Jack menatapi langit-langit kamarnya yang dihiasi lampu yang berpedar temaram, tersorot juga cahaya matahari yang menerobos dari celah tirai yang tersingkap sedikit.
Semalaman Jack tak bisa tidur. Meski, sudah meminum banyak pil obat tidur, tak kunjung membuatnya merasa mengantuk. Kebiasaannya yang sering bergadang dulu ketika ia bekerja keras untuk posisi CEO di Baron group dan tekanan dari ayahnya memberikan efek bagi Jack sampai sekarang. Jack terkena insomnia akut. Ia akan kesulitan tidur tanpa bantuan obat tidur. Bahkan kini lebih parah, obat tidur yang memiliki dosis tinggi pun tak memberikan efek seperti yang Jack inginkan.
Jack mendorong keras napas dari hidungnya. Ia menegakkan tubuhnya hingga posisinya sekarang duduk bersandar pada sandaran tempat tidur. Lalu, dengan tak bersemangat ia melempar pandangannya ke jam di dinding. Sudah waktunya Jack bersiap.
Ia gerakkan tubuhnya pelan namun pasti memasuki kamar mandi. Ia segera mengguyur tubuhnya den
Jack berhenti sebelum mencapai pintu masuk toko khusus pakaian dalam wanita. Ia berdehem canggung. Jack sebelumnya tidak pernah pergi ke tempat seperti ini, dan tatapan orang-orang yang berlalu begitu mengusiknya."Tuan, ada yang bisa saya bantu," tanya si pelayan toko menghampiri Jack.Jack sempat tersentak beberapa detik, ia lalu memasang wajah dingin dan garang. Harga diri Jack tercoreng sudah. "Aku ingin beli... Bra dan celana dalam perempuan. Ini ukurannya." Jack berucap lirih nyaris berbisik, seraya menaruh secarik kertas kecil kepada si pelayan."Untuk warnanya, Tuan?" Si pelayan tak berkedip melihat Jack. Ia tahu siapa pria di depannya itu. Meski yang dilakukan Jack ini sedikit memalukan jika dilakukan oleh seorang pria, tapi si pelayan sama sekali tak memedulikan hal itu. Ia juga akan merahasiakannya tanpa Jack minta. Si pelayan rela melakukan apa saja untuk Jack. Tentu, ia merasa sangat beruntung karena bisa bertatap muka langsung dengan pria itu.
Jack turun dari mobil menatapi gedung apartemen mewah di depannya. Lalu, disusul Aiden dengan membawa kantong belanja di kedua tangan.Jack menoleh ke arah Aiden. "Aku bawakan satu kantongnya." Ia menyambar satu kantong belanja dari tangan Aiden.Aiden hanya mengangguk, kemudian mereka berdua berjalan beriringan menuju ke tempat Fay. Mereka melewati beberapa lantai sampai akhirnya mereka sudah berada di depan apartemen yang ditinggali oleh Fay.Jack tak sabar menekan bel sambil mengentak-entakkan sebelah kaki ke lantai untuk menetralisir emosinya.Tak lama kemudian, Fay membuka pintu dan mendongak. "Maaf telah merepotkanmu, Jack."Jack memutar mata malas. "Sangat merepotkan."Fay menahan diri. Ia tetap memaksakan diri agar bibirnya terus melengkung ke atas."Ini semuanya untukku?" Fay terkesiap dengan semua belanjaan yang dibawa Jack dan Aiden. Tak terhitung banyaknya."Jangan banyak tanya. Izinkan aku dan Aiden mas
Edwin mengetuk jemarinya ke meja dengan tatapan fokus kepada sebuah pigora berisi foto keluarganya—Max kecil, Jack kecil, Edwin, dan Merry—yang terpajang sempurna di depannya."Bagaimana perkembangan Jack?""Tuan Jack sudah lama tak mengunjungi club dan tak terlihat bersama dengan wanita lagi, Tuan.""Hmm... Menarik," gumam Edwin menyuruh pria itu pergi dari ruangannya. Ia mengangguk dan mengibaskan sebelah tangan ke udara.Edwin menautkan tangannya dan ia pakai untuk menyangga dagunya. Ia tersenyum. Kali ini ia akan mengawasi Jack. Dan ia harus bersikap keras lagi jika putra bungsunya itu sampai membangkang. Sementara untuk Max, tak banyak yang Edwin perhatikan dari pria itu. Max, hanya akan merintangi rencana Edwin untuk membesarkan Baron group dan Grotesque group yang ada di dalam kekuasaannya.*Fay menurunkan ponselnya setelah menelepon teman-temannya yang ada di Jepang. Ia melirik jam sekilas, pukul tiga sore. Masih a
"Fay mau menerimanya, Aiden?" tanya Jack ketika pengawalnya muncul dari balik pintu kamarnya yang terbuka."Iya, Tuan. Nona Fay sudah menerima tiketnya, Nona berujar kalau Nona lebih suka menonton daripada dinner." Aiden menunduk dengan kedua tangan tertaut di depan badannya yang tegap."Bagus." Jack mengangguk puas sambil mengelus dagunya dengan sebelah tangan.Jack lalu kembali fokus menatap foto-foto yang berhasil orang suruhannya ambil ketika Zeta berada di jalan. Perempuan di foto itu memperlihatkan wajah kecewa dengan membawa banyak kertas di tangannya. "Aku akan segera bertemu denganmu," gumam Jack menyapu wajah Zeta di dalam foto tersebut.Aiden hanya diam melihat Jack bergumam sambil memandangi lekat foto-foto yang berhamburan di depannya.***Matahari pagi menyapa Zeta ketika perempuan itu sedang merenung di sofa sendirian, sedang Sena telah pergi sedari tadi bersama Antony. Zeta sempat bersembunyi ketika Antony
