Perlahan, mata Gera mulai mengerjap. Berusaha menyesuaikan cahaya yang masuk ke dalam matanya. Dokter yang datang segera memeriksa kondisi Gera. "Perlahan saja. Jangan terlalu dipaksakan. Semuanya perlu adaptasi juga," ujar dokter yang menangani Gera saat wanita itu berusaha membuka mata. "Mama...." desis Rico memanggil.Sementara Roy, dia sedikit demi sedikit menjauh dari ranjang rawat Gera. Rasa bersalah membuat dirinya merasa kecil dan tidak pantas untuk bertemu dengan Gera, walaupun wanita itu adalah istrinya sendiri. Saat kesadaran Gera mulai terkumpul, hal pertama yang dia ingat adalah bagaimana Roy bergumul dengan wanita itu dan tidak merasa bersalah sama sekali. Lalu dia teringat akan dirinya yang mencoba melakukan aksi bunuh diri dengan menyayat pergelangan tangannya. Hal itu membuat Gera terus melamun dan pada akhirnya berteriak histeris, membuat dokter dan anak-anaknya terkejut. Bahkan Luis dan yang lain yang sedang menunggu di luar segera masuk ke ruangan. Mereka mengira
Satu minggu sejak kepulangan Gera dari rumah sakit, triplets masih tinggal di rumah orang tua mereka. Seperti yang dikatakan oleh Ray, "Malas sekali meninggalkan Mama jika kondisinya belum sembuh betul." Pernyataan itu disetujui juga oleh dua saudaranya yang lain. "Urusan di Brazil juga masing-masing sudah ada yang menangani," timpal Rio. "Mama tidak enak jika harus terus menerus melihat kalian melayani Mama seperti ini," ujar Gera. Ketiga putranya serentak menggeleng dan beringsut mendekat untuk bersama-sama memeluk Gera, "Mama tidak pantas berkata seperti itu! Perjuangan Mama dulu tidak sebanding dengan apa yang kami lakukan." Mendengar apa yang anak-anaknya katakan, Gera terharu hingga meneteskan air mata. Triplets yang masih begitu manja padanya, ternyata saat ini mereka sudah beranjak dewasa."Kalian selalu saja melupakanku seperti orang asing!" tegur Geeta dengan wajah kusut. Triplets sampai tercengang karena gaya bicara Geeta yang tergolong masih anak-anak bisa dewasa seper
"Katakan apa yang kau inginkan dan tolong jauhi Bos Roy!" Luis meminta dengan tegas saat duduk di samping wanita yang menjadi pengganggu rumah tangga temannya ini. Saat ini mereka di klub milik Roy. Wanita itu hanya menatap Luis dengan malas, "Omong kosong!" serunya sambil tertawa renyah. "Kau mau uang, emas, atau apapun itu cepat sebutlah. Dan lenyaplah dari kehidupan Bos Roy dan keluarganya!" "Kau kira aku bodoh? Kalau aku melepas Roy, impianku untuk menjadi nyonya besar akan musnah begitu saja." Luis tertawa, "Lalu, apakah dengan bertahan kau mengira Roy akan suka padamu dan menjadikanmu istri?" Lagi-lagi Luis tertawa dengan keras, "Bermimpilah selagi kau masih bisa bernapas," sindir Luis. "Kenapa tidak? Aku bisa melakukannya. Tunggu dan lihatlah!" kata wanita itu dengan sangat percaya diri. Dia menghabiskan alkohol dalam gelasnya dengan sekali teguk lalu meninggalkan Luis begitu saja. "Wanita ini benar-benar liat," gumam Luis. ***Sejak kejadian itu Gera lebih banyak diam p
"Kira-kira apa yang akan dibahas oleh Mama?" tanya Rico."Aduh... jangan-jangan masalah nikah lagi," ujar Rio dengan wajah malas. Berbeda dengan Ray, dia beranjak keluar tanpa berbicara. Saat mereka bertiga sudah sampai di ruang keluarga, di sana sudah ada Roy dan Gera. Diam-diam Ray mulai berkeringat dingin. Dia ingin minta maaf pada Roy, namun entah kenapa saat ini dia begitu gugup. "Terima kasih sudah mau meluangkan waktu sebentar," kata Gera saat triplets duduk di sofa. "Apa yang mau Mama bicarakan?" tanya Rio. Rio dan Rico masih marah pada Roy. Mereka memalingkan pandangan dari Roy dan hanya fokus menatap Gera. Hanya Ray yang sudah tahu kebenarannya. "Bukan Mama yang mau berbicara... tapi Papa." Triplets menatap Roy dengan tatapan bertanya-tanya. "Oke, silahkan!" Rio berujar malas. Dia masih sakit hati pada Roy karena sudah berkali-kali menyakiti hati Mamanya. Roy mengepalkan tangannya yang mulai dingin dan berkeringat. "Papa... Papa ingin meminta maaf pada kalian. Selama
Gera melangkah masuk ke dalam apartmen pacarnya, Adit. Langkah Gera terhenti ketika mendengar suara seorang wanita . Semakin lama menjadi begitu nyaring di telinga Gera. Gera segera menggeleng, berusaha menepis pikiran negatifnya. 'Ah, tidak mungkin ini Adit. Tapi siapa itu?' Batin Gera berkecamuk. "Adit!" Semakin dekat menuju kamar Adit, suara itu semakin terdengar jelas. Wajah Gera memucat mendengar suara menjijikkan itu. Namun rasa jijiknya berhasil dikalahkan oleh egonya yang ingin mengetahui siapa yang menyebut nama Adit dibarengi pekikan itu. "Kau sangat hebat, Adit." Ujar si wanita. Air mata sudah membendung di pelupuk mata Gera. Yang ia takutkan terjadi. Hatinya semakin terpancing untuk melihat siapa wanita itu, yang baru saja memuji Adit, kekasihnya. Dengan pelan ia melangkah. "Lalu, lebih memuaskan siapa, aku atau wanita sok polos itu?" Tanya si wanita, membuat langkah Gera terhenti lagi.
