Share

Bab 6 Keterlaluan

Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa Baru

Bab 6

Aku tidak menjawab, gegas aku melangkah keluar dari ruko. Namun, saat membuka rolling door, justru aku kaget dengan sosok yang berdiri di depan pintu.

"Mas A–dit."

Mati aku! Bagaimana kalau Mas Adit tahu apa yang terjadi di dalam? Batinku.

Laki-laki yang memakai kaos kerah berwarna biru dengan nama toko bangunan tercetak lingkaran di dada itu menatapku lekat. Pun denganku yang yang dilanda rasa panik dan gugup. Baru kali ini aku merasakan seperti ini. Mungkin seperti ini rasanya ketika maling akan tertangkap tapi aku bukan maling tentunya. Aku hanya takut jika suamiku mengetahui apa yang terjadi di dalam walaupun aku tahu aku tidak melakukan apa pun. Salahku hanya bertemu dengan Mas Reza yang ternyata adalah mantanku, itu saja.

Aku tidak selingkuh … iya aku tidak selingkuh kenapa aku harus takut? Aku hanya takut jika Mas Adit salah paham.

"Dek, lagi ngapain di sini?" tanya Mas Adit. Matanya mulai menelisik ke dalam kios yang pintunya masih sedikit terbuka.

"A–anu, itu–"

Dapat aku lihat jika dahi Mas Adit berkerut sementara aku justru keringat dingin sudah mulai menetes. Ayo dong, mikir … cari alasan yang tepat bagaimana aku bisa ada di sini. Perintahku pada diriku sendiri.

"Anu apa, Dek? Kok mukanya pucet gitu? Adek sakit?" Tangan Mas Adit terulur, menempelkannya pada keningku. "Nggak demam."

"Aku nggak sakit, Mas. Mas sendiri lagi ngapain di sini?" Aku berusaha mencairkan perasaan.

"Mas tanya aja belum dijawab ini malah udah balik tanya. Kenapa Adek ada di sini? Kenapa belum pulang?"

"Oh, besok ada acara di sekolah terus aku disuruh pesan bakso buat besok," jawabku bohong.

"Tapi kiosnya tutup," kata Mas Adit.

"Iya, tapi pemiliknya ada kok di dalam. Makannya aku tadi masuk," kilahku. Entah bagaimana aku begitu lancar memberikan jawaban bohong. Seumur-umur kayaknya baru kali ini aku memberikan jawaban yang tidak benar pada suamiku.

"Benarkah? Kalau begitu, ayo kita makan bakso bareng," ajak Mas Adit yang tentu saja berhasil membuatku semakin gugup.

"Aku yang bayar, Dek," lanjut Mas Adit. Dia kemudian melangkah maju mendekat ke arahku. Gawat, kalau dia sampai masuk maka aku bisa ketahuan. Mas Reza masih di dalam dan ruangan kios juga masih dihias.

"Mas, baksonya udah habis," ucapku seraya mendorong dada Mas Adit.

"Habis? Gagal, deh, makan bakso," jawab Mas Adit.

"Makan di rumah saja, yuks," ajakku seraya menggandeng tangan Mas Adit.

"Ayo."

"Ngomong-ngomong, Mas kenapa ada di sini?"

"Oh, itu di sebelah kios kan mau di renovasi. Mereka pesan bahan bangunan terus Mas yang antar," sahut Mas Adit, "kita pulang bareng, ya, nanti biar Eko yang bawa mobilnya."

"Terus motornya gimana?"

"Nanti ke toko dulu, Mas ambil motor." Aku setuju dengan usulan Mas Adit. Biar saja mobil pick up yang memuat bahan bangunan dibawa Eko—teman kerja Mas Adit.

Ada perasaan lega ketika Mas Adit tidak mengetahui tentang apa yang terjadi di dalam kios, namun rasa bersalah justru lebih besar dari rasa lega yang aku rasa. Harusnya aku bisa mengendalikan perasaanku, harusnya aku tidak larut kembali pada masa lalu. Laki-laki di sampingku adalah masa depanku bukan dia yang hadir dari masa lalu.

Maaf, Mas …. Hanya itu yang bisa aku katakan walau hanya dalam hati.

Sampai di rumah, aku sudah sampai duluan. Tadi Mas Adit ambil dulu motornya di toko dan aku langsung pulang tidak menunggunya. Rasa penat langsung membawaku berbaring di ranjang setelah sebelumnya melepas tas punggung dan sepatu. Bayangan kejadian di kios menari-nari di pikiranku. Berbagai pertanyaan juga muncul tentang apa saja yang Mas Reza katakan.

Jika benar apa yang sudah Mas Reza katakan berarti memang benar jika bukan hanya aku yang menderita karena perpisahan, tapi dia juga. Ah, sudahlah buat apa aku memikirkannya. Toh, ini semua sudah terjadi, menyesal juga apa yang harus disesali?

"Bagus, ya, pulang-pulang langsung tiduran!" Suara itu seketika membuyarkan pikiranku. Gegas, aku bangun dan duduk.

