinya," imbuh mas Rendi seraya mengusap rambutku. Kemudian mas Rendi mengambil air minum dari dapur lalu kembali menghampiriku.Aku tertegun dengan ucapannya. Sangat meyakinkan tapi bertolak belakang dengan penglihatanku tadi. Apakah aku salah lihat tadi? Aku rasa tidak, jelas-jelas yang aku lihat di warung nasi Padang tadi adalah mas Rendi."Oh, terima kasih, Mas. Aku kira isinya nasi Padang. Tapi ya sudahlah ….""Uhuk!"Mas Rendi terbatuk dan air dari mulut mas Rendi muncrat mengenai nasi aking ini."Kenapa, Mas?" tanyaku."Oh tidak apa-apa, Mas cuma tersedak saja
"Siapa itu? Kenapa dia?" gumamku, saat melihat seorang perempuan muda tergeletak tak sadarkan diri di samping rumahku dengan tas berukuran besar yang berada di sampingnya.Setengah berlari aku pun menyimpan terlebih dahulu beras ke dalam rumah, kemudian menghampiri perempuan itu. Aku berjongkok dengan masih menggendong Kania. Aku menyoroti wajah perempuan itu, namun sama sekali aku tak mengenalnya."Mbak, Mbak bangun!" Aku menepuk pelan sebelah pipi perempuan itu. Mencoba membuat dia sadar dari pingsannya."Mbak bangun, Mbak!" Aku terus mencoba membangunkannya kembali. Berharap dia sadar dan menceritakan apa yang sebenarnya terjadi.Masih tetap sama, perempuan itu masih belum sadarkan diri, dia masih tak bergerak dan memejamkan mata.Kemudian aku mencoba mengguncang-guncangkan tubuhnya namun masih tetap sama.Merasa tak bisa untuk membuatnya tersadar, aku pun panik lalu berdiri untuk mencari pertolongan."Tolong … tolong ada orang pingsan!" Aku berteriak berharap ada seseorang yang ma
Nampan yang berisi segelas minuman bergetar mengikuti gerakan tanganku. Aku tertegun melihat pemandangan seperti ini."Ris!" panggil mas Rendi saat melihatku berdiri menatap mereka. Davina mengurai pelukannya terhadap mas Rendi.Aku terdiam menatap mereka berdua. Ada apa sebenarnya dengan mereka? Kenapa mereka berdua bisa saling berpelukan seperti itu?"Kalian berdua ngapain?" tanyaku menyelidik."Ris, jangan salah paham dulu. Ini Davina, sepupu aku dari luar kota," jawab mas Rendi."Sepupu?" Rasanya aku belum bisa mempercayainya. Aku sama sekali tidak kenal dengan Davina, yang disebut sepupu oleh mas Rendi itu."Jadi ini istri kamu, Mas? Ya ampun … aku nggak nyangka loh, Mas. Istri kamu itu baik banget, aku bersyukur sudah ditolong sama Mbak Risa." Davina menceritakan semua yang terjadi terhadapnya kepada mas Rendi."Jadi begitu? Maaf Mas nggak bisa dihubungi, karena kadang ponsel mas tidak ada kuotanya," ucap mas Rendi.Aku hanya menyimak percakapan mereka berdua."Aku belum sempat