Zeta bergeleng pelan. Ia tak kunjung mengganti pakaiannya meski di depannya, Sena sudah berdandan cantik dan siap untuk berangkat ke bioskop."Zeta... Aku sudah beli tiga tiket loh. Masa mau kau sia-sia kan perjuanganku demi mendapatkan tiket ini, huh?" Sena menurunkan dua sisi mulutnya sambil terus menyisiri rambut gelombangnya yang ia biarkan tergerai dengan handband terselip di sana."Aku kan sudah menolaknya sejak awal." Zeta masih bersikukuh untuk mempertahankan pendiriannya agar ia gagal nonton, sementara biar hanya Antony dan Sena saja yang pergi."Zeta... Ayolah." Sena menarik tangan Zeta. Lebih kencang lagi ia tarik, sampai ia hampir terjungkal ketika Zeta berdiri dengan tiba-tiba."Baiklah."Sena tersenyum. "Aku akan menunggumu di ruang tamu."Zeta mengacak rambutnya kesal. Kalau saja bukan karena bujukan dari Sena, ia tak akan sudi pergi.Zeta kemudian memilih pakaian dengan asal. Ia mencomot kaos, celana jeans, dan j
Dua jam yang lalu adalah saat-saat yang menjemukan bagi Jack. Bagaimana tidak? Dimulai ketika ia menjemput Fay, perempuan itu berdandan lama sehingga membuat Jack mau tak mau harus menunggunya. Ditambah lagi, Fay selalu menjaga sikapnya agar bisa terus terlihat baik ketika perhatian banyak orang tertuju padanya. Membuat Jack benar-benar muak. Bahkan percakapannya dengan Fay sangatlah membosankan dan tak ada yang berjalan dengan baik.Kini Jack berdiri di samping sebuah konter yang berjualan makanan ringan. Ia menanti Fay yang membeli banyak sekali makanan ringan di konter tersebut. Perempuan itu hendak membelikan juga untuk Jack. Namun, ditolak mentah-mentah oleh Jack.Fay kemudian duduk sembari mengunyah makanan yang telah ia beli barusan. "Kau benar-benar tak mau ini?" tanyanya kepada Jack yang masih berdiri."Tidak," jawab Jack tanpa membalas tatapan lawan bicaranya. Ia malah tetap fokus melihat ke arah pintu keluar ruang teater. Ia yakin betul meski ruang te
Fay berdiri di depan gedung bioskop, tak lepas dari perhatian banyak orang kepadanya. Ia benar-benar merasa malu oleh tindakan Jack tadi. Pasti setelah ini akan terpampang di surat kabar tentang Jack menghajar seorang lelaki hanya karena perempuan. Dan sialnya perempuan itu bukan Fay. Sedang, semua orang pasti sudah tahu hubungannya dengan Jack. Fay adalah calon tunangan Jack. Fay berdecak kesal sambil menunggu panggilannya tersambung. Ia menempelkan ponselnya ke telinga. " Cepat jemput aku di depan gedung bioskop! Nanti aku share alamatnya." Ponselnya ia taruh kembali ke dalam tas setelah menyuruh seseorang untuk menjemputnya. Tak menunggu lama, sebuah mobil hitam mulus berhenti tepat di depan Fay. Seorang pria berpakaian serba hitam dan berkacamata hitam melompat turun untuk membukakan pintu bagi Fay. Fay melempar senyum tipis lalu ia mendudukkan dirinya di jok belakang. Sementara pria tadi sudah kembali ke bangku kemudi. Mobil mulai melaju pelan menyatu de
"Cantik..."Zeta refleks menoleh ke belakang. Ia terkesiap dengan pria yang berdiri di ambang pintu kamarnya.Jack bergerak mendekati Zeta. Ia mengulurkan tangannya untuk menyelipkan rambut Zeta ke belakang telinga agar Jack bisa melihat jelas wajah perempuan itu.Zeta merona. Rasa tegang bercampur senang menjalari tubuhnya. Ia benar-benar malu, segera ia menunduk ketika Jack mencondongkan tubuhnya kepada Zeta."Kau tahu, aku menderita ketika kau pergi." Jack berujar dengan nada rendah, penuh kekecewaan."Eum... Kau semenderita apa?" tanya Zeta polos sambil berkedip pelan.Jack tak menjawab. Ia hanya menurunkan pandangan menuju ke juniornya yang tertidur."Oh..." Zeta segera paham, ia mengangguk cepat. "Nanti malam aku akan melakukan sesi terapi lagi.""Baiklah." Jack menepuk-nepuk kepala Zeta pelan, seakan Zeta adalah anjing peliharaannya yang penurut, anjing jenis bichon frise sangat cocok untuk menggambarkan seor