"Siapa kau? Jangan coba-coba ikut campur! Enyahlah!" teriak Adit memaki orang yang kini berjalan mendekat ke arahnya. "Anda tidak tahu saya? Kampungan! Seharusnya Anda yang enyah!" balas pria bertopi itu. Kedua pria itu mulai saling menyerang satu sama lain dengan membabi buta. Gera ingin sekali berlari menuju kamarnya, namun tidak ada tenaga yang tersisa. Ia hanya bisa melihat yang ada di depan matanya. Ia berusaha meraih bathrobenya untuk menutupi tubuhnya yang terbuka. Adit nampak kewalahan melawan pria itu. Namun pada akhirnya yang salah tetaplah kalah. "Jangan pernah berani mengganggu wanitaku lagi!" Mendengar itu, Gera tercengang. Ia menggeleng. Tidak mungkin laki-laki tak dikenal yang mengatakan itu. Mungkin ia salah dengar saja karena kondisinya yang mulai melemah. Yang penting sekarang Adit sudah pergi dan Gera selamat. Lelaki itu mendekat
"Maafkan a-aku!" Gera gugup. Lelaki yang ia tabrak itu kini sudah berjongkok dan meneliti wajahnya. "Kau! Bagaimana kau bisa disini?" tanya Roy yang juga sangat terkejut dengan kondisi tubuh Gera. Mendengar isak tangis Gera, Roy yakin ada sesuatu yang tak beres. Tanpa menunggu jawaban dari Gera, Roy langsung membopong tubuh Gera. "Mau kau bawa kemana aku?" Gera meronta di atas punggung Roy. Namun Roy hanya diam saja. Khawatir dan takut berkecamuk dalam pikirannya. Roy membawa Gera kesebuah ruangan kosong. Melihat Gera yang tak henti-hentinya mengelus tubuhnya sendiri membuat Roy berpikir aneh. "Kau mau macam-macam juga padaku?" tuduh Gera curiga pada Roy. "Jangan berpikir negatif, Nona! Bagaimana mungkin aku membiarkanmu keluar menggunakan pakaian seperti itu? Dasar bodoh!" sergah Roy membela diri. "Lalu, berbaliklah! Jangan menatap tubu
Luis hanya bisa menerima apapun konsekuensinya. Bagaimanapun, dia tidak akan bisa dan tidak akan berani melawan Tuannya. Roy tidak membiarkan Luis membawa Gera pergi. Ia menyuruh Luis untuk mengawasi Adit saja. Gera adalah urusan Roy. Bukan orang lain. Dan tidak akan ada celah untuk orang lain. "Luis! Dimana dia?" Roy terlihat sangat kacau. Ketika mata Roy menangkap sesosok wanita di pojok ruangan, ia langsung bergegas menghampirinya tanpa menunggu jawaban Luis. "Ayo kita pergi!" Ajak Roy dingin. Namun tidak ada jawaban dari Gera. Ia hanya diam dan menunduk disela lutut yang ia peluk. Dengan pelan Roy menggerakkan tubuh Gera.... "Astaga, Luis! Bagaimana bisa ia pingsan?" Teriak Roy membuat Luis tersentak kaget. "Sepertinya dia sudah kelelahan karena ulah pria ini, Boss. Lagipula Boss lupa kejadian tad