"Maaf, Bu, Ai lelah," ucapku.

"Lelah? Lelah habis ngapain? Nyanyi? Atau ngasuh anak orang?" cibir Ibu. Seperti biasa jika Ibu sudah mencibirku bibirnya akan mulai komat-kamit mengeluarkan seribu umpatan.

"Kerja nggak ada gajinya aja masih dilanjutkan. Mending kamu kerja kaya Ani. Biarpun dia cuma pembantu tapi setidaknya gajinya lebih gede daripada kamu!" Entah sudah keberapa ratus kalinya Ibu berkata seperti itu. Selalu membandingkan pekerjaanku dan Mbak Ani.

"Bu, kalau gaji Mbak Ani lebih gede, kenapa hp sampai dibelikan, kenapa makanan di sini sering dibawa sampai sabun saja dibawa?"

"Oh, jadi kamu mau perhitungan? Nggak ikhlas maksud kamu?" Ibu mendekat, dan matanya sudah melotot seakan ingin memakanku hidup-hidup.

"Bu, Mbak Ani kerja, suaminya juga kerja. Katanya gajinya lebih gede dari aku kenapa malah minta? Bukannya harusnya ngasih sama Ibu?" Sebenarnya aku ingin menjawab jika memang aku tidak ikhlas tapi rasanya kurang sopan jika aku mengatakan secara langsung. Rasanya sudah jengah dengan semua yang dikatakan oleh ibu.

"Apa pernah Ibu dikasih sesuatu sama Mbak Ani? Nggak, 'kan?"

Muka ibu semakin merah padam, ada rasa takut menghampiri tapi rasanya juga sudah lelah memendam semuanya.

"Kamu? Sudah berani kamu sama Ibu? Jadi mantu saja nggak becus sudah sok-sokan mau banding-bandingkan sama Ani. Adit saja tidak protes kenapa justru kamu yang protes? Ingat ya, kamu hanya wanita yang kebetulan dinikahi Adit. Kamu itu hanya numpang!"

"Kurang becus apalagi aku? Semua pekerjaan aku yang kerjain, bahkan setiap hari yang kasih jatah sama Ibu itu aku. Walaupun gaji Ai kecil tapi Ai selalu kasih sama Ibu."

"Becus seperti apa yang kamu maksud? Nyuci baju aja nggak! Masak cuma telor dadar. Dan satu lagi, uang jatah itu anggap saja biaya kamu tinggal di sini!" Ya ampun, begitu rupanya pemikiran ibu. Jadi aku dianggap seperti ngontrak?

"Bagaimana bisa nyuci kalau sabunnya dibawa sama Mbak Ani? Jelaskan, Bu …." Aku mengusap dada demi mendengar apa yang diucapkan oleh Ibu. Rasanya sangat sakit hati ini.

Bersamaan dengan itu terdengar ucapan salam. Aku sudah paham dengan suara itu, pasti Mas Adit yang pulang. Mendengar anak laki-lakinya pulang, Ibu segera keluar dari kamar.

"Awas kamu! Ibu aduin sama Adit!" ancam Ibu sebelum keluar. Bodo amat lah, mau diaduin juga silahkan. Aku yang tadinya berdiri kemudian berbaring kembali di ranjang. Tiduran dengan membelakangi arah pintu. Beberapa saat kemudian ranjang terasa ada pergerakan dan terasa ada usapan di kaki. Aku tahu siapa yang melakukannya, siapa lagi kalau bukan suamiku.

"Adek bertengkar lagi sama Ibu?" tanya Mas Adit. Aku diam saja tidak menanggapi pertanyaannya.

"Apa tidak bisa kalau tidak bertengkar dengan Ibu? Mas jadi serba salah, Dek. Mas bingung." Sudah kuduga jika suamiku akan berkata seperti ini. Dia bingung tentunya harus membela siapa. Seharusnya sekali saja, Mas Adit bisa lebih bijak. Mas Adit satu-satunya laki-laki di rumah ini, tapi dia terlalu lembek. Harusnya dia jadi pelindung buatku tapi nyatanya tidak.

Jengah dengan perkataan Mas Adit akhirnya aku beranjak, mengambil uang yang tersisa di tas kemudian pergi ke warung. Masih bisa aku dengar suara panggilan dari Mas Adit tapi biarlah. Paling juga mau membela ibunya.

Sebungkus sabun cuci pakaian sudah ditangan, segera aku pergi ke kamar mandi dan mulai merendam cucian yang tadi pagi aku tinggalkan. Setelahnya, aku mulai mengucek satu per satu baju yang sudah direndam. Namun, alangkah terkejutnya aku ketika mendapati baju Mbak Ani dan suaminya serta Dena berada dalam rendaman cucian. Aku bisa mengenali baju itu dengan baik karena Mbak Ani sering memakainya dan juga seragam kerja suaminya Mbak Ani yang penuh oli.

Apa-apaan ini? Bagaimana bisa ada baju mereka di sini? Ogah banget kalau harus mencuci baju mereka. Tanpa pikir panjang segera aku memisah baju mereka yang pastinya sudah tercampur dengan air rendaman. Lebih parahnya lagi dari sekian banyak rendaman, baju keluarga Mbak Ani ternyata lebih banyak daripada cucian milikku. Keterlaluan!

Setelah itu, kulanjutkan kembali untuk mencuci dan membiarkan baju milik Ani teronggok di ember yang satunya.

Lepas maghrib baru aku selesaikan mencuci dan rasanya tubuh ini sangat lelah.

***

Pagi ini aku bangun kesiangan, lupa menyalakan alarm semalam. Namun, begitu aku duduk rasa pusing justru melanda. Rasanya apa yang di depanku berputar dan perut ini seperti diaduk. Mual sekali.

Kamar mandi menjadi tujuanku, rasa mual membuatku ingin memuntahkan isi dalam perutku.

"Dek, kamu kenapa?" tanya Mas Adit seraya merangkulku saat aku dari kamar mandi.

"Masuk angin sepertinya. Kemarin habis nyuci 'kan langsung tidur, nggak makan malam," jawabku.

"Duduk di sini, Mas buatkan teh manis untumu." Dibimbingnya aku menuju kursi yang ada di meja makan sedangkan aku memegangi perutku yang masih terasa tidak nyaman.

"Kamu nggak lupa minum pil nya, kan?" Ibu mertua yang tengah menonton televisi kemudian mematikan layar dan mendekat.

"Nggak, Bu," jawabku bohong. Padahal aslinya aku sudah tidak minum pil KB itu entah berapa lama. Pikiranku pun jadi teringat akan sesuatu. Ya, sudah satu minggu aku telat datang bulan. Apa itu artinya, aku hamil? Jika iya, betapa senangnya hatiku.

Setelah merasa lebih baik kemudian aku berangkat menuju ke sekolah, namun sebelum itu terlebih dahulu aku menuju ke apotik. Untung saja ada apotik 24 jam yang buka di sekitar sekolah. Tiga buah alat tes uji kehamilan dengan berbagai merk aku beli. Rasanya aku sudah tidak sabar untuk menggunakannya.

Sampai di sekolah aku langsung menuju ke kamar mandi, segera aku keluarkan alat yang sudah aku beli. Sebelum itu aku baca dulu petunjuk penggunaan. Setelah paham kemudian mulai menggunakannya.

Rasanya sangat deg-degan ketika perlahan ada garis satu yang terlihat.

"Ayolah, satu lagi garisnya," gumamku.

"Apa nggak salah? Ini nggak salah, kan?" Pertanyaan itu meluncur setelah ketiga alat yang aku celupkan bergaris dua dengan jelas.

"Alhamdulillah … alhamdulilah," ucapku penuh syukur. Aku harus memberitahu Mas Adit soal ini. Rasanya aku sangat bahagia, ada janin di dalam perutku.

Keluar dari kamar mandi, kemudian menuju ke ruang guru. Setelahnya menuju ke kelas. Saat itu juga aku bertemu Mas Reza yang mengantar Zivanna.

"Na, eh maksud saya Bu Ai," ucap Mas Reza.

Aku mengangguk dan tersenyum sebagai balasan sapaan.

"Masih ada yang ingin aku bicarakan. Apa nanti bisa bertemu lagi?"

"Maaf nggak bisa. Aku ada acara. Permisi." Kutinggalkan Mas Reza yang masih berdiri mematung di depan kelas, berganti denganku yang mulai berinteraksi dengan anak-anak.

"Aku akan menghubungimu, Na." Kalimat itu yang aku dengar sebelum aku masuk ke kelas.

***

Waktu berjalan begitu lambat, rasanya aku sudah tidak sabar untuk menunggu suamiku pulang. Alat tes kehamilan sudah aku siapkan di dalam amplop. Aku ingin membuat kejutan untuknya.

Begitu mendengar deru motor di halaman segera aku keluar menyambut.

"Istri Mas, cantik banget. Gimana? Masih pusing sama mual?" tanya Mas Adit. Aku menggeleng sebagai jawaban.

"Ayo, Mas. Ada yang mau aku tunjukkin sama, Mas." Tanpa menunggu persetujuan aku menarik tangan Mas Adit kemudian menuntunnya ke kamar.

"Duduk dulu, Mas," titahku. Mas Adit menurut, dia duduk di tepian ranjang. Amplop yang sudah kupersiapkan kemudian aku berikan padanya.

"Apa ini?" tanya Mas Adit. Dia membolak-balik amplop itu.

"Buka saja, nanti Mas bakalan tahu."

Mas Adit kemudian membuka, dan dia mengeluarkan isinya. Alat berbentuk segi panjang kecil itu kemudian diperhatikan baik-baik.

"Kamu hamil, Dek?" tanya Mas Adit. Aku mengangguk seraya tersenyum.

"Beneran?" Lagi, Mas Adit bertanya.

"Iya, Mas, aku hamil. Dua garis pada alat itu artinya aku sedang hamil."

"Tidak bisa! Kamu harus gugurkan!"

🌹🌹🌹

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status